PENDAHULUAN
Ratusan warga dan nelayan di sepanjang Pantai Teluk
Penyu mengumpulkan minyak mentah milik Pertamina yang tumpah mencemari Perairan
Selatan Cilacap. Para warga mengais minyak mentah di pantai dengan menggunakan
alat seadanya, Senin (25/5/2015). Mereka mengais minyak mentah yang
bercampur dengan air laut yang kemudian dikumpulkan dengan menggunakan drum dan
ember.
Dugaan sementara terjadinya kebocoran minyak berjenis
Alc Arabian Lite Cruid ini, kata dia, akibat pipa SPM diterjang gelombang
tinggi yang terjadi beberapa hari terakhir. Eko menambahkan, sejak terjadinya
kebocoran minyak mentah ini Pertamina telah melakukan penyisiran dan
melokalisir tumpahan minyak agar tidak meluas. Pihak pertamina
memperkirakan dalam waktu satu hingga dua hari ke depan pemberisihan minyak
yang mencemari perairan dapat diatasi.
PERUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Analisis Kasus tersebut dari kacamata Hukum Lingkungan?
2.
Bagaimana
jika masyarakat melakukan gugatan class action pada kasus tersebut?
3.
Bagaimana
penegakan hukum kasus tersebut?
ANALISIS
Dalam melihat permasalahan
Pencemaran memang cukup pelik. Masyarakat sekitar Teluk Penyu mempunyai hak dan
kewajiban dalam areal pemukimannya sebagaimana yang tertulis dalam pasal 65,
66, 67, 68 UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Serta pasal 129 dan pasal 130 UU No. 1 Tahun
2012 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Jika masyarakat yang bersangkutan
melakukan gugatan Class Action dalam kasus pencemaran teluk penyu ini, saya
rasa kurang tepat. Gugatan Class Action hanya di mungkinkan bila masyarakat
dirugikan karena ada aktifitas di luar kegiatan masyarakat itu berkenaan dengan
pencemaran lingkungan. Lebih tepatnya saya rasa pihak organisasi lingkunganlah
yang memiliki kewenangan yang lebih tepat untuk mengugat (Legal standing). Class
Action
pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan ganti
kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak).
Pengakuan secara tegas mengenai legal standing organisasi lingkungan
terdapat dalam Pasal 92 UU PPLH 2009. Misalkan organisasi
Lingkungan seperti WALHI (Wahana Lingkungan hidup) atau Greenpeace dan
sebagainya, dengan syarat sesuai dengan UU tersebut dan tentunya telah
melakukan penelitian/kajian mendalam mengenai Permasalahan yang menjadi Objek
Gugatan.
Salah
satu intrumen penegakan hukum adalah dengan cara penggunaan sanksi namun dalam
konteks Hukum lingkungan litigasi dan sanksi ditempatkan sebagai upaya terakhir
(In Cauda Venenum) bilamana upaya seperti ADR (Alternative Dispute Resolution )
atau upaya-upaya non-litigasi lainnya gagal. Dalam Konteks Hukum lingkungan
sanksi tidak serta merta dapat di terapkan ada tingkatan berjenjang dan
variatif biasanya ada keterkaitan dengan bidang hukum lain sebagai Accessoir.
KESIMPULAN
Bentuk
penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama
penegakan melalui non-litigasi, intrumen keperdataan maupun intrumen
administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga
tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah
khusus penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang mana kedua instrument
sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
SARAN
Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus
pencemaran lingkungan hidup. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan
legislatif, masyarakat atau LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus
terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring
atau evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang
melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah
pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem
Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Cetakan ketiga, Bandung,
PT. Refika Aditama, 2011