BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay,
biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an
dan menggantikan frasa "komunitas gay. karena istilah ini lebih mewakili
kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk
menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas
dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang
tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Istilah
LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga
diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas
seksualitas dan gender. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)
akhir-akhir ini masih menjadi polemik hangat di tengah masyarakat luas. Tentu
saja kita tidak menginginkan polemik ini menyebabkan kegaduhan,
ketidaknyamanan, dan rasa saling curiga satu sama lain.
Pergolakan pemikiran antara yang pro dan kontra pun terjadi
seputar isu tersebut. Mereka yang pro menyatakan, bahwa negara dan masyarakat
harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan,
trangender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis
(homoseksual). Sebaliknya, mereka yang kontra menyatakan, bahwa negara dan masyarakat
harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap
gejala LGBT yang akan membahayakan generasi masa depan Indonesia. Oleh sebab
itulah, posisi stategis pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk
menangani polemik LGBT secara langsung agar tak terjadi disintegrasi bangsa.
LGBT dan segala penyimpangan seksualitas adalah sesuatu yang tidak wajar, atau
dapat dikatakan keluar dari kodrat aslinya. Yang mana fitrah manusia adalah
diciptakan untuk bereproduksi. Dalam pengertian terang seperti ini kita bisa
memahami bahwa LGBT bukanlah gejala yang dibuat-buat secara sengaja, melainkan
problem kejiwaan.. Dalam Perspektif HAM Mungkin bagi sebagian orang yang pro
dengan LGBT menuntut agar pemerintah melegalkan perbuatan tersebut.
Mereka sering berdalih dengan landasan hak asasi manusia
(HAM) sebagai tameng utamanya. Bahkan Indonesia sebagai salah satu negara hukum
memberikan jaminan kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 amandemen II,
yaitu pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya. Entah problem kejiwaan/problem sosial atau bukan, kita semua
dituntut agar memahaminya dengan baik dan segera dicari solusinya. Sekalipun mereka
masih tetap teguh kepada pendirianya untuk melegalkan perbuatan ini. Maka hal
yang harus dijadikan basis fundamental dan harus selalu diingat dalam kaitanya
penegakkan hak asasi manusia adalah bahwa HAM berbanding lurus dengan
kewajibankewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian, setiap individu bebas
dan berhak atas haknya masing-masing, namun pada saat yang sama ia harus
memperhatikan hak-hak orang lain yang berada di lingkungannya. Dalam hal ini,
Peran pemerintah benar-benar sangat diperlukan untuk merumuskan kerangka kode
etik sosial. Sehingga dapat ditemukan suatu kejelasan mengenai LGBT ini.
B. Maksud & Tujuan
Naskah
akademis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dasar persoalan d Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender di
Kabupaten Banyumas. Gambaran yang tertulis
diharapkan dapat menjadi panduan bagi pengkajian materi rancangan Peraturan Daerah
Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender.
Tujuan
dibuatnya naskah
akademis ini adalah:
1. Memberikan
landasan dan kerangka pemikiran bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender.
2. Memberikan
kajian dan kerangka filosofis, sosiologis, dan yuridis serta teknis tentang
perlunya Perda Lesbian,
Guy, Biseksual, Transgender di Kabupaten Banyumas.
3. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang
ada dan harus ada dalam Rancangan Perda tentang Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender,
4. Melihat
keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga jelas
kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.
C. Sistematika
Naskah akademik
akan disusun dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, yang menggambarkan latar belakang munculnya kebutuhan
peraturan daerah ini, yang antara lain memuat tentang kondisi
dan permasalahan anak Indonesia secara umum dikaitkan dengan keberadaaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; serta kondisi
anak-anak di wilayah Kabupaten
Banyumas. Dalam Bab ini juga dipaparkan mengenai maksud dan tujuan dari
naskah akademik ini,
serta sistematika penyusunan dokumen naskah akademik ini.
Bab II : Telaahan Akademik, yang
memaparkan tentang landasan perlunya Perda penyelenggaraan perlindungan anak yang meliputi pengkajian landasan
filosofis, landasan yuridis, landasan
sosiologis, dan kajian
teknis.
Bab III : Materi Muatan Peraturan Daerah, yang memaparkan
tentang pokok dan lingkup materi apa yang ada dan harus ada dalam Peraturan Daerah Lesbian, Guy, Biseksual,
Transgender, didalamnya mencakup ketentuan Umum, materi pokok yang akan diatur,
serta ketentuan mengenai sanksi, dan ketentuan-ketentuan lain.
Bab IV : Penutup, yang berisi kesimpulan dari
keseluruhan naskah akademik dan rekomendasinya.
Lampiran : Berisi Legal Drafting atas Rancangan
Perda Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender beserta
penjelasannya.
BAB II
KAJIAN
TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
1.
pengertian
LGBT
atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan
transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan
menggantikan frasa "komunitas gay. karena istilah ini lebih mewakili
kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk
menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas
dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang
tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Istilah
LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga
diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas
seksualitas dan gender. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)
akhir-akhir ini masih menjadi polemik hangat di tengah masyarakat luas. Tentu
saja kita tidak menginginkan polemik ini menyebabkan kegaduhan,
ketidaknyamanan, dan rasa saling curiga satu sama lain.
Dari
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa LGBT merupakan sebuah usaha
memperjual-belikan kegiatan seks di luar nikah dengan imbalan materi, sedangkan
pelacur diartikan sebagai perempuan atau laki-laki yang melakukan kegiatan seks
di luar nikah dengan imbalan materi. Dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan
penelititian pada pelacur laki-laki atau yang lebih dikenal dengan sebutan gigolo.
2.
Ciri-ciri LGBT
Kartini
Kartono (2005: 239) menyatakan ciri-ciri khas dari LGBT ialah sebagai berikut:
a.
Wanita, lawan pelacur adalah gigolo
(pelacur pria, lonte laki-laki).
b.
Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif
menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria.
c.
Masih muda-muda. 75% dari jumlah pelacur
di kota-kota ada 30 tahun. Yang terbanyak adalah 17-25 tahun. Pelacuran kelas
rendah dan menengah acap kali memperkerjakan gadis-gadis pra-puber berusia
11-15 tahun, yang ditawarkan sebagai barang baru.
d.
Pakaian sangat menyolok, beraneka warna,
sering aneh/eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka itu sangat
memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu : wajah, rambut, pakaian, alat
kosmetik dan parfum yang merangsang.
e.
Menggunakan teknik seksual yang mekanis,
cepat, tidak hadir secara psikis (afwejig, absent minded), tanpa emosi
atau afeksi, tidak pernah bisa mencapai orgasme sangat provokatif dalam
ber-coitus, dan biasanya dilakukan secara kasar.
f.
Bersifat sangat mobile, kerap berpindah
dari tempat/kota yang satu ke tempat/kota lainnya.
g.
Pelacur-pelacur professional dari kelas
rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial
rendah, sedangkan pelacur-pelacur dari kelas tinggi (high class prostitutes)
pada umumnya berpendidikan sekolah lanjutan pertama dan atas, atau lepasan
akademi dan perguruan tinggi, yang beroprasi secara amatir atau secara
professional.
h.
60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki
intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan (feeble
minded). Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-batas, yang tidak
menentu atau tidak jelas derajat intelegensinya. Pendapat selanjutnya adalah
mengenai ciri gigolo yang disampaikan Lindinalva Laurindo da Silva (1999:
41-42). Dalam bukunya Lindinalva menjalaskan bahwa terdapat dua kategori
gigolo, yang pertama yang disebut dengan travestis (waria), memiliki
ciri bersifat feminim dan lebih menyatakan diri mereka sebagai homoseksual
sehingga hanya memberikan layanan seks pada laki-laki lain. Ketegori kedua
adalah garcons, yang lebih sering menyebut diri mereka dengan istilah
gigolo, memiliki ciri maskulin dan sering tidak mengetahui orientasi seks yang
mereka miliki. Perbedaan dari kedua kategori gigolo ini juga dapat dilihat dari
tempat mereka melakukan pekerjaan seks, cara mereka melakukan hubungan seks,
klien mereka dan cara pembayaran untuk pelayanan seks berada. Dari pendapat di
atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri gigolo ada dua macam, pertama adalah
gigolo dengan sifat feminim yang dikenal dengan sebutan travestis atau
waria dan gigolo yang bersifat maskuli yang sering disebut dengan garcons.
3. Faktor-faktor
Penyebab LGBT
Banyak
studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai
faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Weisberg (Koentjoro, 2004:
53-55) menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki
dunia pelacuran, yaitu:
a.
Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak
sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan
sosial.
b.
Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini
yang dimaksud adalah uang.
c.
Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua,
penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua.
Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman
seksual diri dan peristiwa traumatic sebagai bagian dari motivasi situasional.
Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah
kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar nikah.
Berbeda
dengan pendapat di atas, Greenwald (Koentjoro, 2004: 53) mengemukakan bahwa
faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor
kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk
membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam
pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi
pelacur. Sedangkan Supratiknya (1995: 98) berpendapat bahwa secara umum alasan
wanita menjadi pelacur adalah demi uang. Alasan lainya adalah wanitawanita yang
pada akhirnya harus menjadi pelacur bukan atas kemauannya sendiri, hal ini
dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur
tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam
atau pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk
menjadi pelacur. Kemudian secara rinci Kartini Kartono (2005: 245) menjelaskan
motifmotif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut:
a)
Adanya kecenderungan melacurkan diri pada
banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan
kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta
huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
b)
Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak
terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks,
sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
c)
Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan
pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
d)
Aspirasi materiil yang tinggi pada diri
wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan
mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
e)
Kompensasi terhadap perasaan-perasaan
inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama sekali tarjadi
pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu
sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya.
f)
Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan
anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran
oleh bujukan banditbandit seks.
g)
Anak-anak gadis memberontak terhadap
otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak
terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja, mereka
lebih menyukai pola seks bebas.
h)
Pada masa kanak-kanak pernah malakukan
relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital
sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di
kala muda.
i)
Gadis-gadis dari daerah slum
(perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral
yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara
kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak
asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk
mempertahankan hidupnya.
j)
Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo,
terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
k)
Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk :
film-film biru, gambargambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang
mempraktikkan seks dan lain-lain.
l)
Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu
rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya
untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
m)
Penundaan perkawinan, jauh sesudah
kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan
standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin.
n)
Disorganisasi dan disintegrasi dari
kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau
hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara
batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia
pelacuran.
o)
Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum
laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.
p)
Adanya ambisi-ambisi besar pada diri
wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah
tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.
q)
Adanya anggapan bahwa wanita memang
dibutuhkan dalam bermacammacam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka
maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.
r)
Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan
keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal
orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.
s)
Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda
yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu,
likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi
pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.
t)
Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka
jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu,
ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas
seks.
u)
Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang
sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.
v)
Ada kebutuhan seks yang normal, akan
tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Dari
pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang melatarbelakangi seseorang
memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu
seksual yang dimiliki orang tersebut.
Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban
kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih
tinggi.
4.
Akibat-akibat LGBT
Kartini
Kartono (2005: 249) berpendapat mengenai akibat-akibat dari LGBT sebagai berikut:
a.
Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit
kelamin dan kulit.
b.
Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.
c.
Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh
demoralisasi kepada lingkungan
khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adoselensi.
d.
Berkorelasi dengan kriminalitas dan
kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin dan lain-lain).
e.
Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum,
dan agama.
f.
Adanya pengeksploitasian manusia satu oleh
manusia lainnya.
g.
Bisa menyebabkan disfungsi seksual,
misalnya: impotensi, anorgasme, satiriasi, dan lain-lain.
Dengan
kalimat yang sedikit berbeda Kumar (Koentjoro, 2004: 41) menjelaskan bahwa persoalan
yang memojokkan LGBT adalah bahwa LGBT seringkali dianggap membahayakan
kepribadian seseorang, memperburuk kehidupan keluarga dan pernikahan,
menyebarkan penyakit, dan mengakibatkan disorganisasi sosial. Pelacur acapkali
disalahkan karena dianggap sebagai biang keretakan keluarga. Pelacur juga
dimusuhi kaum agamawan dan dokter karena peran mereka dalam menurunkan derajat
moral dan fisik kaum pria serta menjadi bibit perpecahan anak-anak dari
keluarganya (Parker dalam Koentjoro, 2004: 42).
Selanjutnya
adalah pendapat mengenai dampak yang akan terjadi pada pelaku pelacuran pria
(gigolo). Simon et al. (1999: 88-92) menyatakan bahwa gigolo yang memiliki
orientasi seks sebagai homoseksual lebih banyak terjangkit HIV AIDS
dibandingkan dengan mereka yang heteroseksual dan biseksual. Pernyataan
selanjutnya adalah ditemukannya penggunaan bermacam-macam obat kimia sehubungan
dengan masalah kejiwaan sebagai akibat dari perasaan mengenai homoseksualitas
yang mereka miliki dan identifikasi orientasi seks yang mereka miliki. Hal ini
kemudian berpengaruh pada perasaan obsessive-compulsivity, pribadi yang
sensitive (inferiority dan personal inadequacy), depresi dan
kecemasaan (anxiety). Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat kita
simpulkan bahwa pelacuran hanya akan membawa dampak negatif bagi pelaku
pelacuran, pengguna jasa pelacuran dan masyarakat.
5.
Penanggulangan LGBT
Pelacuran
merupakan suatu masalah masyarakat yang dianggap menular dari individu yang
satu ke individu yang lain. Menurut Koentjoro (2004: 94) ada tiga cara yang
dilakukan oleh penghasut (mucikari) untuk menciptakan dan menyalurkan
pelacur-pelacur, yakni:
a)
Cara pasif, yaitu menjadikan mantan LGBT
sebagai model sosialisasi. Kehidupan mewah mantan pelacur sengaja
ditonjol-tonjolkan oleh penghasut dengan tujuan untuk menbuat cemburu
para calon-calon pelacur untuk kemudian tertarik dan mencoba terlibat dalam dunia
pelacuran. Jika mantan pelacur yang ijadikan model ini muncul darI komunitas
yang memuja kekayaan maka pengaruh mereka akan lebih kuat ketimbang komunitas
yang kurang memuja kekayan dan rendah aspirasi meterialnya.
b)
Secara aktif, yaitu mempengaruhi orangtua
dan perempuan yang potensial tergoda untuk memasuki pelacuran dengan
iming-iming imbalan meteri yang melimpah yang dapat meningkatkan status
keberadaan mereka dalam budaya yang memuja kekayaan.
c)
Pengahasut juga
aktif menjembatani antara permintaan dan persediaan dengan cara membuka saluran
permintaan dan menjaga persediaan. Apa yang dilakukan oleh penghasut dalam
hal ini adalah menyediakan pelacur yang dapat diakses secara langsung dan akan
membuka peluang bagi pelacur-pelacur baru dari desa untuk dapat disalurkan ke
kota. Maka, selain bertindak sebagai penyalur dan pembuka saluran permintaan
dan persediaan, penghasut pada akhirnya juga menjadi pencipta permintaan
dan penjaga faktor persediaan. Penjelasan di atas membuktikan bahwa banyak cara
yang dapat dilakukan oleh penyalur pekerja seks komersial (mucikari) untuk
menciptakan pelacur-pelacur baru. Pelacuran sendiri bertentangan dengan hukum
di Indonesia, yakni Pancasila terutama sila pertama dan kedua. Seturut dengan
hukum ini, Dinas Sosial RI (1984) pun telah menetapkan bahwa pelacuran
bertentangan nilai sosial, norma dan moral agama karena merendahkan martabat
manusia. Namun, secara resmi aturan hukum dan perundangan tentang pelacuran di
Indonesia masih sangat membingungkan. Setiap kota di Indonesia memiliki
persepsi dan kebijakan tersendiri mengenai hal ini. Akibatnya, tiap-tiap kota
memperlakukan pelacur dengan cara yang berbeda. Mengetahui hal tersebut, maka
usaha penanggulangan yang telah ditempuh Departemen Dalam Negeri dan Dinas
Sosial menurut Koentjoro (2004: 71) baru hanya terpusat pada penanganan
pelacuran di wilayah perkotaan dengan cara mendirikan pusat reisosialisasi dan
panti. Reisosialisasi merupakan sebuah sistem kesejahteraan sosial untuk
menciptakan keadaan sosial yang lebih baik bagi orang-orang yang menderita
masalah sosial (Keputusan Wali Kota Yogyakarta No. 166/KD/1974 dalam Koentjoro
2004: 73) Sedangkan Kartini Kartono (2005: 266) menjelaskan secara garis besar
usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat dibagi mejadi dua, yaitu:
Usaha
yang bersifat preventif (pencegahan), antara lain dengan:
1)
Penyempurnaan perundang-undang mengenai
larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran;
2)
Intensifikasi pemberian pendidikan
keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai
religious dan norma kesusilaan;
3)
Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan
kesempatan rekreasibagi anak-anak puber dan adolesens untuk menyalurkan
kelebihan energinya;
4)
Memperluas lapangan kerja bagi wanita,
disasuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya;
5)
Penyelenggaraan pendidikan seks dan
pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga;
6)
Pembentukan badan atau tim koordinasi dari
semua usaha penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa instansi
sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu melaksanakan
kegiatan pencegahan atau penyebaranpelacur;
7)
Penyitaan terhadap buku-buku dan
majalah-majalah cabul, gambargambar porno, film-film biru dan sarana-sarana
lain yang merangsang nafsu seks;
8)
Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada
umumnya.
Tindakan
yang bersifat represif dan kuratif, usaha yang dimaksudkan sebagai kegiatan
menekan (menghapus, menindas) dan usaha menyembuhkan para pria atau wanita dari
ketunasusilaannya untuk membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha ini meliputi:
1)
Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan
sebagai legalisasi orang melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin
kesehatan dan keamanan para prostitue serta lingkungannya;
2)
Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan
melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka dapat
dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila;
3)
Penyempurnaan tempat-tempat penampungan
bagi para wanita tunasusila terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai
dengan bakat dan minat masing-masing;
4)
Pemberian suntikan dan pengobatan pada
interval waktu tertentu untuk menjamin kesehatan para prostitue dan
lingkungannya;
5)
Menyediakan lapangan kerja baru bagi
mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup
susila;
6)
Mengadakan pendekatan terhadap pihak
keluarga pihak pelacur dan masyarakat asal mereka agar mereka mau menerima
kembali bekasbekas wanita tunasusila itu mengawali hidup baru;
7)
Mencarikan pasangan hidup yang
permanen/suami bagi wanita tunasusila untuk membawa mereka kejalan yang benar;
8)
Mengikutsertakan ex-LGBT dalam usaha
transmigrasi, dalam rangka pemerataan penduduk tanah air dan perluasan
kesempatan kerja bagi wanita
maupun pria.
Dari
pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usaha yang dilakukan sebagai
upaya penanggulangan terhadap pelacuran dapat ditempuh dengan dua cara yaitu
preventif (pencegahan) dengan cara membenahi sistem perundang-undangan dan
hukum di Indonesia, memberikan pendidikan kerohanian dan seks, mempeluas
lapangan kerja dan mengikutsertakan masyarakt lokal dalam pencegahan dan
penyebaran pelacuran. Sedangkan cara kuratif (penyembuhan) yang dapat ditempuh
yakni dengan cara mengadakan tempat resosialisasi bagi pelacur baik di kota
maupun di desa, penyempurnaan tempat-tempat penampungan pelacur, menambah
lapangan kerja baru dan penjaminan mutu kesehatan bagi pelacur oleh pemerintah.
BAB III
EVALUASI
DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT
Bertentangan
dengan KUHP
Tindak
pidana LGBT masuk
kedalam Tindak Pidana Pelanggaran sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2)
Perda tersebut. Dalam lapangan hukum pidana, mengenai tindak pidana
pelanggaran, seorang pelaku harus terlebih dahulu melakukan tindak pidana
tersebut sehingga dapat dijatuhi pidana berupa kurungan ataupun
denda. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal 54 telah
menyatakan dengan tegas bahwa “Percobaan pelanggaran tidak dapat
dipidana”. Sehingga dalam konteks ini, niat dan usaha untuk melakukan
pelanggaran saja tidak bisa menjadi unsur dari suatu delik pidana, akan tetapi
perlu dilakukan suatu tindakan pelanggaran yang nyata sehingga seseorang dapat
memenuhi unsur delik. Sedangkan di dalam Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E
Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, dalam Pasal 6 ayat (1) dijelaskan
bahwa seseorang dapat terkena razia karna sebab melanggar ketentuan
pasal 4 ayat (1) yang bunyinya adalah sebagai berikut: “Setiap orang
yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan
bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di
lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung atau tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan, atau di lorong-lorong jalan, atau di
tempat-tempat lain di Daerah”. Jika ditelaah dengan menggunakan ketentuan dalam
KUHP tentang Percobaan Pelanggaran yang dapat dipidana, maka dapat dilihat
bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005
Tentang Pelarangan Pelacuran ini sudah melampaui kewenangan yang ada dalam
KUHP, karena seluruh uraian dalam pasal 4 ayat (1) Perda ini pada dasarnya
tidak melakukan atau belum melakukan tindak pidana pelanggaran pelacuran. Dari
penjelasan ini, dapat diketahui bahwa Pasal 4 ayat (1) Perda KotaTangerang
Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini, bertentangan dengan
KUHP pasal 54 tentang percobaan melakukan pelanggaran yang dapat dipidana.
Bertentangan
dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pelarangan
Pelacuran merupakan bagian dari Peraturan Perundang-undangan maka pembentukan
Perda harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada
umumnya, sehingga apabila Perda tersebut bertentangan dengan UU yang lebih
tinggi (KUHP) dan kepentingan umum (terganggunya kerukunan antarwarga), maka
secara otomatis Perda tersebut bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena dalam pasal 7 ayat (5)
UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menjelaskan bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan
Pengertian “bertentangan dengan kepentingan umum” dalam hal
ini adalah kebijakan yang dapat berakibat, terganggunya kerukunan antarwarga
masyarakat, terganggunya ketentraman/ketertiban umum, serta kebijakan yang
bersifat diskriminatif.
Dalam
implementasinya Bertentangan dengan UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Munculnya
Perda ini dalam
implementasinya telah membawa korban tidak sedikit kaum perempuan, sehingga
kaum perempuan di Kota Tangerang merasa trauma atau takut untuk melakukan
aktifitas di malam hari, terutama bagi perempuan yang bekerja menjadi buruh
pabrik di sekitar kota Tangerang yang mana sering pulang kerja pada malam
hari. Padahal saat ini cukup banyak perempuan yang bekerja di sektor
industri dan jasa. Dalam penerapan Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun
2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini, nampak dengan jelas bahwa akses terhadap
keadilan (access to justice) telah diabaikan yakni Perda ini berdampak terhadap
ekonomi kaum perempuan yang mana takut terkena razia apabila bekerja pada malam
hari dan dalam aplikasinya, hanya kaum perempuanlah yang terkena razia. Oleh
karena sebab Perda ini dalam prakteknya lebih mendiskreditkan perempuan dengan
kebijakan yang multitafsir yang memakan korban perempuan dan warga Tangerang
yang dicurigai pelacur, maka dapat diketahui bahwa Perda Kota Tangerang Nomor 8
Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini bertentangan dengan UU No 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. Karena dalam UU tersebut menjelaskan bahwa semua warga
Negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintah, sehingga segala
bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
pancasila dan UUD 1945.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN
YURIDIS, LANDASAN EMPIRIS
a. Landasan Filosofis
Kepedulian
atas perkawinan bermakna pada kesungguhan upaya untuk memastikan bahwa setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah. Oleh karena itu, adalah hal krusial
bagi Kabupaten Banyumas untuk memiliki perangkat peraturan daerah yang bisa
memberikan kepastian hukum dan kejelasan tanggung jawab bahwa setiap orang akan
terperhatikan kebutuhan kesejahteraannya dan terlindungi, yang pada gilirannya
akan mengamankan pencapaian visi Kabupaten Banyumas. Undang-undang Dasar 1945
sendiri memberikan kesempatan besar untuk itu melalui Pasal 18 (Perubahan II,
18 agustus 2000) ayat 5 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah”; dan ayat 6 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
“Masa depan kota dan masyarakat Banyumas sesungguhnya sangat
ditentukan oleh keberhasilan pemerintah dan warganya saat ini dalam melindungi
dan memenuhi hak-hak setiap anak yang hidup di Banyumas” hari ini”.
b. Landasan Yuridis
Secara
yuridis Negara Republik Indonesia telah berusaha untuk memberikan perlindungan
tentang hak-hak orang sesuai dengan peraturan perundang undangan sebagai
berikut:
1.
Undang Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 28B Ayat 1;
2.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
4.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Bab IV
Tentang Perkawinan (tidak berlaku bagi golongan timur asing, hanya berlaku bagi
golongan tionghoa).
Meskipun
telah terdapat sederetan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan
perkawinan, sebagaimana tersebut di atas, tapi perlindungan anak di Kabupaten
Banyumas dalam kenyataannya masih belum memadai. Berdasarkan data-data yang
dijumpai di lapangan sebagaimana tersebut di atas di Kabupaten Banyumas masih
terdapat Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender.
Kabupaten
Banyumas yang telah dicanangkan menjadi sangat memerlukan Peraturan Daerah
Kabupaten Banyumas tentang Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender. Untuk
melindungi hak-hak yang berkonflik dengan hukum, korban tindak pidana, orang
terlantar, korban penyalah gunaan narkotika/ Adapun struktur dan layanan harus
dikembangkan meliputi:
1.
Layanan Pencegahan Primer. Kegiatan secara
langsung berdampak pada perubahan sikap
dan perilaku sosial melalui advokasi dan kampanye peningkatan kesadaran,
memperkuat keterampilan orang tua, promosi alternative bentuk-bentuk penegakan
disiplin tanpa kekerasan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak
buruk kekerasan.
2.
Layanan Pencegahan sekunder atau layanan
intervensi awal. Layanan ini ditujukan kepada keluarga yang teridentifikasi
rawan atau beresiko terjadinya perlakuan salah atau penelantaran. Sebagai
contoh adalah keluarga yang mengalami perceraian atau mengalami hidup terpisah,
keluarga yang memerlukan mediasi atau konseling untuk mengatasi kebiasaan menggunakan
narkoba atau alkohol, keluarga yang mengalami kekerasan atau keluarga yang
mengalami masalah kesehatan mental sehingga mengalami kesulitan dalam mengasuh
anak. Untuk mengatasi hal itu diperlukan penegasan mengenai kewajiban pemerintah
dan tanggungjawab masyarakat.
3.
Layanan penanganan masalah. Layanan ini
ditujukan kepada orang yang secara nyata telah mengalami kekerasan, ekploitasi,
penelantaran dan perlakuan salah, anak yang berhadapan dengan hukum. Kondisi
ini membutuhkan intervensi yang berkelanjutan seperti konseling, nasehat,
monitoring, serta kewajiban negara untuk melakukan intervensi terhadap kasus
tersebut melalui supervisi, layanan dukungan keluarga seperti program
pendidikan bagi orang tua, konseling bagi keluarga dan angota keluarga, program
terapi penyembuhan, dan atau menyediakan rumah perlindungan sementara bagi anak
yang menjadi korban, atau menyediakan pengasuhan alternative melalui putusan resmi
dari pengadilan.
c. Landasan Empiris
Ada dua
hal utama disajikan dalam kajian teknis ini. Pertama, mengenai gambaran
permasalahan perlindungan anak di Kota Bandung. Kedua, mengenai model
penanganan yang disarankan untuk dikembangkan dalam Perda.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI PERDA
1.
Upaya penanganan
a. Pengembangan kemampuan dan mekanisme
di tingkat pemerintah kota dalam membangun kemampuan “masyarakat” Kota
Bandung dalam menciptakan kondisi yang dapat mencegah terjadinya masalah
perlindungan anak.
i.
Membangun Kesadaran dan Sikap
Masyarakat, yaitu
upaya untuk membangun masyarakat kota Bandung menjadi masyarakat yang secara
kolektif memiliki kesadaran tinggi dan kesiapan bertindak terhadap masalah perlindungan
anak.
ii.
Kebijakan, Program, & Mekanisme, bagian ini untuk memastikan adanya konsistensi dan upaya
sistematis dalam penyiapan model dan pemenuhan standar layanan perlindungan
anak di Kota Bandung
iii.
Pengembangan
Partisipasi Anak, yaitu upaya untuk meningkatkan kemampuan dan keterlibatan
anak dalam pembangunan lingkungan yang lebih mampu melindungi mereka.
b. Upaya untuk
memastikan kesiapan Pemerintah dan masyarakat Kota Bandung dalam melakukan
intervensi awal atau
deteksi dini, segera dan
memberikan perlindungan terhadap anak (dan keluarganya) yang berada dalam
situasi beresiko mengalami berbagai bentuk tindak kekerasan, perlakuan salah,
eksploitasi, dan penelantaran.
i.
Kebijakan, Program, dan Mekanisme,
yaitu upaya yang
dilakukan secara terencana untuk
menciptakan layanan dan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan aksi
perlindungan terhadap anak (dan keluarganya) yang berada dalam situasi beresiko
mengalami berbagai bentuk tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan
penelantaran.
ii.
Peningkatan Kesadaran, yaitu upaya-upaya untuk
memastikan adanya langkah yang mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat dan
lembaga yang terlibat dalam upaya perlindungan anak
iii.
Pelibatan Masyararakat, yaitu upaya untuk
melibatkan warga masyarakat dan anak itu sendiri dalam menciptakan lingkungan
yang protektif bagi anak.
iv.
Kelembagaan/Manajemen, yaitu upaya untuk mensistematisasikan,
memperlancar dan memastikan langkah perlindungan anak berjalan sesuai dengan
tujuan.
v.
Layanan, yaitu jenis dan bentuk layanan yang perlu dibangun
dan dikembangkan untuk mewujudkan perlindungan anak di Kota Bandung
vi.
Koordinasi, Bagian ini merupakan upaya untuk
memastikan setiap aksi perlindungan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat berjalan secara maksimal dan terhindar dari tumpang tindih. Penting
untuk secara tegas ditetapkan penugasan kepada lembaga atau team atau badan
tersendiri atau komite yang diberi mandat/kewenangan melakukan
koordinasi. Contoh pada UU dan perda lainnya yaitu, UU Sisdiknas/Perda Pendidikan : yang bertanggung
jawab adalah Dinas Pendidikan, UU Kesehatan/Perda Kesehatan : yang bertanggung
jawab adalah Dinas Kesehatan, UU Adminduk/Perda Adminduk yang bertanggung jawab
adalah Dinas Kependudukan dan Capil. Untuk Perda Penyelenggaraan Perlindungan
Anak, maka BPPKB selayaknya ditetapkan untuk melakukan fungsi tersebut.
c. Pengembangan mekanisme ditingkat
kota untuk memastikan dilakukannya
respon berupa penanganan secara segera
oleh pemerintah kota terhadap setiap anak yang menjadi korban dari berbagai bentuk
tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran. Penanganan dimulai dari
identifikasi, penyelamatan, rehabilitasi dan reintegrasi.
i.
Identifikasi dan reporting, yaitu Upaya yang
dilakukan oleh pemerintah kota untuk secara dini mengidentifikasi dan mengenali
keberadaan anak-anak yang menjadi korban kekerasan, perlakuan salah, eklpoitasi
dan penelantaran.
ii.
Penarikan/
Rescue, yaitu Upaya penyelamatan terhadap anak-anak yang berada dalam situsi
mendapatkan kekerasan, perlakuan salah, ekploitasi dan penelantaran
iii.
Rehabilitasi,
yaitu upaya pemerintah kota dalam memastikan setiap anak yang menjadi korban
kekerasan, perlakuan salah, ekploitasi dan penelantaran mendapatkan
dukungan rehabilitasi yang mencakup ;
rescue (penyelamatan), kesehatan, pendidikan, psiko-sosial, ekonomi, dan legal
iv.
Reintegrasi,
yaitu berupa dukungan layanan lanjutan pasca rehabilitasi untuk anak-anak korban kekerasan, perlakuan
salah, ekploitasi dan penelantaran untuk memberikan jaminan agar anak bisa
diterima/ kembali bersatu dengan
keluarga dan lingkungannya serta
terjamin tumbuh kembangnya dimasa mendatang.
v.
Manajemen
Layanan, yaitu upaya dalam membangun dan memperkuat sistem layanan, peningkatan
koordinasi serta membangun keberpihakan layanan terhadap anak-anak.
A.
KETENTUAN SANKSI
Pada intinya, penguatan atau sanksi
yang diterapkan untuk tujuan penegakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
daerah ini diarahkan untuk merujuk pada ketentuan dalam perundangan terkait
yang berlaku.
Pemerintah kota mengembangkan
mekanisme positif atau pemberian penghargaan untuk tujuan penguatan perilaku
atau percepatan perbaikan layanan di lingkungan kelembagaan yang ada.
B.
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat berlakunya peraturan
daerah ini, semua ketentuan dalam peraturan daerah lainnya yang berkaitan atau
berdampak terhadap kepentingan anak dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan daerah ini.
C.
KETENTUAN PENUTUP
1. Peraturan daerah ini dilaksanakan
oleh organ atau alat kelengkapan di lingkungan pemerintah kota Bandung yang
terkait dengan layanan atau kegiatan yang diatur dalam Perda ini.
2. Peraturan daerah ini disebut Perda
Penyelenggaraan Perlindungan Anak Kota Bandung
3. Pada saat berlakunya peraturan
daerah ini, selambatnya 6 bulan pemerintah kota Bandung harus sudah menerbitkan
peraturan walikota sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan daerah ini.
4. Peraturan daerah ini mulai berlaku
sejak ditetapkan.
BAB VI
PENUTUP
Sebagai kota metropolitan yang terbuka dan terus
berkembang dengan pesat, kota kabubaten banyumas tak lepas dari ekses
perkembangan berbagai masalah sosial. Komplikasi dari berbagai situasi masalah
sosial tersebut kemudian antara lain berdampak terhadap kehidupan LGBT di
banyumas. Saat ini, sebagaimana dipaparkan dalam berbagai kajian di atas, kasus-kasus
berbagai jenis masalah cenderung meningkat secara kuantitas maupun kualitasnya.
Jika tak direspon segera secara bijak, dikhawatirkan
dalam jangka panjang akan berdampak buruk terhadap keberhasilan pembangunan
peradaban kota sebagaimana dicita-citakan dalam Visi kota Bandung, yang pada
dasarnya adalah cita-cita pembangunan masyarakat yang berupaya menempatkan
kesejahteraan, martabat, dan nilai-nilai kemanusiaan pada level tertinggi.
Dan komitmen Pemerintah Kota untuk memberikan
prioritas tinggi pada kesejahteraan dan perlindungan anak adalah keputusan yang
bernilai strategis dan investasi jangka panjang terpenting untuk pencapaian dan
kelanggengan kondisi sebagaimana digambarkan dari visi tersebut. Yang
dibutuhkan selanjutnya adalah menterjemahkan komitmen tersebut menjadi suatu
sistem penyelenggaraan perlindungan anak melalui upaya yang terencana,
sistematis, dan terukur. Sudah saatnya disusun suatu acuan normatif yang dapat
menjadi panduan dalam mengintegrasikan seluruh sumber daya pemerintah dan masyarakat,
sehingga penyelenggaraan perlindungan anak di kota Bandung dapat segera beralih
dari cara-cara yang responsif, sporadis, diskontinu, dan fragmental menjadi
cara-cara yang lebih sistemik yang memberikan bobot besar pada upaya pencegahan
dan layanan integratif.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A.M.Fatwa, 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945.
Jakarta : PT.Gramedia.
Charles Simabura, 2011. Parlemen
Indonesia Lintas Sejarah Dan Sistemnya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie, 2010. Perkembangan
& Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta
: Sinar Grafika.
King Faisal Sulaiman, 2014. Dialektika Pengujian Pertaruran Daerah Pasca
Otonomi Daerah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Moh.Mahfud MD. 2010. Membangun
Politik Hukum Menegakkan Konstitusi.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Munir Fuady, 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat).
Bandung : PT Refika Aditama.
Mukti Fajar. Yulianto
Achmad, 2010. Dualisme Penelitian
Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ni’matul Huda, 2012, Hukum
Pemerintahan Derah, Bandung : Nusamedia.
Sarman. Mohammad Taufik
Makarao, 2011.Hukum Pemerintahan
Daerah Di Indonesia, Jakarata :
Rineka Cipta.
Sefti Nur Wijayanti. Iwan
Satriawan, 2009. Hukum Tata Negara Teori & Prakteknya Di Indonesia, Yogyakarta
: Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Data dikumpulkan Lingkar Perlindungan Anak
dan BPPKB Kota Bandung tahun 2011
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011
Tentang Standar Operasional Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 15 Tahun
1954 Tentang Penutupan Rumah-rumah Pelacuran
Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2007 Tentang
Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 20 Tahun
2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 18 Tahun
2009 Tentang Pemebentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten
Bantul
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Bantul No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Bantul
Internet
http://satpolpp.bantulkab.go.id/berita/41-15-psk-terjaring-razia-satpol-pp-bantul.Diunduh Kamis, 12/09/2016 jam 13.45
Wib
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/06/21/16163550/Kena.Razia.7.PSK.Terancam.Denda.Rp.10.Juta, Diunduh Kamis, 12/09/2016 jam
14.40 Wib
http://www.sumbarprov.go.id/detail_artikel.php? id=1158.Diunduh 12/09/2016 jam 11.00
Wib