IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
TERORISME
BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Terorisme
adalah kata dengan beragam interpretasi yang paling banyak diperbincangkan dan
dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme sampai saat
ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga
dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan
definisi yang seragam menurut Hukum Internasional mengenai terorisme tidak
serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara
mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan
menanggulangi terorisme.
Kata
“teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang
lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa
menimbulkan kengerian.[1]
Akan tetapi sampai saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima
secara universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang
memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban
warga sipil yang tidak berdosa. Dalam konteks Indonesia, persoalan terorisme
menjadi titik perhatian pada saat terjadi peledakan bom di Legian, Bali, pada
tanggal 12 Oktober 2002 yang menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik
Internasional, karena mengingat mayoritas korban dari tragedi bom Bali adalah
orang asing. Adanya peledakan tersebut menjadi indikator bahwa sebuah jaringan
teroris telah masuk ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Teror yang
terjadi itu merupakan teror terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang
ada.[2]
Dampak
yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme meluas, seperti dalam tragedi bom
Bali, bukan hanya sekedar ratusan nyawa terbunuh dan ratusan orang yang cedera,
tetapi tragedi tersebut berdampak pada
keluarga para korban yang sekarang kehilangan suami, anak, maupun ibu. Pasca
kejadian seluruh warga Pulau Bali yang mencapai hampir 2 juta orang, ikut
merasakan akibatnya, para nelayan tidak dapat menjual ikan hasil tangkapannya,
karena tidak ada lagi pengunjung di restoran-restoran, serta para pelayan hotel
kehilangan pekerjaannya, karena berkurangnya tamu yang menginap. Kenyataan
pahit yang sekarang dihadapi adalah, dibutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan
keadaan di Bali. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa di saat sudah pulih pun,
Bali tidak sama seperti dulu lagi.
Selama
ini yang telah diakui sebagai extra ordinary crime adalah pelanggaran
Hak Asasi Manusia berat yang meliputi crime against humanity (tindak
pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan
dan masyarakat umum ada dalam suasana teror) dan genocide (setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama).
Untuk menentukan kejahatan yang termasuk dalam kategori extra ordinary crime
harus ditentukan karakteristik extra ordinary crime. Penentuan
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebagai extra ordinary crime didasarkan
pada kaidah Hukum Internasional yaitu Statuta Roma.[3]
Tindak
pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),
oleh pelakunya sering dilakukan dalam bentuk pengeboman. Salah satu aspek
penting yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme adalah masalah Hak Asasi
Manusia. Tindak pidana terorisme pada hakikatnya merupakan penghancuran
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, martabat, dan norma-norma agama, yang dapat
digolongkan kepada kejahatan terhadap kemanusiaan. Dimana kejahatan terhadap
kemanusiaan itu sebagaimana diatur dalam KUHP, ditentukan oleh unsur-unsur sebagai
berikut:[4]
1. Adanya
serangan yang meluas dan sistematis.
2. Diketahui
bahwa serangan tersebut diajukan secara langsung kepada penduduk sipil.
3. Serangan
itu berupa kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Pemberantasan
tindak pidana terorisme sebagai wujud perlindungan kepada warga negara
merupakan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Negara Indonesia adalah negara hukum,[5]
karena itu Pemerintah Republik Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera serta ikut aktif
memelihara perdamaian dunia.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan
dan melindungi tiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif,
baik dari dalam maupun luar negeri. Perubahan keempat UUD 1945 Bab X A tentang
Hak Asasi Manusia telah mengatur hak asasi manusia secara rinci termasuk
hak-hak persamaan di muka hukum.[6]
Substansi
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme banyak menampilkan hal yang
baru, karena sebagai produk darurat maka terdapat penyimpangan asas-asas dalam
hukum pidana dan hal ini mempersempit ruang atas penghargaan hak asasi manusia
khususnya hak tersangka dalam sistem hukum Indonesia misalnya dalam ketentuan
Pasal 46 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Perpu Nomor 2 Tahun 2002 jo.
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, adanya asas retroaktif yaitu diberlakukannya
asas tersebut terhadap kasus peledakan bom di Bali.
Apabila
suatu peraturan hukum menganut asas retroaktif, maka aturan-aturan yang
terdapat dalam peraturan tersebut diberlakukan. Pemberlakuan asas tersebut
dalam Perpu dalam kerangka prinsip ketatanegaraan abnormal recht voor
abrnormale tijden (hukum darurat untuk kondisi yang darurat), karenanya
dibenarkan pula penerapan asas lex specialis derogate lex generalis (Pasal
103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).[7]
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut di
samping melindungi kedaulatan negara dari berbagai tindakan terorisme, negara
berkewajiban melindungi tersangka pelaku terorisme sebagai wujud perlindungan
hak asasi manusia.[8]
Selain
itu, undang-undang tersebut berkewajiban melindungi korban terorisme yang
haknya sudah dirampas. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan landasan hukum bagi
setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme untuk
mendapatkan kompensasi atau restitusi. Namun demikian sampai saat ini belum ada
yang mengatur pemberian kompensasi atau restitusi bagi korban, begitu pula
dalam praktik peradilan kasus tindak pidana terorisme. Sekalipun akibat dari
perbuatan tindak pidana terorisme telah banyak menimbulkan korban yang
menderita kehilangan anggota badan, mengalami sakit ataupun sampai kehilangan
nyawa.[9]
Selain
masih adanya kelemahan-kelemahan dalam produk peraturan perundang-undangan
maupun dalam praktik mengenai perlindungan atas korban tersebut, saat ini belum
ada prosedur permohonan restitusi dan penjatuhan sanksi terhadap restitusi yang
tidak dipenuhi oleh pelaku terorisme. Dari uraian di atas, jelas bahwa
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
belum mencerminkan prinsip “due process of law” dan prinsip “fair
trail” dan “equality before the law” antara pihak korban dan pihak
tersangka.[10]
- PERUMUSAN MASALAH
Bertitik
tolak dari latar belakang diatas, penulis melihat pokok masalah yang menarik
untuk dicermati, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
bentuk perlindung hukum terhadap korban Tindak Pidana Terorisme menurut
Terorisme?
2. Bagaimana
implementasi Undang-undang terorisme di
Indonesia?
- TUJUAN PENELITIAN
Tujuan
yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap korban Tindak Pidana Terorisme
menurut Terorisme.
2. Untuk
mengetahui implementasi Undang-undang
terorisme di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
- PEMBENTUKAN PERPU NO. 1 TAHUN 2002 JO UU NO. 15 TAHUN 2003
Dewasa
ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam
perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Sejak itu pemerintah
Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Anti Terorisme. Seiring dengan itu Presiden mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang menugaskan Menko Polkam untuk
melakukan dua hal sebagai berikut:[11]
- Merumuskan
Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme.
- Mengkoordinasikan semua langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.
Untuk
merealisasikan Inpres tersebut dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme
(DKPT). Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme dititik beratkan
kepada dua hal yaitu:
ü Upaya
Penegakkan hukum secara adil dan transparan.
ü Upaya
Counter Radikalisme (Program Deradikalisasi) untuk menetralisir ideologi
radikal yang menjadi pemicu utama terjadinya aksi terorisme.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian
disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik juga memuat perwujudan
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention
Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing
Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang lingkup
yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta
ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak
pidana
terorisme internasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 juga mempunyai kekhususan, antara lain:
Ø Merupakan
ketentuan payung hukum terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
Ø Memuat
ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau
terdakwa yang disebut safe guarding rules.
Ø Di
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa
tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga
pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan
secara lebih efektif.
Ø Memuat
ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan
prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan
atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat
mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan
tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial
dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya
jangkauan terhadap tindak pidana terorisme.
Ø Memuat
ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana
terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ø Ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa,
protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi.
Ø Di
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan
ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan
terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
Ø Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang
diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi
memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang
berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Setiap
peristiwa yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
terhadap keselamatan jiwa manusia tanpa pandang bulu terhadap korbannya.
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary crime) yang
membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra
Ordinary Measure). Sehubungan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan bahwa
setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik
karena karakteristiknya mengandung elemen ”Etno Socio or Religios Identity.”
Menurut
Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan
(politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social
welfere) Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana terorisme juga terlihat
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yaitu dalam
dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme khususnya
Pasal 242 sampai dengan Pasal 251.
Menurut
Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:[12]
- Perencanaan
atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan
ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
- Perencanaan
atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku
perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem
penerapan.
- Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu tahap kebijakan legislatif, tahap kebijakan yudikatif dengan aplikatif dan tahap kebijakan eksekutif dengan administratif.
Dalam
menghadapi terorisme di Indonesia Romly Atmasasmita mengemukakan dengan
mempertimbangkan latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis diperlukan
suatu perangkat perundang-undangan yang memiliki visi dan misi serta terkandung
prinsip-prinsip hukum yang memadai sehingga dapat dijadikan penguat bagi
landasan hukum bekerjanya sistem peradilan pidana di mulai dari tingkat
penyidikan sampai pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Undang-undang tersebut
harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dan diperlukan masyarakat dan
bangsa Indonesia baik pada masa kini maupun pada masa yang mendatang, dan
sekaligus juga dapat mencerminkan nilai-nilai yang berlaku universal dan diakui
masyarakat internasional.
Beberapa
aksi teror seperti: Bom Natal Tahun 2000, Bom Bali I Tahun 2002, Bom J.W
Marriot Tahun 2003, Bom Kedutaan Besar Australia Tahun 2004, Bom Bali II Tahun
2005, serta aksi-aksi teror di Poso, semuanya dapat diselesaikan melalui
penegakkan hukum dengan adil dan transparan, akan tetapi kenyataannya gerakan
kelompok radikal masih terus berlangsung. Propaganda untuk melakukan teror dan
aksi-aksi kekerasan masih terus berlangsung. Rekruitment baru masih dilakukan
dan rencana-rencana aksi masih tetap ada. Juga kita pahami bersama bahwa
gerakan yang berlatar belakang ideologi tidak akan berhenti dengan
tertangkapnya para pelaku. Selama ideologi radikal tidak bisa dinetralisir
mereka akan terus melakukan aksinya.
- REGULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang
a.
Mendapatkan
Kompensasi dan Restitusi, sebagaimana dalama Pasal 36 bahwa:
1)
Setiap korban atau ahli warisnya akibat
tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
2)
Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh
Pemerintah.
3)
Restitusi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban
atau ahli warisnya.
4)
Kompensasi dan/atau restitusi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
b.
Mendapatkan
Rehabilitasi, Pasal 37
1)
Setiap
orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
2)
Rehabilitasi
tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
c.
Pengajuan
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi, Pasal 38
1)
Pengajuan
kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan
berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
2)
Pengajuan
restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga
berdasarkan amar putusan.
3)
Pengajuan
rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia.
d. Rentang
waktu pengajuan kompensasi dan Restitusi,
Pasal 39
Menteri
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi,
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
e.
Pelaksanaan
Kompensasi dan Restitusi, Pasal 40
1)
Pelaksanaan
pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan,
pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara,
disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi,
dan/atau rehabilitasi tersebut.
2)
Salinan
tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
3)
Setelah
Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman
pengadilan yang bersangkutan.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
1. Mendapatkan
bentuk perlindungan fisik, non-fisik dan hukum, sebagaimana terlihat dalam
Pasal 5 ayat (1), bahwa saksi dan/atau korban berhak:
a) Memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas
dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
b) Ikut
serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c) Memberikan
keterangan tanpa tekanan;
d) Mendapat
penerjemah;
e) Bebas
dari pertanyaan yang menjerat;
f) endapat
informasi mengenai perkembangan kasus;
g) Mendapat
informasi mengenai putusan pengadilan;
h) Mendapat
informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i)
Dirahasiakan identitasnya;
j)
Mendapat identitas baru;
k) Mendapat
tempat kediaman sementara;
l)
Mendapat tempat kediaman baru;
m) Memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n) Mendapat
nasihat hukum;
o) Memperoleh
bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir;
dan/atau
p) Mendapat
pendampingan.
2. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, Korban tindak pidana terorisme,Korban tindak pidana perdagangan orang,
Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan
Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
juga berhak:
1) Bantuan medis;
2) Bantuan
rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Bantuan
medis adalah bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik Korban,
termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia, misalnya
pengurusan jenazah hingga pemakaman.
Sedangkan
rehabilitasi psikologis adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada
korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan
kembali kondisi kejiwaan korban.
Rehabilitasi
psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial
yang ditujukan membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi
sosialnya kembali secara wajar.
Selain
kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu, dapat
diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang
dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana
meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami
sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
3. Menurut
pasal 7, Korban tindak pidana berhak memperoleh
Restitusi berupa:
§ ganti
kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
§ ganti
kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai
akibat tindak pidana; dan/atau
§ penggantian
biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
4. Peraturan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban
1) Pasal
28, bahwa bentuk perlindungan saksi dan/atau korban yaitu perlindungan:
a) Fisik;
b) Non-fisik;
c) Hukum
·
Pasal 29 ayat (1), bahwa bentuk
perlindungan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a), meliputi:
keamanan, pengawalan dan penempatan ditempat rumah aman;
·
Pasal 30 ayat (1), bahwa bentuk
perlindungan non-fisik sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf (b), dengan
mengadakan pelayanan jasa: Psikologi, dokter, psikiater, ahli spritual,
rohaniawan, pekerja sosial dan penerjemah
·
Pasal 31 ayat (1), bahwa bentuk
perlindungan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf (c), diberikan dengan mengadakan: pelayanan
jasa penasehat hukum, pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat
memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses peradilan pidana yang
sedang dan telah dihadapi, memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan
kepada pejabat yang berwenang menangani kasus atau perkaranya (memuat antara
lain: saksi dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan
tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat), mendapat informasi mengenai
perkembangan kasus, medapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan
mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan.
2) Berdasarkan
Pasal 36, diatur mengenai Perlindungan darurat yakni:
a) Dalam
hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap saksi dan/atau korban, LPSK
dapat melakukan perlindungan darurat;
b) Perlindungan
yang bersifat darurat sebagaimana di maksud pada ayat (1) melakukan tindakan
pengamanan, pengawalan, menempatkan pada rumah aman, serta dapat memberikan
perndampingan terhadap saksi dan/atau korban dalam pemeriksaan pada tingkat
proses peradilan pidana;
c) Ketentuan
persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
7 sementara dapat diabaikan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban
1)
Mendapatkan
Kompensasi (Pasal 2)
- Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak memperoleh kompensasi;
- Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana
di maksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya
dengan surat kuasa;
- Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bematerai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
2)
Mendapatkan
Restitusi (Pasal 3)
- Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi;
- Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan
surat kuasa khusu;
- Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis bahasa Indonesia di atas
kertas bermaterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
- KELEMAHAN-KELEMAHAN
Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang
1. Tidak
memberikan pengertian atau devinisi mengenai korban tindak pidana terorisme;
2. Tidak
memberikan batasan mengenai kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi;
3. Tidak
adanya sanksi bagi pelaku yang tidak mau menjalankan restitusi kepada korban;
4.
Tidak adanya peraturan pemerintah atau
pelaksana yang khusus mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi kepada korban tindak pidana terorisme.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Komitmen
masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas kejahatan terorisme
sudah disajikan dalam berbagai konvensi internasional dan resolusi Dewan
Keamanan PBB yang menegaskan, bahwa terorisme merupakan kejahatan yang
mengancam perdamaian dan keamanan dunia, oleh karenanya maka seluruh anggota
PBB termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan
PBB yang mengutuk terorisme dan menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk
mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan
perudang-undangan yang berkaitan dengan terorisme di negara Indonesia.
Yang Mendapatkan Kompensasi dan Restitusi adalah setiap
korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme. Sedangkan yang mendapatkan Rehabilitasi adalah
Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus
bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Pengajuan
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi dapat dilakukan oleh korban atau
kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
selain itu,
Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau
pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi
dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua
Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan
pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.
SARAN
Mengingat makin berkembangnya bentuk terorisme di
dunia pada umumnya dan di indonesia pada khususnya, seharusnya pemerintah dapat
mencegah terlebih dahulu supaya tidak ada lagi warga negara indonesia yang
menjadi korban terorisme. Selain itu pemerintah seharusnya kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi yang adil buat korban teririsme.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2002. Masalah Pengaturan Terorisme Dan Perspektif Indonesia. Jakarta:
BPHN-Dep. Kehakiman dan HAM RI;
Barda
Nawawi,
Arief. 2000. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidan. Bandung:
PT.
Citra Aditya Bakti;
Muladi.
2004. Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana
Khusus. Jakarta: bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai
Tindak Pidana Khusus:
S., Adjie. 2005. Terorisme.
Jakarta: Surya Multi Grafika.
[1] Abdul
Wahid, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham dan Hukum,
Bandung : PT. Refika Aditama, hlm. 22.
[2] Ibid.,
hlm. 59.
[3] Pasal 7
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[4] Rozali
Abdullah, 2002, Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Keberadaan Peradilan Hak
Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm. 60
[5] Pasal 1
Ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Perubahan Ketiga). Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.
[6] Pasal
28D Undang-Undang Dasar 1945.
[7] Pasal
103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[8] Pasal 8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
[9] Soeharto,
2007, Perlidungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : PT. Refika
Aditama, hlm. 10.
[10] Ibid.,
hlm. 11.
[11] Susilo
Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri
Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002.
[12] Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000