Wednesday, 3 February 2016

ANALISIS KASUS LINGKUNGAN


ANALISIS KASUS PENCEMARAN MINYAK MENTAH DI PANTAI CILACAP

PENDAHULUAN
Ratusan warga dan nelayan di sepanjang Pantai Teluk Penyu mengumpulkan minyak mentah milik Pertamina yang tumpah mencemari Perairan Selatan Cilacap. Para warga mengais minyak mentah di pantai dengan menggunakan alat seadanya, Senin (25/5/2015). Mereka mengais minyak mentah yang bercampur dengan air laut yang kemudian dikumpulkan dengan menggunakan drum dan ember.

Dugaan sementara terjadinya kebocoran minyak berjenis Alc Arabian Lite Cruid ini, kata dia, akibat pipa SPM diterjang gelombang tinggi yang terjadi beberapa hari terakhir. Eko menambahkan, sejak terjadinya kebocoran minyak mentah ini Pertamina telah melakukan penyisiran dan melokalisir tumpahan minyak agar tidak meluas. Pihak pertamina memperkirakan dalam waktu satu hingga dua hari ke depan pemberisihan minyak yang mencemari perairan dapat diatasi.
PERUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Analisis Kasus tersebut dari kacamata Hukum Lingkungan?
2.      Bagaimana jika masyarakat melakukan gugatan class action pada kasus tersebut?
3.      Bagaimana penegakan hukum kasus tersebut?
ANALISIS
Dalam melihat permasalahan Pencemaran memang cukup pelik. Masyarakat sekitar Teluk Penyu mempunyai hak dan kewajiban dalam areal pemukimannya sebagaimana yang tertulis dalam pasal 65, 66, 67, 68 UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Serta pasal 129 dan pasal 130 UU No. 1 Tahun 2012 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Jika masyarakat yang bersangkutan melakukan gugatan Class Action dalam kasus pencemaran teluk penyu ini, saya rasa kurang tepat. Gugatan Class Action hanya di mungkinkan bila masyarakat dirugikan karena ada aktifitas di luar kegiatan masyarakat itu berkenaan dengan pencemaran lingkungan. Lebih tepatnya saya rasa pihak organisasi lingkunganlah yang memiliki kewenangan yang lebih tepat untuk mengugat (Legal standing). Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak).
Pengakuan secara tegas mengenai legal standing organisasi lingkungan terdapat dalam Pasal 92 UU PPLH 2009. Misalkan organisasi Lingkungan seperti WALHI (Wahana Lingkungan hidup) atau Greenpeace dan sebagainya, dengan syarat sesuai dengan UU tersebut dan tentunya telah melakukan penelitian/kajian mendalam mengenai Permasalahan yang menjadi Objek Gugatan.
Salah satu intrumen penegakan hukum adalah dengan cara penggunaan sanksi namun dalam konteks Hukum lingkungan litigasi dan sanksi ditempatkan sebagai upaya terakhir (In Cauda Venenum) bilamana upaya seperti ADR (Alternative Dispute Resolution ) atau upaya-upaya non-litigasi lainnya gagal. Dalam Konteks Hukum lingkungan sanksi tidak serta merta dapat di terapkan ada tingkatan berjenjang dan variatif biasanya ada keterkaitan dengan bidang hukum lain sebagai Accessoir.
KESIMPULAN
Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui non-litigasi, intrumen keperdataan maupun intrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah khusus penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
SARAN
Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat atau LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring atau evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Cetakan ketiga,  Bandung, PT. Refika Aditama, 2011