Monday 9 February 2015

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI)


PPHI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum harus tangkas dalam memberikan suatu pendapat hukum. Sebab permasalahan ternyata tidak harus berakhir di meja persidangan. Dengan mempertimbangkan asas subsidiaritas maka, banyak sekali upaya hukum disamping penyelesaian di meja hijau yang bisa dilakukan oleh pihak bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya. Sedangkan hukum perburuhan sebagai salah satu kerangka hukum positif yang diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia, turut mengakomodir penyelesaian diluar kompetensi pengadilam umum.

Dengan dikenalnya upaya hukum arbitrasi, mediasi, litigasi, dan sebagainya, maka pemilihan urutan yang benar mempengaruhi ketepatan beracara untuk menyelesaikan masalah dengan cepat, cermat, dan tepat. Tugas ini mengangkat suatu kasus yang telah selesai di pengadilan, dan menganalisis, apabila kasus ini belum diperkarakan, maka upaya hukum apa saja yang bisa dilakukan, serta upaya hukum apa yang paling tepat serta urutan upaya hukum apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus mengenai hukum perburuhan.
Makalah ini akan mengandaikan apabila terjadi suatu fakta hukum yang berkutat pada ranah hukum perburuhan, dan fakta ini haruslah memiliki suatu permasalahan yang berkaitan antara hubungan buruh dengan buruh, buruh dengan majikan ataupun buruh dengan penguasa. Dari berbagai proses penyelesaian yang diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, ternyata ada kelemahan dan kelebihan masing-masing upaya penyelesaian, sehingga perlu dicermati lebih dalam satu per satu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diusahakan melalui penyelesaian perselisihan yang terbaik, yaitu penyelesaian perselisihan oleh para pihak yang berselisih, sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian ini dapat diselesaikan melaui Bipartit, Tripartit, Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial.

B.     RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial?

C.    TUJUAN
Untuk mengetahui penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Fungsi masing-masing dalam hubungan industrial tersebut, antara lain :
1.      Fungsi Pemerintah
a.       Menetapkan kebijakan
b.      Memberikan pelayanan
c.       Melaksanakan pengawasan
d.      Melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.      Fungsi pekerja/ buruh dan serikat pekerja/buruh
a.       Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
b.      Menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi
c.       Menyalurkan aspirasi secara demokratis
d.      Mengembangkan keterampilan dan keahlianya
e.       Memajukan perusahaan
f.       Memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3.      Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya
a.       Menciptakan kemitraan
b.      Mengembangkan usaha
c.       Memperluas lapangan kerja
d.      Memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan

B.     JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tidak terlepas dari fungsi-fungsi pihak yang terkait di atas maka, sejatinya perselisihan hubungan industrial menyangkut permasalahan diantara ketiga pihak diatas. Maka berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi :
a.       Perselisihan hak
b.      Perselisihan kepentingan
c.       Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.      Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

C.    PROSEDUR PENYELESIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Adapun cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan industrial antara lain :
1.      Bipatrite
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI) bipatrite adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Setiap perundingan bipartite yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
·         nama lengkap dan alamat para pihak;
·         tanggal dan tempat perundingan;
·         pokok masalah atau alasan perselisihan;
·         pendapat para pihak;
·         kesimpulan atau hasil perundingan; dan
·         tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Dalam hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
2.      Konsiliasi
Pengertian konsiliasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 13 yang berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka 14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
3.      Arbitrase
Pengertian arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 15 yang berbunyi “arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaianya melalui arbitrase yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final.
4.      Mediasi
            Mediasi menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial dijelaskan pengertianya dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator atau lebih mediator yang netral. Sedangkan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi yang mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dalam hal ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator, adapun syarat untuk menjadi mediator adalah :
a.       Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.      Warga negara Indonesia
c.       Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
d.      Menguasai peraturang perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
e.       Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f.       Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (1) dan
g.      Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri

5.      Pengadilan Hubungan Industrial
Pengdilan Hubunga industrial menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusang terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan dunia bisnis yang disertai dengan tuntutan perubahan di bidang hukum melalui Gerakan Reformasi memiliki dampak yang nyata terhadap hukum ketenagakerjaan. Sejumlah fakta memperlihatkan bahwa kasus-kasus yang ditangani oleh lembaga-lembaga hukum sebelum lahirnya Undang-undang No. 13 tahun 2003 dan Undang-undang No. 2 tahun 2004, tidak sepenuhnya diselesaikan secara maksimal. Dengan lahirnya kedua undang-undang tersebut di atas, sebagian besar kekurangan sebagaimana yang terjadi sebelumnya dapat diatasi.
Dengan disahkannya UU PHI, kasus-kasus terkait hubungan industrial semakin kaya dalam proses-proses penyelesaiannya. Secara umum mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui mekanisme pengadilan hubungan industrial, dan melalui mekanisme di luar pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian dengan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dapat ditempuh melalui mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Salah satu unsur penting yang dikandung oleh UU PHI adalah mengedepankan penyelesaian masalah yang didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Intinya adalah bahwa para pihak (pelaku usaha dan buruh) harus dapat menyelesaikan sengketa secara saling menguntungkan (win-win solution). Jika penyelesaian melalui cara seperti ini menemui jalan buntu, maka proses penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada proses pengadilan hubungan industrial.
Terhadap perumusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur di dalam UU PHI, terdapat sejumlah kritik atasnya. Kritik ini antara lain terkait dengan kurang dimaksimalkannya penyelesaian perselisihan melalui mekanisme bipartit dan mediasi. Mestinya materi hukum membatasi para pihak untuk (dapat) tidak menyetujui mekanisme penyelesaian melalui bipartit dan mediasi. Terhadap hal ini penulis berpandangan bahwa kebebasan para pihak untuk menyetujui atau menolak hasil penyelesaian melalui mekanisme atau lembaga-lembaga sebagaimana diatur di dalam UU PHI harus dihargai. Untuk tidak memperpanjang masa penyelesaian, pihak yang berwenang juga seharusnya memaksimalkan usaha penyelesaian pada tingkat perundingan bipartit dan mediasi, antara lain dengan menyediakan para penengah/ mediator yang hadal.

DAFTAR PUSTAKA
Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,  2009, Sinar Grafika Jakarta.
Rusli Hardijan , Hukum Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia, Jakarta.
UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Wijayanto setiawan, pengadilan perburuhan di indonesia, ringkasan disertasi. program pasca sarjana universitas airlangga surabaya.

http://www.hukumtenagakerja.com/perundingan-bipartit-antara-pengusaha-dan-pekerja/