Wednesday, 3 February 2016

MAKALAH VIKTIMOLOGI


IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TERORISME

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Terorisme adalah kata dengan beragam interpretasi yang paling banyak diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan definisi yang seragam menurut Hukum Internasional mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme.

Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian.[1] Akan tetapi sampai saat ini belum ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa. Dalam konteks Indonesia, persoalan terorisme menjadi titik perhatian pada saat terjadi peledakan bom di Legian, Bali, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik Internasional, karena mengingat mayoritas korban dari tragedi bom Bali adalah orang asing. Adanya peledakan tersebut menjadi indikator bahwa sebuah jaringan teroris telah masuk ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Teror yang terjadi itu merupakan teror terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang ada.[2]
Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme meluas, seperti dalam tragedi bom Bali, bukan hanya sekedar ratusan nyawa terbunuh dan ratusan orang yang cedera, tetapi tragedi tersebut berdampak pada keluarga para korban yang sekarang kehilangan suami, anak, maupun ibu. Pasca kejadian seluruh warga Pulau Bali yang mencapai hampir 2 juta orang, ikut merasakan akibatnya, para nelayan tidak dapat menjual ikan hasil tangkapannya, karena tidak ada lagi pengunjung di restoran-restoran, serta para pelayan hotel kehilangan pekerjaannya, karena berkurangnya tamu yang menginap. Kenyataan pahit yang sekarang dihadapi adalah, dibutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan keadaan di Bali. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa di saat sudah pulih pun, Bali tidak sama seperti dulu lagi.
Selama ini yang telah diakui sebagai extra ordinary crime adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang meliputi crime against humanity (tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana teror) dan genocide (setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama). Untuk menentukan kejahatan yang termasuk dalam kategori extra ordinary crime harus ditentukan karakteristik extra ordinary crime. Penentuan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebagai extra ordinary crime didasarkan pada kaidah Hukum Internasional yaitu Statuta Roma.[3]
Tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh pelakunya sering dilakukan dalam bentuk pengeboman. Salah satu aspek penting yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme adalah masalah Hak Asasi Manusia. Tindak pidana terorisme pada hakikatnya merupakan penghancuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, martabat, dan norma-norma agama, yang dapat digolongkan kepada kejahatan terhadap kemanusiaan. Dimana kejahatan terhadap kemanusiaan itu sebagaimana diatur dalam KUHP, ditentukan oleh unsur-unsur sebagai berikut:[4]
1.      Adanya serangan yang meluas dan sistematis.
2.      Diketahui bahwa serangan tersebut diajukan secara langsung kepada penduduk sipil.
3.      Serangan itu berupa kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.

Pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai wujud perlindungan kepada warga negara merupakan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Negara Indonesia adalah negara hukum,[5] karena itu Pemerintah Republik Indonesia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera serta ikut aktif memelihara perdamaian dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi tiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif, baik dari dalam maupun luar negeri. Perubahan keempat UUD 1945 Bab X A tentang Hak Asasi Manusia telah mengatur hak asasi manusia secara rinci termasuk hak-hak persamaan di muka hukum.[6]
Substansi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme banyak menampilkan hal yang baru, karena sebagai produk darurat maka terdapat penyimpangan asas-asas dalam hukum pidana dan hal ini mempersempit ruang atas penghargaan hak asasi manusia khususnya hak tersangka dalam sistem hukum Indonesia misalnya dalam ketentuan Pasal 46 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Perpu Nomor 2 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, adanya asas retroaktif yaitu diberlakukannya asas tersebut terhadap kasus peledakan bom di Bali.
Apabila suatu peraturan hukum menganut asas retroaktif, maka aturan-aturan yang terdapat dalam peraturan tersebut diberlakukan. Pemberlakuan asas tersebut dalam Perpu dalam kerangka prinsip ketatanegaraan abnormal recht voor abrnormale tijden (hukum darurat untuk kondisi yang darurat), karenanya dibenarkan pula penerapan asas lex specialis derogate lex generalis (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).[7]
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut di samping melindungi kedaulatan negara dari berbagai tindakan terorisme, negara berkewajiban melindungi tersangka pelaku terorisme sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia.[8]
Selain itu, undang-undang tersebut berkewajiban melindungi korban terorisme yang haknya sudah dirampas. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan landasan hukum bagi setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme untuk mendapatkan kompensasi atau restitusi. Namun demikian sampai saat ini belum ada yang mengatur pemberian kompensasi atau restitusi bagi korban, begitu pula dalam praktik peradilan kasus tindak pidana terorisme. Sekalipun akibat dari perbuatan tindak pidana terorisme telah banyak menimbulkan korban yang menderita kehilangan anggota badan, mengalami sakit ataupun sampai kehilangan nyawa.[9]
Selain masih adanya kelemahan-kelemahan dalam produk peraturan perundang-undangan maupun dalam praktik mengenai perlindungan atas korban tersebut, saat ini belum ada prosedur permohonan restitusi dan penjatuhan sanksi terhadap restitusi yang tidak dipenuhi oleh pelaku terorisme. Dari uraian di atas, jelas bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mencerminkan prinsip “due process of law” dan prinsip “fair trail” dan “equality before the law” antara pihak korban dan pihak tersangka.[10]

  1. PERUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, penulis melihat pokok masalah yang menarik untuk dicermati, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana bentuk perlindung hukum terhadap korban Tindak Pidana Terorisme menurut Terorisme?
2.      Bagaimana implementasi  Undang-undang terorisme di Indonesia?

  1. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap korban Tindak Pidana Terorisme menurut Terorisme.
2.      Untuk mengetahui implementasi  Undang-undang terorisme di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. PEMBENTUKAN PERPU NO. 1 TAHUN 2002 JO UU NO. 15 TAHUN 2003
Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Sejak itu pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Anti Terorisme. Seiring dengan itu Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang menugaskan Menko Polkam untuk melakukan dua hal sebagai berikut:[11]
  1. Merumuskan Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme.
  2. Mengkoordinasikan semua langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.
Untuk merealisasikan Inpres tersebut dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme dititik beratkan kepada dua hal yaitu:
ü  Upaya Penegakkan hukum secara adil dan transparan.
ü  Upaya Counter Radikalisme (Program Deradikalisasi) untuk menetralisir ideologi radikal yang menjadi pemicu utama terjadinya aksi terorisme.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik juga memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta ketentuan-ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 juga mempunyai kekhususan, antara lain:
Ø  Merupakan ketentuan payung hukum terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
Ø  Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut safe guarding rules.
Ø  Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
Ø  Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme.
Ø  Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ø  Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi.
Ø  Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
Ø  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Setiap peristiwa yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap keselamatan jiwa manusia tanpa pandang bulu terhadap korbannya. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra Ordinary Measure). Sehubungan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan bahwa setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung elemen ”Etno Socio or Religios Identity.”
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfere) Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana terorisme juga terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yaitu dalam dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 242 sampai dengan Pasal 251.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:[12]
  1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
  2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan.
  3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses yang terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu tahap kebijakan legislatif, tahap kebijakan yudikatif dengan aplikatif dan tahap kebijakan eksekutif dengan administratif.
Dalam menghadapi terorisme di Indonesia Romly Atmasasmita mengemukakan dengan mempertimbangkan latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang memiliki visi dan misi serta terkandung prinsip-prinsip hukum yang memadai sehingga dapat dijadikan penguat bagi landasan hukum bekerjanya sistem peradilan pidana di mulai dari tingkat penyidikan sampai pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Undang-undang tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dan diperlukan masyarakat dan bangsa Indonesia baik pada masa kini maupun pada masa yang mendatang, dan sekaligus juga dapat mencerminkan nilai-nilai yang berlaku universal dan diakui masyarakat internasional.
Beberapa aksi teror seperti: Bom Natal Tahun 2000, Bom Bali I Tahun 2002, Bom J.W Marriot Tahun 2003, Bom Kedutaan Besar Australia Tahun 2004, Bom Bali II Tahun 2005, serta aksi-aksi teror di Poso, semuanya dapat diselesaikan melalui penegakkan hukum dengan adil dan transparan, akan tetapi kenyataannya gerakan kelompok radikal masih terus berlangsung. Propaganda untuk melakukan teror dan aksi-aksi kekerasan masih terus berlangsung. Rekruitment baru masih dilakukan dan rencana-rencana aksi masih tetap ada. Juga kita pahami bersama bahwa gerakan yang berlatar belakang ideologi tidak akan berhenti dengan tertangkapnya para pelaku. Selama ideologi radikal tidak bisa dinetralisir mereka akan terus melakukan aksinya.

  1. REGULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
a.       Mendapatkan Kompensasi dan Restitusi, sebagaimana dalama Pasal 36 bahwa:
1)      Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
2)      Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
3)      Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
4)      Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
b.      Mendapatkan Rehabilitasi, Pasal 37
1)      Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2)      Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
c.       Pengajuan Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi, Pasal 38
1)      Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
2)      Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
3)      Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
d.      Rentang waktu pengajuan kompensasi dan Restitusi,  Pasal 39
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
e.       Pelaksanaan Kompensasi dan Restitusi, Pasal 40
1)      Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.
2)      Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
3)      Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
1.      Mendapatkan bentuk perlindungan fisik, non-fisik dan hukum, sebagaimana terlihat dalam Pasal 5 ayat (1), bahwa saksi dan/atau korban berhak:
a)      Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b)      Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c)      Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d)     Mendapat penerjemah;
e)      Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f)       endapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g)      Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h)      Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i)        Dirahasiakan identitasnya;
j)        Mendapat identitas baru;
k)      Mendapat tempat kediaman sementara;
l)        Mendapat tempat kediaman baru;
m)    Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n)      Mendapat nasihat hukum;
o)      Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
p)      Mendapat pendampingan.
2.      Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme,Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak:
1)      Bantuan medis;
2)      Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Bantuan medis adalah bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik Korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia, misalnya pengurusan jenazah hingga pemakaman. Sedangkan rehabilitasi psikologis adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Rehabilitasi psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu, dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
3.      Menurut pasal 7, Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:
§  ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
§  ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
§  penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
4.      Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban
1)      Pasal 28, bahwa bentuk perlindungan saksi dan/atau korban yaitu perlindungan:
a)      Fisik;
b)      Non-fisik;
c)      Hukum
·         Pasal 29 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf (a), meliputi: keamanan, pengawalan dan penempatan ditempat rumah aman;
·         Pasal 30 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan non-fisik sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf (b), dengan mengadakan pelayanan jasa: Psikologi, dokter, psikiater, ahli spritual, rohaniawan, pekerja sosial dan penerjemah
·         Pasal 31 ayat (1), bahwa bentuk perlindungan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf  (c), diberikan dengan mengadakan: pelayanan jasa penasehat hukum, pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses peradilan pidana yang sedang dan telah dihadapi, memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan kepada pejabat yang berwenang menangani kasus atau perkaranya (memuat antara lain: saksi dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya agar tidak mendaptkan tekanan, bebas dari pertanyaan yang menjerat), mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, medapatkan informasi mengenai putusan pengadilan dan mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan.
2)      Berdasarkan Pasal 36, diatur mengenai Perlindungan darurat yakni:
a)      Dalam hal keadaan situasi dan kondisi tertentu terhadap saksi dan/atau korban, LPSK dapat melakukan perlindungan darurat;
b)      Perlindungan yang bersifat darurat sebagaimana di maksud pada ayat (1) melakukan tindakan pengamanan, pengawalan, menempatkan pada rumah aman, serta dapat memberikan perndampingan terhadap saksi dan/atau korban dalam pemeriksaan pada tingkat proses peradilan pidana;
c)      Ketentuan persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7 sementara dapat diabaikan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan  Bantuan kepada Saksi dan Korban
1)      Mendapatkan Kompensasi (Pasal 2)
  1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh kompensasi;
  2. Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana di maksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa;
  3. Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bematerai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
2)      Mendapatkan Restitusi (Pasal 3)
  1. Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi;
  2. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusu;
  3. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.

  1. KELEMAHAN-KELEMAHAN
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
1.      Tidak memberikan pengertian atau devinisi mengenai korban tindak pidana terorisme;
2.      Tidak memberikan  batasan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi;
3.      Tidak adanya sanksi bagi pelaku yang tidak mau menjalankan restitusi kepada korban;
4.      Tidak adanya peraturan pemerintah atau pelaksana yang khusus mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban tindak pidana terorisme.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas kejahatan terorisme sudah disajikan dalam berbagai konvensi internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menegaskan, bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia, oleh karenanya maka seluruh anggota PBB termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk terorisme dan menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perudang-undangan yang berkaitan dengan terorisme di negara Indonesia.
Yang Mendapatkan Kompensasi dan Restitusi adalah setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme. Sedangkan yang mendapatkan Rehabilitasi adalah Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengajuan Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi dapat dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri. selain itu, Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.

SARAN
Mengingat makin berkembangnya bentuk terorisme di dunia pada umumnya dan di indonesia pada khususnya, seharusnya pemerintah dapat mencegah terlebih dahulu supaya tidak ada lagi warga negara indonesia yang menjadi korban terorisme. Selain itu pemerintah seharusnya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang adil buat korban teririsme.

DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2002. Masalah Pengaturan Terorisme Dan Perspektif Indonesia. Jakarta: BPHN-Dep. Kehakiman dan HAM RI;
Barda Nawawi, Arief. 2000. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti;
Muladi. 2004. Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus. Jakarta: bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus:
S., Adjie. 2005. Terorisme. Jakarta: Surya Multi Grafika.


[1] Abdul Wahid, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham dan Hukum, Bandung : PT. Refika Aditama, hlm. 22. 
[2] Ibid., hlm. 59. 
[3] Pasal 7 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[4] Rozali Abdullah, 2002, Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Keberadaan Peradilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm. 60
[5] Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Perubahan Ketiga). Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
[6] Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945.
[7] Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[8] Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[9] Soeharto, 2007, Perlidungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung : PT. Refika Aditama, hlm. 10.
[10] Ibid., hlm. 11.
[11] Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002.
[12] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000