Saturday 4 February 2017

PLKH PERUNDANG-UNDANGAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
UNDANG-UNDANG Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang merupakan pengganti dari UU Nomor 27 Tahun 2009 kembali mendapatkan perhatian beberapa pihak untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut I Wayan Sudirta bahwa UU No 17/2014 Tentang MD3 telah inskonstitusional formil dan materiil. Inskontitusional formil diantaranya adalah:
1.      UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi, seharusnya dibentuk UU MPR, UU DPR, dan UU DPD secara tersendiri
2.      Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 - 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU P3, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang
3.      Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.
Inskonstitusional materiil yaitu Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan, Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. RUU MD3 Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi terdapat pada pasal 166 ayat (2) dan Pasal 167 ayat (1) UU MD3, Pasal 276 ayat (1) UU MD3, Pasal 277 ayat (1) UU MD3, Pasal 165 dan Pasal 166 UU MD3, Pasal 71 huruf c UU MD3, Pasal 170 ayat (5) UU MD3, Pasal 171 ayat (1) UU MD3, Pasal 249 huruf b UU MD3. I Wayan Sudirta mencontohkan Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi diantaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD ”difilter” oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.
Pokok-pokok Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketiadaan kesejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi diantaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR. Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. Masalah keistimewaan dan kekuasaan yang luar biasa ditambah lagi dalam UU ini, misalnya kalau DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan untuk dapat memanggil dan memeriksa anggota DPR sedangkan DPD tidak begitu, ini UU yang sangat ganjil dan diskriminatif.
Pokok-pokok Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN diantaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
Menurut I Wayan Sudirta UU MD3 ini bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diberikan tafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.92/PUU-X/2012. Dengan disetujuinya UU Nomor 17 Tahun 2014 ini, DPR dianggap telah menghinakan putusan MK. Karena DPR yang membuat UU MK dan menyatakan keputusan MK final dan mengikat. Ketika keputusan berkaitan DPD dijatuhkan, putusan tidak diakomodir, seharusnya tidak bisa diabaikan. Kalau terus menerus tidak diakomodir, ini bermain-main dengan negara. Kejaksaan, kepolisian, KPK dirugikan, DPD dirugikan.
Selain itu ada pasal-pasal yang menyangkut keterwakil-an perempuan di parlemen. Ada tujuh pasal yang mereka uji ke MK, yakni Pasal 97 ayat 2 tentang Ketentuan Pimpinan Komisi, Pasal 104 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Legislasi, Pasal 109 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Anggaran, Pasal 115 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Kerja Sama Antarparlemen, Pasal 121 ayat 2 tentang Mahkamah Kehormatan Dewan. Selain itu, Pasal 152 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Pasal 158 ayat 2 tentang Pimpinan Panitia Khusus, yang dalam UU MD3 yang baru hal tersebut dihapus.
Ditemukan juga perbedaan yang signifikan antara UU MD3 lama dan UU MD3 baru khususnya yang mengatur hak dan jaminan perempuan dalam berpolitik di DPR. Ada beberapa pasal yang memperhatikan keterwakilan perempuan itu kemudian dihapus kalimatnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    ANALISIS UNDANG-UNDANG MD3
Sebelum menganalisis undang-undang, ada baiknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai apa itu Undang-undang beserta penjelasan yang Iain.
Undang-undang merupakan peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh alat kelengkapan negara yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang selaku warga negara, Undang-undang dapat berlaku didalam masyarakat jika telah memenuhi persyaratan tertentu.
Dalam istilah hukum, Undang-undang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a.       UU dalam arti materiil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat orang secara umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya khusus berlaku bagi sekelompok orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil saja. Misalnya adalah UU No. 62 tahun 1968 tentang naturalisasi.
b.      UU dalam arti formil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara terjadinya dilakukan secara prosedur dan formal.
Asas hukum tentang berlakunya Undang-undang yaitu:
a)      UU tidak berlaku surut,
b)      Asas lex superior derogat legi inferiori,
c)      Asas lex posteriori derogat legi priori,
d)      Asas lex specialis derogat legi generali.
Analisis ditinjau dari segi Filosofis
Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.
Dlihat dari segi filosofis, Undang-Undang MD3 ini dinilai dapat berupaya sebagai nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan negara dan pemerintahan. Dalam prakteknya, kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk lembaga pemerintahan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah pada dasarnya ketiga lembaga tersebut merupakan sebuah contoh nilai-nilai dari demokrasi dalam hidup bernegara dan berpemerintahan, Karena melalui lembaga-lembaga terebut, penerapan dan penyaluran aspirasi rakyat dan daerah berada dalam proses dan tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan akan dapat berlangsung dengan baik dalam pemerintahan di Indonesia.
Dalam undang-undang MD3 ini dapat dikatakan bahwa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, Karena pada dasarnya undang-undang MD3 ini dibuat berdasarkan tinjauan dari peraturan-peraturan yang dinilai belum belum lengkap dalam pengaplikasianya di proseduralnya.
Analisis ditinjau dari segi Sosiologis
Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masvarakat. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan "hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.[1]
Jika dilihat dari segi sosiogis, Undang-Undang MD3 ini diperlukan dalam rangka mewujudkan tata kelembagaan negara dan pemerintahan yang mencerminkan aktualisasi prinsip checks and balances dalam pengelolaan kekuasaan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen, mandat pengelolaan kekuasaan Negara secara institusional telah diberikan kepada sejumlah lembaga Negara dan pemerintahan, yang pada domain perwakilan politik berada pada lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat daerah. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu keharusan dan kebutuhan bagi berlangsungnya proses pengelolaan kekuasaan yang akuntabel, terkontrol, dan seimbang, terutama dalam kerangka perwujudan penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang berwatak demokratis, jauh dari watak otoriterian, dan tidak terpusat pada eksekutif, terutama pada Presiden ditingkat nasional serta pada gubernur dan bupati/walikota di tingkat daerah.
Undang-Undang MD3 ini pada dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi juga memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara maksimal dalam tata pengelolaan Negara dan pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan. Realitas social mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan publik senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik dalam penanganannya. Sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara dan daerah yang bertumpu pada eksekutif, secara factual tidak selalu dapat dijadikan andalan dalam penyelesaian persoalan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara sosiologis, ketidakadilan justeru sering terjadi dalam sistem sosial yang dikelola tanpa perwakilan politik.
Analisis ditinjau dari segi Yuridis
Landasan yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegddheid competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan atau yang disebut landasan yuridis materil. Landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menujukkan:[2]
·         Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
·         Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
·         Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
·         Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu perundang-undangan tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangen dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang- undang.
Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang, pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada pasal-pasal dalam UUD 1945 (HasilAmandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD.
B.     DAMPAK TERHADAP PENERPAN UU MD3
Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi program pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang dipergunakan Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3 cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan kekuasaan eksekutif.
Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya (memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan APBN), kemudian dijadikan pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul program pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak untuk memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap rasionalitas APBN yang diajukan pemerintah,[3] bukan karena belum diakomodirnya usulan program pembangunan dari Anggota DPR. Selayaknya, memperjuangkan program pembangunan itu di eksekutif melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional. Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan, sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan. 
Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR
Mengenai imunitas hukum bagi anggota DPR terdapat pada Pasal 224, yang bunyinya:
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku anggota parlemen yang tugas utama berbicara, maka selayaknya tugas berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden / Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara hukum.
Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal 245:
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
  • tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
  • disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  • Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Inilah yang menjadi permasalahan dan ini bukan terkait dengan imunitas, melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini terdapat perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum “equalitiy before the law”, persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.
Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono,[4] mengatakan kata kuncinya adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
Dengan kata kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada negara atau pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.
Berdasarkan analisa tersebut, UU MD3 memiliki 10 poin penting, yaitu:
a)      DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik,
b)      DPR tidak wajib lagi lapor pengelolaan anggaran keuangan pada publik di laporan kinerja tahunan,
c)      DPR (masih) mempertahankan rapatnya berlangsung tertutup,
d)      Kewenangan MPR ditingkatkan dan anggaran bengkak mainly untuk kepentingan sosialisasi,
e)      Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR yang tidak konsisten (Pasal 84) dan melanggar prinsip keterwakilan,
f)       Dihapusnya ketentuan Keterwakilan Perempuan padahal jumlahnya di DPR turun terus,
g)      Proses penyidikan DPR untuk pidana (tertentu) perlu persetujuan Mahkamah Kehormatan, padahal Mahkamah Kehormatan anggota DPR juga tidak independen & konflik kepentingan,
h)      Butuh 30 hari izin untuk menyidik DPR bisa dipakai untuk menghilangkan bukti atau lari,
i)       Hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat kelengkapan DPR,
j)       DPR bs usul program “pembangunan dapil” tanpa penjelasan yg transparan dan akuntabel.

BAB III
KESIMPULAN
Simpulan
Telah ditetapkan mengenai ketidak berdayaan masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak suaranya yang tentunya melanggr pasal 29 UUD 1945 dituliskan dimana setiap warga negara berhak mengeluarkan pendaptnya baik lisan maupun tulisan dan dilindungi dengan undang-undang. Kami sebenarnya agak kurang sepaham dengan disahkannya uu MD3 yang berkaitan dengan keterwakilan DPR dan penghapusan suara rakyat.
Maka karenannya perlu kajian ulang mengenai pasal-pasal yang berkaitan denngan suara rakyat sebagai tolak ukur di dalam asas pemilu, maka jika suara rakyat tidak di salurkan dengan baik maka akan menimbulkan permasalahn yang berkepanjangan maka dari itu kami berpendapat agar UU MD3 itu bias dikaji ulang di perbaiki dengan memperhantikan kepentigan rakyat dan pula tidak mengesampingkan pemerintah yang berdaulat.
Yang dituju dari UU MD3 adalah perintah kepada negara atau pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Rosjidi, Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Mei, Susanto. 2013. Hak Budget Parlemen Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
http://news.metrotvnews.com/read/2014/07/10/263758/pdip-bakal-ajukan-judicial-review-uu-md3-ke-mk yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016 pukul 19.00
https://meisusanto.com/2014/09/24/warisan-wakil-rakyat-kontroversi-uu-md3-dan-ruu-pilkada/ yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016 pukul 19.20



[1] Rosjidi, Ranggawidjaja.1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Hal. 44
[2] Ibid
[3] Mei Susanto, Hak Budget Parlemen Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.