Saturday, 15 October 2016

MAKALAH FILSAFAT HUKUM


KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu.
Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang cerdas, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah.
Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hukum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti. Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit (Theo Huijbers, 1982: 31). Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur:
1.      Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
2.      Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
3.      Keadilan hukum (gerechtigkeit)
4.      Jaminan hukum (doelmatigkeit)
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.

B.     RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang dapat diuraikan berdasarkan latar belakang diatas adalah mengenai bagaimana keadilan dan hukum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum. Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati karena ketidakadilan.

C.    TUJUAN
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui bagaiman keadilan dan hukum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische bebezinning over het wezen van he recht).
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

B.     SEJARAH FILSAFAT HUKUM
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles.[1] Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio).[2] Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan hukum alam.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic),[3] dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis).[4] Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi. Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru.[5]
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.

C.    MANFAAT FILSAFAT HUKUM
Filsafat hukum sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mempelajari hukum. Namun yang lebih penting disini ialah berusaha mengaktualisasikan filsafat hukum yang lebih dekat pada dunia ide (dasollen) dengan hukum positif yang lebih dekat dengan dunia nyata (das sein). Caranya dengan menciptakan hubungan yang erat antara filsafat dengan hukum positif. Dengan kata lain, harus bisa menggunakan filsafat hukum secara praktis untuk menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan. Misalnya, makin berkembang hidup bermasyarakat (karena perkembangan maasyarakat dan pemikiran masyarakat ), maka kadang-kadang hukum positif tidak bisa mengatasi. Untuk itu hubungan positif harus dihubungkan dengan filsafat hukum dan teori hukum. Aktualisasi filsafat hukum ini kalau sudah sampai dipengadilan, misalnya pada saat hakim menangani kasus yang tidak ada / belum ada hukumnya.

D.    ARTI KEADILAN
Membicarakan hukum tidak lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.[6] Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”, sedang Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan dan harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima. Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan umum.[7]
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini:[8]
a.    Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan yang lain;
b.    Keadilan berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c.    Untuk mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:[9]
a.       Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
b.      Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
a.       Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b.      Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:
1)      keadilan distributif;
2)      keadilan komutatif;
3)      keadilan vindikatif.
Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.

E.     HUKUM YANG ADIL DAN BENAR
Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran. Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak menerapkan teori ini pada hukum.[10]
Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan dalam satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan. Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain, yaitu dasar hukum sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:
a.       Keadilan dalam arti sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
b.      Tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
c.       Kepastian hukum atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh Huijbers.[11] Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa pendapat mengenai keadilan dari beberapa tokoh, salah satunya dari Aristoteles yang membagi keadilan menjadi dua, yaitu:
a.       Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang menurut tempatnya.
b.      Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice), terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.

Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan keadilan dan hokum yang benar dan adil dalam perspektif filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak hukum, haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.




[1] Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.
[2] Logos menciptakan bentuk, ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 20).
[3] Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 13.
[4] Lihat Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 39.
[5] Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.
[6] Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 11.
[7] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
[8] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 29.
[9] Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.
[10] Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 162.
[11] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.