BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
UNDANG-UNDANG
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang merupakan
pengganti dari UU Nomor 27 Tahun 2009 kembali mendapatkan perhatian beberapa
pihak untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut
I Wayan Sudirta bahwa UU No 17/2014 Tentang MD3 telah inskonstitusional formil
dan materiil. Inskontitusional formil diantaranya adalah:
1. UU
MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan
peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi, seharusnya dibentuk UU MPR, UU
DPR, dan UU DPD secara tersendiri
2. Dalam
paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 - 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan
paragraf ini harus masuk dalam UU P3, karena di dalam perintah pendelegasian
Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang
3. Proses
pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU.
Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.
Inskonstitusional
materiil yaitu Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi,
Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan,
Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
RUU MD3 Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi terdapat pada pasal 166
ayat (2) dan Pasal 167 ayat (1) UU MD3, Pasal 276 ayat (1) UU MD3, Pasal 277
ayat (1) UU MD3, Pasal 165 dan Pasal 166 UU MD3, Pasal 71 huruf c UU MD3, Pasal
170 ayat (5) UU MD3, Pasal 171 ayat (1) UU MD3, Pasal 249 huruf b UU MD3. I
Wayan Sudirta mencontohkan Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi
diantaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang
diajukan DPD ”difilter” oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.
Pokok-pokok
Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan yaitu mengenai
pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketiadaan kesejajaran
kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2012. I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi diantaranya
anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat
dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk
anggota DPD dan MPR. Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan Anggota
DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau
rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk
anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. Masalah keistimewaan dan kekuasaan
yang luar biasa ditambah lagi dalam UU ini, misalnya kalau DPR harus mendapat
persetujuan Mahkamah Kehormatan untuk dapat memanggil dan memeriksa anggota DPR
sedangkan DPD tidak begitu, ini UU yang sangat ganjil dan diskriminatif.
Pokok-pokok
Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
diantaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk
membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara.
Menurut
I Wayan Sudirta UU MD3 ini bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diberikan
tafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.92/PUU-X/2012. Dengan
disetujuinya UU Nomor 17 Tahun 2014 ini, DPR dianggap telah menghinakan putusan
MK. Karena DPR yang membuat UU MK dan menyatakan keputusan MK final dan mengikat.
Ketika keputusan berkaitan DPD dijatuhkan, putusan tidak diakomodir, seharusnya
tidak bisa diabaikan. Kalau terus menerus tidak diakomodir, ini bermain-main
dengan negara. Kejaksaan, kepolisian, KPK dirugikan, DPD dirugikan.
Selain
itu ada pasal-pasal yang menyangkut keterwakil-an perempuan di parlemen. Ada
tujuh pasal yang mereka uji ke MK, yakni Pasal 97 ayat 2 tentang Ketentuan
Pimpinan Komisi, Pasal 104 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Legislasi, Pasal 109
ayat 2 tentang Pimpinan Badan Anggaran, Pasal 115 ayat 2 tentang Pimpinan Badan
Kerja Sama Antarparlemen, Pasal 121 ayat 2 tentang Mahkamah Kehormatan Dewan.
Selain itu, Pasal 152 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)
dan Pasal 158 ayat 2 tentang Pimpinan Panitia Khusus, yang dalam UU MD3 yang
baru hal tersebut dihapus.
Ditemukan
juga perbedaan yang signifikan antara UU MD3 lama dan UU MD3 baru khususnya
yang mengatur hak dan jaminan perempuan dalam berpolitik di DPR. Ada beberapa
pasal yang memperhatikan keterwakilan perempuan itu kemudian dihapus
kalimatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ANALISIS
UNDANG-UNDANG MD3
Sebelum
menganalisis undang-undang, ada baiknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu
mengenai apa itu Undang-undang beserta penjelasan yang Iain.
Undang-undang
merupakan peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh alat kelengkapan negara
yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang selaku warga negara,
Undang-undang dapat berlaku didalam masyarakat jika telah memenuhi persyaratan
tertentu.
Dalam istilah
hukum, Undang-undang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. UU
dalam arti materiil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari
isinya disebut UU dan mengikat orang secara umum. Namun tidak semua UU dapat
disebut dengan UU dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya khusus berlaku
bagi sekelompok orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil
saja. Misalnya adalah UU No. 62 tahun 1968 tentang naturalisasi.
b. UU
dalam arti formil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari
segi bentuk dan cara terjadinya dilakukan secara prosedur dan formal.
Asas hukum tentang
berlakunya Undang-undang yaitu:
a) UU
tidak berlaku surut,
b) Asas
lex superior derogat legi inferiori,
c) Asas
lex posteriori derogat legi priori,
d) Asas
lex specialis derogat legi generali.
Analisis
ditinjau dari segi Filosofis
Yang
dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa
tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan
etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan
yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan
dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut.
Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan
perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu.
Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.
Dlihat dari segi filosofis,
Undang-Undang MD3 ini dinilai dapat berupaya sebagai nilai-nilai demokrasi
dalam penyelenggaraan kehidupan negara dan pemerintahan. Dalam prakteknya,
kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk lembaga pemerintahan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah pada dasarnya ketiga
lembaga tersebut merupakan sebuah contoh nilai-nilai dari demokrasi dalam hidup
bernegara dan berpemerintahan, Karena melalui lembaga-lembaga terebut,
penerapan dan penyaluran aspirasi rakyat dan daerah berada dalam proses dan
tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan akan dapat berlangsung
dengan baik dalam pemerintahan di Indonesia.
Dalam undang-undang MD3 ini dapat
dikatakan bahwa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
diatasnya, Karena pada dasarnya undang-undang MD3 ini dibuat berdasarkan
tinjauan dari peraturan-peraturan yang dinilai belum belum lengkap dalam
pengaplikasianya di proseduralnya.
Analisis
ditinjau dari segi Sosiologis
Aspek
sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan
sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan
tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masvarakat. Hukum yang
dibentuk harus sesuai dengan "hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.[1]
Jika dilihat dari segi sosiogis,
Undang-Undang MD3 ini diperlukan dalam rangka mewujudkan tata kelembagaan
negara dan pemerintahan yang mencerminkan aktualisasi prinsip checks and balances dalam pengelolaan
kekuasaan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Hasil Amandemen, mandat pengelolaan kekuasaan Negara secara
institusional telah diberikan kepada sejumlah lembaga Negara dan pemerintahan,
yang pada domain perwakilan politik berada pada lembaga permusyawaratan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga
perwakilan rakyat daerah. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu
keharusan dan kebutuhan bagi berlangsungnya proses pengelolaan kekuasaan yang
akuntabel, terkontrol, dan seimbang, terutama dalam kerangka perwujudan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang berwatak demokratis, jauh
dari watak otoriterian, dan tidak terpusat pada eksekutif, terutama pada
Presiden ditingkat nasional serta pada gubernur dan bupati/walikota di tingkat
daerah.
Undang-Undang MD3 ini pada dasarnya
tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi juga memiliki makna
sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan
rakyat daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara maksimal
dalam tata pengelolaan Negara dan pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan.
Realitas social mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan publik
senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan
dan perwakilan politik dalam penanganannya. Sistem penyelenggaraan pemerintahan
Negara dan daerah yang bertumpu pada eksekutif, secara factual tidak selalu
dapat dijadikan andalan dalam penyelesaian persoalan dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Bahkan, secara sosiologis, ketidakadilan
justeru sering terjadi dalam sistem sosial yang dikelola tanpa perwakilan
politik.
Analisis
ditinjau dari segi Yuridis
Landasan
yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang menjadi dasar
kewenangan (bevoegddheid
competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan
dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan
atau yang disebut landasan yuridis materil. Landasan yuridis material menunjuk
kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Menurut Bagir Manan,
dasar yuridis sangat penting dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menujukkan:[2]
·
Keharusan adanya kewenangan dari pembuat
peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh badan atau pejabat yang berwenang.
·
Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau
jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau
sederajat.
·
Keharusan
mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak diikuti,
peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
·
Keharusan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu perundang-undangan tidak boleh mengandung
kaidah yang bertentangen dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada
peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai
hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan undang-undang maupun
sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang- undang.
Khusus yang terkait dengan materi
muatan undang-undang, pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan
pada pasal-pasal dalam UUD 1945 (HasilAmandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1)
yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur
tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan
kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang pemilihan umum sebagai
proses pengisian keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD.
B. DAMPAK TERHADAP PENERPAN UU MD3
Melihat hak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah tersebut, beserta mekanismenya, maka
ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya adalah terjalinnya hubungan
yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah pemilihannya, karena
setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi program pemerintah. Namun sisi
negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang dipergunakan Anggota DPR untuk
setiap program yang diusulkan, (2) sangat mungkin terjadi jual beli program
termasuk pungli terhadap masyarakat yang mengajukan program. Ujung-ujungnya
adalah hak ini bisa berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat bagi
pembangunan bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu
teori pemisahan kekuasaan dalam 3 cabang (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif), telah dipisahkan masing-masing kewenangan. Maka kewenangan
membentuk program pembangunan adalah kewenangan eksekutif bukan legislatif.
Karena itu hak mengusulkan program ini dapat dikategorikan sebagai bentuk
kekuasaan legislatif mencampuri urusan kekuasaan eksekutif.
Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai
3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan
fungsi anggarannya (memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
APBN), kemudian dijadikan pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif
sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul program
pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai penyalah
gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak untuk memberikan
persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap rasionalitas APBN yang
diajukan pemerintah,[3]
bukan karena belum diakomodirnya usulan program pembangunan dari Anggota DPR.
Selayaknya, memperjuangkan program pembangunan itu di eksekutif melalui
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota,
provinsi sampai tingkat nasional. Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada
koridor-koridor pemisahan kekuasaan, sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan
dan penyalahgunaan kekuasaan.
Mengenai
Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR
Mengenai imunitas hukum bagi anggota DPR terdapat pada Pasal
224, yang bunyinya:
(1)
Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun
tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan
fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2)
Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,
kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena
hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3)
Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar
rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota
yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup
untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6)
Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat
pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah
diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
(7)
Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan
atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Dengan
melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka secara
rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku
anggota parlemen yang tugas utama berbicara, maka selayaknya tugas berbicara
tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat
pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak
boleh sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal
pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden / Wakil
Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian dianggap melakukan
perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara hukum.
Berbeda
halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal 245:
(1)
Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2)
Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan
untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
- tertangkap
tangan melakukan tindak pidana;
- disangka
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup;
atau
- Disangka
melakukan tindak pidana khusus.
Inilah
yang menjadi permasalahan dan ini bukan terkait dengan imunitas, melainkan
perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan tindak pidana.
Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan harus mendapat
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini terdapat perlakuan
istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum “equalitiy before the
law”, persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu
kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.
Asas
persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan salah
satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD
1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan
yang sama dalam hukum tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum
ini”. Prof. Mardjono,[4]
mengatakan kata kuncinya adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah
yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”.
Perbedaan kata kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari
makna asas ini bagi HAM.
Dengan
kata kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada negara atau pemerintah
untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya.
Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural
seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok
minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas).
Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok
minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.
Berdasarkan analisa tersebut, UU MD3 memiliki 10 poin
penting, yaitu:
a)
DPR
menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan
melaporkan kepada publik,
b)
DPR
tidak wajib lagi lapor pengelolaan anggaran keuangan pada publik di laporan
kinerja tahunan,
c)
DPR
(masih) mempertahankan rapatnya berlangsung tertutup,
d)
Kewenangan
MPR ditingkatkan dan anggaran bengkak mainly untuk kepentingan sosialisasi,
e)
Mekanisme
Pemilihan Pimpinan DPR yang tidak konsisten (Pasal 84) dan melanggar prinsip
keterwakilan,
f)
Dihapusnya
ketentuan Keterwakilan Perempuan padahal jumlahnya di DPR turun terus,
g)
Proses
penyidikan DPR untuk pidana (tertentu) perlu persetujuan Mahkamah Kehormatan,
padahal Mahkamah Kehormatan anggota DPR juga tidak independen & konflik
kepentingan,
h)
Butuh
30 hari izin untuk menyidik DPR bisa dipakai untuk menghilangkan bukti atau
lari,
i)
Hilangnya
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat kelengkapan DPR,
j)
DPR
bs usul program “pembangunan dapil” tanpa penjelasan yg transparan dan
akuntabel.
BAB
III
KESIMPULAN
Simpulan
Telah
ditetapkan mengenai ketidak berdayaan masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak
suaranya yang tentunya melanggr pasal 29 UUD 1945 dituliskan dimana setiap
warga negara berhak mengeluarkan pendaptnya baik lisan maupun tulisan dan
dilindungi dengan undang-undang. Kami sebenarnya agak kurang sepaham dengan
disahkannya uu MD3 yang berkaitan dengan keterwakilan DPR dan penghapusan suara
rakyat.
Maka
karenannya perlu kajian ulang mengenai pasal-pasal yang berkaitan denngan suara
rakyat sebagai tolak ukur di dalam asas pemilu, maka jika suara rakyat tidak di
salurkan dengan baik maka akan menimbulkan permasalahn yang berkepanjangan maka
dari itu kami berpendapat agar UU MD3 itu bias dikaji ulang di perbaiki dengan
memperhantikan kepentigan rakyat dan pula tidak mengesampingkan pemerintah yang
berdaulat.
Yang
dituju dari UU MD3 adalah perintah kepada negara atau pemerintah untuk memberi
perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam
sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti
Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap
kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya
diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi
yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosjidi,
Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia.
Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Mei, Susanto. 2013. Hak Budget Parlemen Di Indonesia. Sinar
Grafika, Jakarta.
http://news.metrotvnews.com/read/2014/07/10/263758/pdip-bakal-ajukan-judicial-review-uu-md3-ke-mk yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016
pukul 19.00
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540d7c056fc44/hak-imunitas-dan-asas-persamaan-kedudukan-di-hadapan-hukum-dalam-uu-md3-broleh–prof-mardjono-reksodiputro–sh–ma yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016
pukul 19.05
https://meisusanto.com/2014/09/24/warisan-wakil-rakyat-kontroversi-uu-md3-dan-ruu-pilkada/ yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016
pukul 19.20
[1] Rosjidi, Ranggawidjaja.1998.
Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Hal. 44
[4] Lihat Pendapat Prof. Mardjono,
tentang Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan Di Hadapan Hukum Dalam UU
MD3, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540d7c056fc44/hak-imunitas-dan-asas-persamaan-kedudukan-di-hadapan-hukum-dalam-uu-md3-broleh–prof-mardjono-reksodiputro–sh–ma.