ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 797/PDT.G/2014/PN.DPS DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada
hakikatnya setiap negara yang berdaulat memiliki hukum atau aturan yang kokoh
dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstrem hukum positif untuk
mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di indonesia adalah
Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan
mengenai keperdataan yang mengaitkan antara unsur unsur internasional pada era
gloobalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Faktor non negara dan
faktor individu mempunyai peran yang dominan.
Perusahaan
perusahaan multi nasional, baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang
tidak berorientasi pada keuntungan, hilir mudik melintasi batas teritorial
suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan. Mereka yang mempunyai uang
lebih uatau ingin mencari uang lebih, keluar masuk dari satu negara ke negara
lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan antara dua warga
negara yang berbeda, mempunyai keturunan di suatu negara, mempunyai harta
warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsensi dari sebuah globalisasi.
Tidak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat
dasar umat manusia.
Masalah
masalah keperdataan diatas sangat diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi
acuan dan rujukan bertindak dari semua hal diatas. Wadah tersebut dibutuhkan
agar dunia yang ditempati ini tidak didasari pada hukum rimba, dimana yang
kuatlah yang menang, dan yang lemah akan selalu tertindas, yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin.
Permasalahan
diataslah yang menjadikan hukum tentang keperdataan sangat perlu diatur dalam
suatu kerangka kerangka hukum positif. Hukum Perdata internasional merupakan
sesuatu hal nyata rier terjadi di dunia nyata yaitu adanya hubungan
perdata yang lintas Negara, dalam proses berintraksi dan berhubungan khususnya
perdata khususnya masalah perdata yang lintas Negara yang mana terdapat unsure
asing didalamnya maka hal yang mungkin sekali terjadi adalah adanya sebuah
masalah atau sengketa perdata internasional yang cirinya ada unsur asing di
dalamnya atau salah satu pihak yang bersengketa, maka di makalah ini akan
mencoba untuk mengulas dan membahas serta menganalisa sebuah kasus sengketa
yang terjadi dalam hubungan perdata internasional pada putusan Mahkamah Agung
No. 797/Pdt.G/2014/PN.Dps.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masalah yang timbul dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1. Badan
peradilan mana yang berwenang mengadili kasus tersebut?
2. Hukum
mana yang digunakan untuk mengadili kasus tersebut?
3. Sejauh
mana hukum asing dapat berlaku?
C.
TUJUAN
Tujuan
dari dibuatkannya makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui peradilan mana yang berwenang mangadili kasus tersebut.
2. Untuk
mengetahui hukum mana yang digunakan untuk mengadili kasus tersebut.
3. Untuk
mengetahui sejauh mana hukum asing dapat berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
DAN MASALAH POKOK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Hukum
Perdata Internasional adalah bagian dari hukum nasional. Demikian banyak negara
yag ada, begitu banyak pula sistemHukum Perdata Internasional. Oleh karena itu,
tiap-tiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistem Hukum Perdata
Internasional-nya sendiri. Menurut Schnitzer, “Nicht das recht sondern der
Tatbestand, ist international” berarti bukan hukumnya yang internasional
melainkan berupa materinya, feitencomplex-nya, atau
fakta-fakta, tatbestand-nya yang internasional. Meijers berpendapat
bahwa Hukum Perdata Internasional adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan
internasional, dimana yang bersifat Internasional adalah hubungan-hubungannya,
tetapi kaidah ataupun sumber Hukum Perdata Internasional adalah Hukum Perdata
Nasional.[1]
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan
asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan
perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku
hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.[2]
Beberapa
sarjana tidak bersepakat untuk membangun definisi mengenai Hukum Perdata
Internasional. Hal ini terlihat dari uraian Hijman yang mengemukakan “het is
dus de vreemdeling of het vreemdgrondgebied, m.a.w. het vreemde element, dat
het I. P. in het leven roept.” Unsur asing dapat disebabkan karena hakim
asing yang harus memutuskan tentang perselisihan hukum yang timbul di antara
para warga Negara dari suatu Negara yang sama.[3] Ia
berpendapat bahwa unsur asing-lah yang membangun pengertian Hukum Perdata
Internasional itu sendiri.
Hukum
Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum
jika hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga-warga negara pada suatu
waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah
kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa,
tempat, pribadi, dan soal-soal. Jadi, disini yang ditekankan adalah perbedaan
dalam lingkungan kuasa-tempat dan soal-soal serta pembedaan dalam sistem satu
negara dengan lain negara. Artinya, adanya unsur asingnya (foreign element).[4] Singkatnya
Hukum Perdata Internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kaidah atau
asas hukum tentang hubungan perdata yang mengandung unsur asing dan dilakukan
oleh individu dan badan hukum.
Dalam
perumusan tentang Hukum Perdata Internasional dari berbagai penulis, selalu
ditetapkan kepada adanya unsur asing ini pada tiap persoalan Hukum Perdata
Internasional. Sebagaimana yang dikutip, Wirjono Prodjodikoro, bahwa unsur
asing adalah corak utama daripada persoalan Hukum Perdata Internasional.
Sebagai contoh, adanya unsur asing pada suatu peristiwa hukum perdata dapat
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, dalam suatu peristiwa hukum jual beli,
salah satu pihak berkewarganegaraan asing atau salah satu pihak berkedudukan
hukum asing.[5]
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa unsur asing terdiri dua hal pokok, yakni dilihat dari
kedudukan hukum atau tempat keberadaan subjek maupun objek perdata (locus)
dan dari status personal orang atau badan hukum salah satu pihak yang
mengadakan hubungan hukum dalam bidang perdata.
Dalam
hal menentukan bilamana suatu persoalan hukum dapat digolongkan sebagai
persoalan hukum perdata internasional, sebagaimana dikutip dalam uraian
Kosters, bahwa pada Hukum Perdata Internasional ini kita berhadapan dengan
peristiwa hukum yang tersebar di atas bidang yang lebih luas daripada hukum
nasional saja, dengan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan titik-titik
pertalian dengan stelsel-stelsel hukum daripada lebih dari satu, acapkali dari
berbagai negara. Dari uraian ini muncul istilah “aanknoping” (titik
pertalian, titik pertautan).[6]
Masalah-masalah
pokok Hukum Perdata Internasional sebagaimana perkembangannya didasarkan atas
kenyataan adanya ko-eksistensi dari pelbagai sistem hukum negara-negara di
dunia yang sederajat kedudukannya. Adapun masalah pokok Hukum Perdata
Internasional adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi
Relatif, hakim atau badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan
perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing.
2. Hukum
yang berlaku untuk mengatur dan/atau menyelesaikan perkara yang mengandung
unsur asing.
3. Pengakuan
terhadap putusan-putusan hakim asing atau mengakui hak-hak yang terbit
berdasarkan hukum atau Putusan Pengadilan Asing.[7]
Dengan
kata lain, bahwa masalah yang dihadapi sebagai persoalan Hukum Perdata
Internasional adalah berkisar dari tiga pertanyaan tersebut yang kemudian
dikembangkan sebagai Lex Fori (Choice of Jurisdiction), Lex
Causae (masalah pilihan hukum atau Choice of Law),
dan pengakuan putusan hukum asing (Recognition of Foreign Judgements).
B.
SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
1. Sumber
Utama
§ Sumber Tertulis, antara lain: UU dan Trakat
§ Sumber Tidak tertulis, antara lain: Yurisprudensi dan Kebijaksanaan
2. Sumber Hpi Indonesia
§ Masa sebelum tahun 1945. Sumber HPI Indonasia (HINDIA Belanda) yaitu:
o Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB
o Pasal 131 IS dan 163 IS
§ Masa setelah tahun 1945 (Setelah Indonesia merdeka)
o Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB
o UU kewarganegaraan RI yaitu UU nomor 62 tahun 1958
o UU no 5 tahun 1960, UU pokok agrarian.
Dalam uu ini ada 2 pasal yang menyangkut dengan HPI.
Isi Dari Pasal 16, 17 dan
18 AB Tersebut Diatas:
1. Pasal 16 AB Status Personil Seseorang & Wewenang
Status & wewenang seseorang harus dinilai menurut
hukum nasionalnya (Lex patriae). Jadi, seseorang dimanapun ia berada tetap terikat kepada
hukumnya yang menyangkut status & wewenang demikian pula orang asing
maksudnya status & wewenang orang asing itu harus dinilai hukum nasional
orang asing tersebut
2. Pasal 17 AB Status Kenyataan atau Riil
Status Mengenai benda2 tetap harus dinilai
menurut hukum dari negara atau tempat dimana benda itu terletak (lex
resital).
3. Pasal 18 AB Status Campuran
Status campuran bentuk tindakan hukum dinilai menurut
hukum dimana tindakan itu dilakukan (Locus Regit Actum)
Ketiga pasal tersebut diatas merupakan contoh dari
ketentuan penunjuk disebut sebagai ketentuan penunjuk karena menunjuk
kepada suatu sistim tertentu mungkin hukum nasional maupun hukum asing, dalam
prakteknya hakim yang mengadili kasus HPI ini merupakan atau memakai hukum
asing hal ini dilakukan oleh sang hakim dengan dasar karena UU yang berlaku
dinegara orang asing tersebut yang memerintahkan bahwa dalam kasus yang
dihadapi tersebut menerapkan hukum asing.
C.
TITIK
PERTALIAN DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Dalam
perumusan Hukum Perdata Internasional telah dipergunakan istilah “Titik
Pertalian” berdasar pada pendekatan yang sederhana, proses penyelesaian perkara
Hukum Perdata Internasional sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap
titik-titik taut (primer) dan setelah melalui proses kualifikasi fakta, konsep
titik taut kembali digunakan (dalam arti sekunder) dalam rangka menentukan
hukum yang akan diberlakukan dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang
bersangkutan.
Titik-titik
taut didefinisikan sebagai fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara Hukum
Perdata Internasional yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan
suatu tempat tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang
bersangkutan dengan sistem hukum dari tempat itu.[8]
Titik-titik
pertalian dapat dibagikan dalam beberapa bagian tertentu. Ada berbagai macam
pembagian dan perincian lebih jauh daripada titik-titik pertalian ini, sebagai
berikut:
1) Titik
Taut Primer
Yaitu
fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum yang menunjukkan bahwa
peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing dan karena itu, bahwa
peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata Internasional dan
bukan peristiwa hukum intern atau domestik semata.
2) Titik
Taut Sekunder
Yaitu
fakta-fakta dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang akan membantu
penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perosalan Hukum
Perdata Internasional yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali
disebut titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan huum dari tempat
manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam
penyelesaian suatu perkara.[9]
Jenis-jenis
pertalian yang pada umumnya dianggap menentukan dalam Hukum Perdata
Internasional adalah, antara lain:
- Tempat penerbitan izin berlayar
sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan para pihak.
- Domisili, tempat tinggal tetap,
tempat asal orang atau badan hokum.
- Tempat benda terletak (situs).
- Tempat dilakukannya perbuatan
hukum (Locus Actus).
- Tempat timbulnya akibat
perbuatan hukum atau tempat pelaksanaan perjanjian (Locus Solutionis).
- Tempat pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum resmi (Locus Celebrationis).
- Tempat gugatan perkara diajukan
atau tempat pengadilan (Locus Forum).[10]
D.
KASUS
POSISI
Bahwa
penggugat dan tergugat adalah pasangan suami istri yang telah melangsungkan
perkawinan secara sah bertempat di JPN Negeri Pulau Pinang Malaysia pada
tanggal 16 April 2001 dan telah dicatatkan pada kantor Pencatatan Perkawinan
JPNKC14 No. 012360 Malaysia, dan telah pula didaftarkan masing-masing pada
Kedutaan Besar Australia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Mei 2001, dan pada
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Mei 2001.
Perkawinan
penggugat dan tergugat telah dikarunia satu orang anak yang diberi nama Anak 1
Penggugat dan Tergugat, jenis kelamin perempuan, lahir di Penang Malaysia pada
tanggal 4 Agustus 2001, terdapat pada Akta Kelahiran Malaysia No. AV 49374.
Anak tersebut sekarang ada dalam asuhan Tergugat.
Pada
awalnya hubungan antara Penggugat dan Tergugat dalam membina rumah tangga
selalu hidup rukun dan harmonis sebagai mana layaknya suami istri. Hidup rukun
yang Penggugat dan Tergugat semuanya menjadi sirna karena seringnya terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang telah berlangsung lama dan terus menerus
sehingga mengakibatkan antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada rasa
saling sayang menyayangi, mengasihi, dan mencintai lagi didalam membina rumah
tangga, sehingga perceraian adalah jalan terbaik.
Penyebab
utama timbulnya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara penggugat
dan tergugat karena selalu berlaku acuh terhadap penguggat dan tergugat sebagai
seorang istri tidak mau melaksanakan kewajibanya sebagai seorang istri.
Tergugat tidak mau tinggal bersama dengan penggugat dan saat ini
penggugat tinggal menetap di China dan tergugat pulang kembali ke Indonesia.
Dan juga sikap tergugat yang selalu mencurigai penggugat mempunyai hubungan
dengan Wanita Idaman Lain (WIL).
Dari
perceraian ini mengenai hak asuh anak dan terkait mengenai harta tidak
dipermasalahkan karena sang anak masih dibawah umur dan diserahkan kepada
tergugat oleh penggugat tetapi setelah umur 18 tahun sang penggugat meminta
untuk diperbolehkan untuk bertemu.
E.
ANALISIS
Titik Pertalian dalam HPI
Hal-hal
atau keadaan-keadaan yang dapat menunjukan adanya kaitan antara-antara
fakta-fakta yang ada di dalam suatu perkara dengan suatu tempat atau sitem
hukum yang harus atau mungkin untuk dipergunakan, dan untuk mengetahui hukum
apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
mengandung unsur asing, hakim harus mencari titik taut yang ada atau berkaitan
di dalam masalah HPI tersebut dengan melihat kepada titik-titik pertalian yang
ada.
Jenis-jenis Titik
Pertalian Primer
a. Kewaranegaraan
Kewarganegaraan
para pihak dapat merupakan faktor karena mana timbul persoalan HPI.
b. Bendera
Kapal
Bendera
dari suatu kapal dapat diibaratkan sebagai kewarganegaraan pada seseorang.
c. Domisili
Domisili
merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir jka sudah terpenuhi
syarat-syarat tertentu. Domisili termasuk titik pertauatan yang didasarkan pada
prinsip teritorial.
d. Tempat
Kediaman
Disamping
domisili dalam artian tehnis juga, tempat kediaman atau tempat berada de facto
seseorang dapat melahirkan persoalan-persoalan HPI.
e. Tempat
Kedudukan
Persoalan-persoalan
HPI timbul karena badan-badan hukum yang bersangkutan dalam suatu peristiwa
hukum tertentu berkedudukan diluar negeri.
f.
Pilihan Hukum
Pilihan
hukum yang dikenal dibidang hukum harta benda dapat merupakan pula titik
pertalian primer.[11]
Hal-hal
yang termasuk TTP dari kasus tersebut adalah:
a) Kewarganegaraan
·
Penggugat : Australia
·
Tergugat : Indonesia
b) Domisili
·
Penggugat : China
·
Tergugat : Indonesia
c) Tempat
Kediaman
·
Penggugat : Malaysia
·
Tergugat : Malaysia
d) Pilihan
Hukum
·
Penggugat : Hukum Nasional Australi
·
Tergugat : Hukum Nasional Indonesia
Berdasarkan
TTP diatas maka kasus ini masuk kedalam kasus HPI (Hatah Ekstern) karena
didalam kasus ini terdapat unsur asing. Adapun badan peradilan yang berwenang
mengadili kasus tersebut yaitu badan peradilan di Indonesia, karena tempat
diajukannya proses perkara yaitu di Indonesia.
Kualifikasi
Kualifikasi
adalah bagian dari proses yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi,
orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan
hukum), mendefinisikannya dan kemudian menempatkannya kedalam suatu katagori
yuridik tertentu.[12]
Kualifikasi
Fakta dari kasus tersebut:
1) Perkawinan
Perkawinan satu agama di
malaysia, dasar yuridisnya adalah Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974
Melakukan pencatatan,
dasar yuridisnya adalah Pasal 56 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974
2) Perceraian
Di dalam hubunganya tidak
akur,terjadi perselisihan karena selalu berlaku acuh terhadap penguggat dan
tergugat sebagai seorang istri tidak mau melaksanakan kewajibanya sebagai
seorang istri. Tergugat tidak mau tinggal bersama dengan penggugat dan saat
ini penggugat tinggal menetap di China dan tergugat pulang kembali ke
Indonesia. Dan juga sikap tergugat yang selalu mencurigai penggugat mempunyai
hubungan dengan Wanita Idaman Lain (WIL), dasar yuridisnya adalah Pasal 39 ayat
(2) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 116 KHI.
Penggugat mengajukan
gugatan perceraian tanpa mempermasalahkan hak asuh anak dan harta.
Titik Pertalian Sekunder
Titik
Pertalian Sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan
berlakunya suatu sistem hukum tertentu didalam hubungan HPI. Asas-asanya adalah
sebagai berikut:
Ø Tempat Letak Benda
Berlaku untuk benda tetap dan benda bergerak yang
menentukan hukum yang harus dipertautkan.
Ø Tempat dilangsungkan Perbuatan Hukum
Tempat dimana dilangsungkannya suatu perbuatan hukum atau
perjanjian (lex loci actus) merupakan faktor yang menentukan
hukum yang harus dipergunakan.
Ø Pilihan Hukum
Pilihan Hukum dapat berupa:
1) Dilakukan secara tegas, yaitu dengan menyatakan dalam
kata-kata yang tercantum di dalam perjanjian tersebut.
2) Dilakukan pilihan secara diam-diam. Pilihan hukum semacam
ini bisa disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang ada dalam
perjanjian tersebut.
Pembatasan-pembatasan terhadap Pilihan Hukum:
§ Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
§ Bila pengusahaan telah mengadakan peraturan khusus yang
bersifat memaksa tentang apa yang di perjanjikan tersebut.
§ Pilihan hukum ini hanya diperbolehkan dalam bidang hukum
perjanjian.
Dalam
kasus tersebut Hukum asing tidak berlaku karena telah ditentukan hukum
Indonesia.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum
Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum
jika hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga-warga negara pada suatu
waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah
kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat,
pribadi, dan soal-soal.
Hukum
ditengah tengah masyarakat memilliki peranan yang sangat strategis: Pergaulan
hidup antar warga masyarakat; Hubungan antara negara dengan warganya; Hubungan
antara negara dengan negara dan warga dunia.
Hukum
Perdata Internasional bukanlah sebuah peraturan yang terkodifikasi seperti
peraturan perundang undangan, dimana akan berlaku secara internasional. Tetapi
Hukum Perdata intrnasional merupakan hukum nasional di masing masing negara
yang namanya sama. Tapi isinya berbeda di setiap negara, sesuai dengan situasi
dan kondisi negaranya masing masing.
Kedudukan
hukum berarti menyatakan adanya perbedaan atau selisih diantara beberapa aturan
hukum yang ada. Perbedaan itu yang menyebabkan diperlukannya pemahaman lebih
lanjut mengenai masing masing aturan hukum tersebut, agar jika terjadi
permasalahan nantinya, bisa diselesaikan dengan cara yang tepat dan sesuai
kehendak dari para pihak yang berselisih.
Berdasarkan
TTP diatas maka kasus ini masuk kedalam kasus HPI (Hatah Ekstern) karena
didalam kasus ini terdapat unsur asing. Adapun badan peradilan yang berwenang
mengadili kasus tersebut yaitu badan peradilan di Indonesia, karena tempat
diajukannya proses perkara yaitu di Indonesia.
Pembatasan-pembatasan terhadap Pilihan Hukum:
- Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
- Bila pengusahaan telah mengadakan peraturan khusus
yang bersifat memaksa tentang apa yang di perjanjikan tersebut.
- Pilihan hukum ini hanya diperbolehkan dalam bidang
hukum perjanjian.
Dalam
kasus tersebut Hukum asing tidak berlaku karena telah ditentukan hukum
Indonesia.
Saran
Harapan penulis supaya dosen mata kuliah hukum perdata
internasional ini dan para pembaca sekalian dapat memberikan komentar kritik
dan saran yang memiliki nilai etika dan moral yang bersifat membangun demi
kesempurnaan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Gautama,
Sudargo. 1976. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarata:
putra abadi.
Gautana,
Sudargo. 1980. Hukum Perdata Internasional jilid III Bagian I Buku Ke-7.
Bandung: alumni.
Gautana,
Sudargo. 2007. Hukum Perdata Internasional jilid III Bagian II Buku
Ke-8.Bandung: alumni.
Hikmah,
Mutiara. SH.,MH., 2007. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Perkara Kepailitan. Bandung: Refika Aditama, Bandung.
Hartono,
Sunaryati. SH., 2013. Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,
Putra Abardin.
Mochtar
Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT.
Alumni.
Seto,
Bayu. 2001. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Undang-undang
perkawinan no. 1 tahun 1974.
http://brams-gregorius.blogspot.co.id/2009/08/hukum-perdata-internasional.html
diakses pada tanggal 6 juni 2016 pada pukul 22.41
[1] Sudargo Gautama,
1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta,
Bandung, (selanjutnya disingkat Sudargo Gautama II), hal. 4.
[2] Mochtar Kusumaatmadja,
2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hal.1.
[4] Sudargo Gautama II, op.
cit, hal. 21
[5] Sudargo Gautama
I, op. cit, hal. 36
[7] Bayu Seto, 2001, Dasar-Dasar
Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 14-16.
[8] Ibid, hal. 41.
[9] Sudargo Gautama,
1986, Hukum Perdata Internasional Indonesia, PT. Eresco, Bandung,
(selanjutnya disingkat Sudargo Gautama III), hal. 24.
[10] Bayu Seto, op. cit,
hal. 43-44.
[11] Gautama, Sudargo, 1976,
“ Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia”,penerbit Putra
Abardin, Jakarta, hal.25
[12] Seto, Bayu, 2001, “Dasar-dasar
Hukum Perdata Internasional”, penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hal. 39
[13] http://brams-gregorius.blogspot.co.id/2009/08/hukum-perdata-internasional.html diakses pada tanggal
6 juni 2016 pukul 22.41