BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pemikiran
tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh
penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk
menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia
memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena
ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk
mencapai kepentingan tertentu.
Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan
karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi
dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang
sebenarnya.
Filsafat
Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia
hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia
selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum,
dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan
untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan
mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.
Kondisi
geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai
memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana
keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi seluruh anggota
masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang
berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti. Perkembangan filsafat
hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan
bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat
luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit (Theo Huijbers, 1982: 31).
Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam negara hukum
(rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur:
1. Kepastian
hukum (rechtssicherkeit)
2. Kemanfaat
hukum (zeweckmassigkeit)
3. Keadilan
hukum (gerechtigkeit)
4. Jaminan
hukum (doelmatigkeit)
Penegakan
hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat
bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus
ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum
menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta
memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi
penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya
menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan
keadilan hukum.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Permasalahan
yang dapat diuraikan berdasarkan latar belakang diatas adalah mengenai
bagaimana keadilan dan hukum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat
hukum. Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan
dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati,
tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati karena
ketidakadilan.
C.
TUJUAN
Tujuan
dari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui bagaiman keadilan dan hukum
yang benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM
Uraian tentang definisi
filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa definisi
filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil. Sementara itu,
J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan suatu perenungan metodis
mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht).
Uraian lainnya tentang
definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum yang tidak bisa dijawab
oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan
dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah
hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang
sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu
hukum, dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah
menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat
hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh
ilmu hukum.
B.
SEJARAH FILSAFAT HUKUM
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Pada zaman Yunani hiduplah
kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis
inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman
Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain:
Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles.[1]
Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475
SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini.
Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan
nomos yang tidak bersumber pada dewa
tetapi logos (rasio).[2]
Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti
manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan
(dike).
Sementara itu, Herakleitos
berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah,
tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang
berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah
melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam,
sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat
kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis
tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini
mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga
negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata
lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang
ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk
segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju
dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum dari
penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki
kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme,
yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk
dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam
mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami
kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari
Socrates.
Plato berpendapat bahwa
penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal
bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan
penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa
tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah
yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari
Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari
sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada
hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri
karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena
itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati
dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan
Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum
tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam
ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena
hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan
berlaku dengan sendirinya.
Pada zaman Yunani (Kuno)
muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori
oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme
(berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan
filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep
penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan
individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut
Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan
prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini
terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos)
yang bersumber dari jiwa dunia (logos),
yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul
keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai
rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut
logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif
baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan hukum alam.
Sejarah Filsafat Hukum Pada
Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah
filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan
kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa
gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic),[3]
dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat
suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh
dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan
peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa
gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum
yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas
Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf
di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani,
misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara
ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus
bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas
sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas
antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan
akal budi manusia (Lex Naturalis),
dan hukum positif (Lex Positivis).[4]
Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas
nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain
dari tulisan ini.
Sejarah Filsafat Hukum Pada
Zaman Modern
Terlepasnya alam pikiran
manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja
zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan
manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara
baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan
sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia
pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari
rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban
ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan
ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan
para penganut faham positivisme hukum.
Sejarah Filsafat Hukum Pada
Zaman Sekarang
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam
perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap
pengertian mengandung lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang
ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga,
yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari setiap synthese
merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.[5]
Selain Hegel, masih ada
beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels yang menyatakan bahwa
hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan
Engels, juga von Savigny yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh
bersama-sama dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah
memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan
pandangan relatif terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan
Mazhab Sejarah.
C.
MANFAAT FILSAFAT HUKUM
Filsafat hukum sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mempelajari hukum.
Namun yang lebih penting disini ialah berusaha mengaktualisasikan filsafat
hukum yang lebih dekat pada dunia ide (dasollen) dengan hukum positif yang lebih dekat dengan dunia nyata (das sein).
Caranya dengan menciptakan hubungan yang erat antara filsafat dengan hukum
positif. Dengan kata lain, harus bisa menggunakan filsafat hukum secara praktis
untuk menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan. Misalnya, makin berkembang
hidup bermasyarakat (karena perkembangan maasyarakat dan pemikiran masyarakat
), maka kadang-kadang hukum positif tidak bisa mengatasi. Untuk itu hubungan
positif harus dihubungkan dengan filsafat hukum dan teori hukum. Aktualisasi
filsafat hukum ini kalau sudah sampai dipengadilan, misalnya pada saat hakim
menangani kasus yang tidak ada / belum ada hukumnya.
D.
ARTI KEADILAN
Membicarakan hukum tidak
lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah
keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan
pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan
yang menguasai filsafat hukum.[6]
Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”,
sedang Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan
prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan
peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan
mereka adalah concept of virtue,
yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah mencakup
segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of virtue inilah yang
menghadirkan pengertian keimbangan (balance)
dan harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil,
sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan dan harmoni terpisah
jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang
tercipta pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni
adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis dengan akal. Sedang
menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua
keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh
Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan
tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti
menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh
Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang tersebut
mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima. Demikian pula kata tidak
adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan hukum, oleh karena itu
keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan umum.[7]
Keadilan dapat pula
diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada
bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini:[8]
a. Keadilan menentukan
bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan yang lain;
b. Keadilan berada di tengah
dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan tercipta
keseimbangan antara dua belah pihak;
c. Untuk mengutamakan dimanakah
letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan yang
dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan,
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:[9]
a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi
petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing
orang menurut tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran
prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada
ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa
orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus
diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan
menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu membuat
perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum kodrat
mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan
untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat
hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai
hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum
positif.
Kontribusi Aristoteles
berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum
terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak
kejam terhadap soal-soal perseorangan. Sedang equity melunakkan
kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang sesuatu
undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam
lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
a. Keadialan Umum (Justitia
Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing yang harus
ditunaikan menurut kepentingan umum.
b. Keadilan Khusus; yaitu
keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:
1) keadilan distributif;
2) keadilan komutatif;
3) keadilan vindikatif.
Kaum Positivis (aliran
Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum. Namun relativitas
keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian hukum. Hal ini
sesuai dengan adagium “Summun jus, summa
injuria, summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai
kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari
ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena
keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.
E.
HUKUM YANG ADIL DAN BENAR
Gambaran mengenai hukum yang
adil dan benar dapat diketemukan dalam pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav
Radbruch, seorang politikus dan sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha
menyeberangi jurang bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) dengan
menerima bahwa suatu bidang terkandung kedua bidang tersebut untuk mencapai apa
yang disebut dengan kebenaran. Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya
terletak di antara dua bidang tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu
juga, sebab kebudayaan merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan
Radbruch hendak menerapkan teori ini pada hukum.[10]
Alasan yang dipergunakan
Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur kebudayaan, maka seperti unsur-unsur
kebudayaan lain, hukum diwujudkan dalam satu nilai, yakni nilai keadilan.
Sehingga hukum merupakan perwujudan dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha
ke arah terwujudnya keadilan. Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata
hukum dibentuk dalam masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup,
karena ada dasar lain, yaitu dasar hukum sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya
hukum yang benar dan adil ini, Radbruch membagi keadilan menjadi 3 (tiga)
aspek, yaitu:
a. Keadilan dalam arti sempit,
artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
b. Tujuan keadilan atau
finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
c. Kepastian hukum atau
legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan
yang harus ditaati.
Dengan adanya pembagian keadilan
ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat mengetahui bahwa suatu hukum yang adil
haruskah hukum memenuhi unsur konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif
sebagimana dikatakan oleh Huijbers.[11]
Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan tidak adil
bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non yuridis),
seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi hukum,
maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun buruk, dan tetap
berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa pendapat mengenai keadilan
dari beberapa tokoh, salah satunya dari Aristoteles yang membagi keadilan
menjadi dua, yaitu:
a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi
petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing
orang menurut tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),
terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum,
untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa
memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu
tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan
menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu membuat
perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum kodrat
mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan
untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat
hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai
hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan
keadilan dan hokum yang benar dan adil dalam perspektif
filsafat hukum yakni sebagai insan yang
berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil,
mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak hukum,
haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam
dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu
menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara keadilan,
kemanfaatan, serta kepastian hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji &
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat
Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum,
Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Kencana, Syafiie Inu,
Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat
Hukum, cetakan kedua, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.
[1]
Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.
[2]
Logos menciptakan bentuk, ukuran, dan harmoni yang
menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis
memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos
(Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993, halaman 20).
[3]
Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar
Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 13.
[7]
Darji Darmodiharjo & Shidarta,
Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
[8]
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam
Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.