PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebagai
seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah
permasalahan di bidang hukum harus tangkas dalam memberikan suatu pendapat
hukum. Sebab permasalahan ternyata tidak harus berakhir di meja persidangan.
Dengan mempertimbangkan asas subsidiaritas maka, banyak sekali upaya hukum
disamping penyelesaian di meja hijau yang bisa dilakukan oleh pihak bersengketa
untuk menyelesaikan masalahnya. Sedangkan hukum perburuhan sebagai salah satu
kerangka hukum positif yang diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia,
turut mengakomodir penyelesaian diluar kompetensi pengadilam umum.
Dengan
dikenalnya upaya hukum arbitrasi, mediasi, litigasi, dan sebagainya, maka
pemilihan urutan yang benar mempengaruhi ketepatan beracara untuk menyelesaikan
masalah dengan cepat, cermat, dan tepat. Tugas ini mengangkat suatu kasus yang
telah selesai di pengadilan, dan menganalisis, apabila kasus ini belum
diperkarakan, maka upaya hukum apa saja yang bisa dilakukan, serta upaya hukum
apa yang paling tepat serta urutan upaya hukum apa yang bisa dilakukan untuk
menyelesaikan kasus mengenai hukum perburuhan.
Makalah
ini akan mengandaikan apabila terjadi suatu fakta hukum yang berkutat pada
ranah hukum perburuhan, dan fakta ini haruslah memiliki suatu permasalahan yang
berkaitan antara hubungan buruh dengan buruh, buruh dengan majikan ataupun
buruh dengan penguasa. Dari berbagai proses penyelesaian yang diakomodir dalam
peraturan perundang-undangan, ternyata ada kelemahan dan kelebihan
masing-masing upaya penyelesaian, sehingga perlu dicermati lebih dalam satu per
satu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diusahakan melalui
penyelesaian perselisihan yang terbaik, yaitu penyelesaian perselisihan oleh
para pihak yang berselisih, sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan
kedua belah pihak. Penyelesaian ini dapat diselesaikan melaui Bipartit,
Tripartit, Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Bagaimana
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial?
C.
TUJUAN
Untuk
mengetahui penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Hubungan
industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Fungsi
masing-masing dalam hubungan industrial tersebut, antara lain :
1. Fungsi
Pemerintah
a. Menetapkan
kebijakan
b. Memberikan
pelayanan
c. Melaksanakan
pengawasan
d. Melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2. Fungsi
pekerja/ buruh dan serikat pekerja/buruh
a. Menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
b. Menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi
c. Menyalurkan
aspirasi secara demokratis
d. Mengembangkan
keterampilan dan keahlianya
e. Memajukan
perusahaan
f. Memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3. Fungsi
pengusaha dan organisasi pengusahanya
a. Menciptakan
kemitraan
b. Mengembangkan
usaha
c. Memperluas
lapangan kerja
d. Memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan
B.
JENIS
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tidak
terlepas dari fungsi-fungsi pihak yang terkait di atas maka, sejatinya
perselisihan hubungan industrial menyangkut permasalahan diantara ketiga pihak
diatas. Maka berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis
perselisihan hubungan industrial meliputi :
a. Perselisihan
hak
b. Perselisihan
kepentingan
c. Perselisihan
pemutusan hubungan kerja
d. Perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
C.
PROSEDUR
PENYELESIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Adapun
cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan industrial antara
lain :
1. Bipatrite
Menurut
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan
Industrial (UU PHI) bipatrite
adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Setiap
perundingan bipartite yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
·
nama lengkap dan alamat para pihak;
·
tanggal dan tempat perundingan;
·
pokok masalah atau alasan perselisihan;
·
pendapat para pihak;
·
kesimpulan atau hasil perundingan; dan
·
tanggal serta tandatangan para pihak
yang melakukan perundingan.
Dalam
hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama
tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama
wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Apabila
Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama
didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi
berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama,
maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
2. Konsiliasi
Pengertian
konsiliasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 13 yang
berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka
14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
3. Arbitrase
Pengertian
arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 15 yang
berbunyi “arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan
hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya
mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaianya melalui arbitrase
yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final.
4. Mediasi
Mediasi
menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial
dijelaskan pengertianya dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan
industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator atau lebih mediator yang
netral. Sedangkan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator
yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi yang mempunyai
kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
Dalam
hal ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator, adapun syarat
untuk menjadi mediator adalah :
a. Beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Warga
negara Indonesia
c. Berbadan
sehat menurut surat keterangan dokter
d. Menguasai
peraturang perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
e. Berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f. Berpendidikan
sekurang-kurangnya strata satu (1) dan
g. Syarat
lain yang di tetapkan oleh menteri
5. Pengadilan
Hubungan Industrial
Pengdilan
Hubunga industrial menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di
lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi
putusang terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses beracara di PHI,
sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara
Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak
pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan hubungan industrial khusus
perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya
dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian sengketa melalui PHI hanya
melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan
dunia bisnis yang disertai dengan tuntutan perubahan di bidang hukum melalui
Gerakan Reformasi memiliki dampak yang nyata terhadap hukum ketenagakerjaan.
Sejumlah fakta memperlihatkan bahwa kasus-kasus yang ditangani oleh
lembaga-lembaga hukum sebelum lahirnya Undang-undang No. 13 tahun 2003 dan Undang-undang
No. 2 tahun 2004, tidak sepenuhnya diselesaikan secara maksimal. Dengan
lahirnya kedua undang-undang tersebut di atas, sebagian besar kekurangan
sebagaimana yang terjadi sebelumnya dapat diatasi.
Dengan disahkannya UU PHI, kasus-kasus terkait hubungan industrial semakin kaya dalam proses-proses penyelesaiannya. Secara umum mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui mekanisme pengadilan hubungan industrial, dan melalui mekanisme di luar pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian dengan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dapat ditempuh melalui mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Dengan disahkannya UU PHI, kasus-kasus terkait hubungan industrial semakin kaya dalam proses-proses penyelesaiannya. Secara umum mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui mekanisme pengadilan hubungan industrial, dan melalui mekanisme di luar pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian dengan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dapat ditempuh melalui mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Salah
satu unsur penting yang dikandung oleh UU PHI adalah mengedepankan penyelesaian
masalah yang didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mencapai kata mufakat.
Intinya adalah bahwa para pihak (pelaku usaha dan buruh) harus dapat
menyelesaikan sengketa secara saling menguntungkan (win-win solution). Jika
penyelesaian melalui cara seperti ini menemui jalan buntu, maka proses
penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada proses pengadilan hubungan industrial.
Terhadap
perumusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur di
dalam UU PHI, terdapat sejumlah kritik atasnya. Kritik ini antara lain terkait
dengan kurang dimaksimalkannya penyelesaian perselisihan melalui mekanisme
bipartit dan mediasi. Mestinya materi hukum membatasi para pihak untuk (dapat)
tidak menyetujui mekanisme penyelesaian melalui bipartit dan mediasi. Terhadap
hal ini penulis berpandangan bahwa kebebasan para pihak untuk menyetujui atau
menolak hasil penyelesaian melalui mekanisme atau lembaga-lembaga sebagaimana
diatur di dalam UU PHI harus dihargai. Untuk tidak memperpanjang masa
penyelesaian, pihak yang berwenang juga seharusnya memaksimalkan usaha
penyelesaian pada tingkat perundingan bipartit dan mediasi, antara lain dengan
menyediakan para penengah/ mediator yang hadal.
DAFTAR PUSTAKA
Wijayanti, Asri Hukum
Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, 2009,
Sinar Grafika Jakarta.
Rusli Hardijan , Hukum
Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia, Jakarta.
UU No.2 Tahun 2004
tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial
Wijayanto setiawan,
pengadilan perburuhan di indonesia, ringkasan disertasi. program pasca sarjana
universitas airlangga surabaya.
http://www.hukumtenagakerja.com/perundingan-bipartit-antara-pengusaha-dan-pekerja/