Saturday, 15 October 2016

MAKALAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 797/PDT.G/2014/PN.DPS DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pada hakikatnya setiap negara yang berdaulat memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstrem hukum positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.

Permasalahan mengenai keperdataan yang mengaitkan antara unsur unsur internasional pada era gloobalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Faktor non negara dan faktor individu mempunyai peran yang dominan.
Perusahaan perusahaan multi nasional, baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan, hilir mudik melintasi batas teritorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan. Mereka yang mempunyai uang lebih uatau ingin mencari uang lebih, keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan antara dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan di suatu negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsensi dari sebuah globalisasi. Tidak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia.
Masalah masalah keperdataan diatas sangat diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari semua hal diatas. Wadah tersebut dibutuhkan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari pada hukum rimba, dimana yang kuatlah yang menang, dan yang lemah akan selalu tertindas, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Permasalahan diataslah yang menjadikan hukum tentang keperdataan sangat perlu diatur dalam suatu kerangka kerangka hukum positif. Hukum Perdata internasional merupakan sesuatu hal nyata rier terjadi di dunia nyata yaitu adanya hubungan  perdata yang lintas Negara, dalam proses berintraksi dan berhubungan khususnya perdata khususnya masalah perdata yang lintas Negara yang mana terdapat unsure asing didalamnya maka hal yang mungkin sekali terjadi adalah adanya sebuah masalah atau sengketa perdata internasional yang cirinya ada unsur asing di dalamnya atau salah satu pihak yang bersengketa, maka di makalah ini akan mencoba untuk mengulas dan membahas serta menganalisa sebuah kasus sengketa yang terjadi dalam hubungan perdata internasional pada putusan Mahkamah Agung No. 797/Pdt.G/2014/PN.Dps.

B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang timbul dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.      Badan peradilan mana yang berwenang mengadili kasus tersebut?
2.      Hukum mana yang digunakan untuk mengadili kasus tersebut?
3.      Sejauh mana hukum asing dapat berlaku?

C.    TUJUAN
Tujuan dari dibuatkannya makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui peradilan mana yang berwenang mangadili kasus tersebut.
2.      Untuk mengetahui hukum mana yang digunakan untuk mengadili kasus tersebut.
3.      Untuk mengetahui sejauh mana hukum asing dapat berlaku.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DAN MASALAH POKOK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Hukum Perdata Internasional adalah bagian dari hukum nasional. Demikian banyak negara yag ada, begitu banyak pula sistemHukum Perdata Internasional. Oleh karena itu, tiap-tiap negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistem Hukum Perdata Internasional-nya sendiri. Menurut Schnitzer, “Nicht das recht sondern der Tatbestand, ist international” berarti bukan hukumnya yang internasional melainkan berupa materinya, feitencomplex-nya, atau fakta-fakta, tatbestand-nya yang internasional. Meijers berpendapat bahwa Hukum Perdata Internasional adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan internasional, dimana yang bersifat Internasional adalah hubungan-hubungannya, tetapi kaidah ataupun sumber Hukum Perdata Internasional adalah Hukum Perdata Nasional.[1]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.[2]
Beberapa sarjana tidak bersepakat untuk membangun definisi mengenai Hukum Perdata Internasional. Hal ini terlihat dari uraian Hijman yang mengemukakan “het is dus de vreemdeling of het vreemdgrondgebied, m.a.w. het vreemde element, dat het I. P. in het leven roept.” Unsur asing dapat disebabkan karena hakim asing yang harus memutuskan tentang perselisihan hukum yang timbul di antara para warga Negara dari suatu Negara yang sama.[3] Ia berpendapat bahwa unsur asing-lah yang membangun pengertian Hukum Perdata Internasional itu sendiri.
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga-warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal. Jadi, disini yang ditekankan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa-tempat dan soal-soal serta pembedaan dalam sistem satu negara dengan lain negara. Artinya, adanya unsur asingnya (foreign element).[4] Singkatnya Hukum Perdata Internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kaidah atau asas hukum tentang hubungan perdata yang mengandung unsur asing dan dilakukan oleh individu dan badan hukum.
Dalam perumusan tentang Hukum Perdata Internasional dari berbagai penulis, selalu ditetapkan kepada adanya unsur asing ini pada tiap persoalan Hukum Perdata Internasional. Sebagaimana yang dikutip, Wirjono Prodjodikoro, bahwa unsur asing adalah corak utama daripada persoalan Hukum Perdata Internasional. Sebagai contoh, adanya unsur asing pada suatu peristiwa hukum perdata dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, dalam suatu peristiwa hukum jual beli, salah satu pihak berkewarganegaraan asing atau salah satu pihak berkedudukan hukum asing.[5]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur asing terdiri dua hal pokok, yakni dilihat dari kedudukan hukum atau tempat keberadaan subjek maupun objek perdata (locus) dan dari status personal orang atau badan hukum salah satu pihak yang mengadakan hubungan hukum dalam bidang perdata.
Dalam hal menentukan bilamana suatu persoalan hukum dapat digolongkan sebagai persoalan hukum perdata internasional, sebagaimana dikutip dalam uraian Kosters, bahwa pada Hukum Perdata Internasional ini kita berhadapan dengan peristiwa hukum yang tersebar di atas bidang yang lebih luas daripada hukum nasional saja, dengan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel hukum daripada lebih dari satu, acapkali dari berbagai negara. Dari uraian ini muncul istilah “aanknoping” (titik pertalian, titik pertautan).[6]
Masalah-masalah pokok Hukum Perdata Internasional sebagaimana perkembangannya didasarkan atas kenyataan adanya ko-eksistensi dari pelbagai sistem hukum negara-negara di dunia yang sederajat kedudukannya. Adapun masalah pokok Hukum Perdata Internasional adalah sebagai berikut:
1.      Kompetensi Relatif, hakim atau badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing.
2.      Hukum yang berlaku untuk mengatur dan/atau menyelesaikan perkara yang mengandung unsur asing.
3.      Pengakuan terhadap putusan-putusan hakim asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan hukum atau Putusan Pengadilan Asing.[7]
Dengan kata lain, bahwa masalah yang dihadapi sebagai persoalan Hukum Perdata Internasional adalah berkisar dari tiga pertanyaan tersebut yang kemudian dikembangkan sebagai Lex Fori (Choice of Jurisdiction), Lex Causae (masalah pilihan hukum atau Choice of Law), dan pengakuan putusan hukum asing (Recognition of Foreign Judgements).

B.     SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
1.      Sumber Utama
§  Sumber Tertulis, antara lain: UU dan Trakat
§  Sumber Tidak tertulis, antara lain: Yurisprudensi dan Kebijaksanaan
2.      Sumber Hpi Indonesia
§  Masa sebelum tahun 1945. Sumber HPI Indonasia (HINDIA Belanda) yaitu:
o   Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB
o   Pasal 131 IS dan 163 IS

§  Masa setelah tahun 1945 (Setelah Indonesia merdeka)
o   Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB
o   UU kewarganegaraan RI yaitu UU nomor 62 tahun 1958
o   UU no 5 tahun 1960, UU pokok agrarian. Dalam uu ini ada 2 pasal yang menyangkut dengan HPI.
Isi Dari Pasal 16, 17 dan 18 AB Tersebut Diatas:
1.      Pasal 16 AB Status Personil Seseorang & Wewenang
Status & wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya (Lex patriae). Jadi, seseorang dimanapun ia berada tetap terikat kepada hukumnya yang menyangkut status & wewenang demikian pula orang asing maksudnya status & wewenang orang asing itu harus dinilai hukum nasional orang asing tersebut
2.      Pasal 17 AB Status Kenyataan atau Riil
Status Mengenai benda2 tetap harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat dimana benda itu terletak (lex resital).
3.      Pasal 18 AB Status Campuran
Status campuran bentuk tindakan hukum dinilai menurut hukum dimana tindakan itu dilakukan (Locus Regit Actum)
Ketiga pasal tersebut diatas merupakan contoh dari ketentuan penunjuk disebut sebagai ketentuan penunjuk karena menunjuk kepada suatu sistim tertentu mungkin hukum nasional maupun hukum asing, dalam prakteknya hakim yang mengadili kasus HPI ini merupakan atau memakai hukum asing hal ini dilakukan oleh sang hakim dengan dasar karena UU yang berlaku dinegara orang asing tersebut yang memerintahkan bahwa dalam kasus yang dihadapi tersebut menerapkan hukum asing.

C.    TITIK PERTALIAN DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Dalam perumusan Hukum Perdata Internasional telah dipergunakan istilah “Titik Pertalian” berdasar pada pendekatan yang sederhana, proses penyelesaian perkara Hukum Perdata Internasional sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah melalui proses kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan (dalam arti sekunder) dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang bersangkutan.
Titik-titik taut didefinisikan sebagai fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara Hukum Perdata Internasional yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan sistem hukum dari tempat itu.[8]
Titik-titik pertalian dapat dibagikan dalam beberapa bagian tertentu. Ada berbagai macam pembagian dan perincian lebih jauh daripada titik-titik pertalian ini, sebagai berikut:
1)      Titik Taut Primer
Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum yang menunjukkan bahwa peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing dan karena itu, bahwa peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan peristiwa hukum intern atau domestik semata.
2)      Titik Taut Sekunder
Yaitu fakta-fakta dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perosalan Hukum Perdata Internasional yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan huum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam penyelesaian suatu perkara.[9]
Jenis-jenis pertalian yang pada umumnya dianggap menentukan dalam Hukum Perdata Internasional adalah, antara lain:
  1. Tempat penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan para pihak.
  2. Domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang atau badan hokum.
  3. Tempat benda terletak (situs).
  4. Tempat dilakukannya perbuatan hukum (Locus Actus).
  5. Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum atau tempat pelaksanaan perjanjian (Locus Solutionis).
  6. Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (Locus Celebrationis).
  7. Tempat gugatan perkara diajukan atau tempat pengadilan (Locus Forum).[10]
D.    KASUS POSISI
Bahwa penggugat dan tergugat adalah pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan secara sah bertempat di JPN Negeri Pulau Pinang Malaysia pada tanggal 16 April 2001 dan telah dicatatkan pada kantor Pencatatan Perkawinan JPNKC14 No. 012360 Malaysia, dan telah pula didaftarkan masing-masing pada Kedutaan Besar Australia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Mei 2001, dan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Mei 2001.
Perkawinan penggugat dan tergugat telah dikarunia satu orang anak yang diberi nama Anak 1 Penggugat dan Tergugat, jenis kelamin perempuan, lahir di Penang Malaysia pada tanggal 4 Agustus 2001, terdapat pada Akta Kelahiran Malaysia No. AV 49374. Anak tersebut sekarang ada dalam asuhan Tergugat.
Pada awalnya hubungan antara Penggugat dan Tergugat dalam membina rumah tangga selalu hidup rukun dan harmonis sebagai mana layaknya suami istri. Hidup rukun yang Penggugat dan Tergugat semuanya menjadi sirna karena seringnya terjadi perselisihan dan pertengkaran yang telah berlangsung lama dan terus menerus sehingga mengakibatkan antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada rasa saling sayang menyayangi, mengasihi, dan mencintai lagi didalam membina rumah tangga, sehingga perceraian adalah jalan terbaik.
Penyebab utama timbulnya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara penggugat dan tergugat karena selalu berlaku acuh terhadap penguggat dan tergugat sebagai seorang istri tidak mau melaksanakan kewajibanya sebagai seorang istri. Tergugat tidak mau tinggal bersama dengan penggugat dan saat ini  penggugat tinggal menetap di China dan tergugat pulang kembali ke Indonesia. Dan juga sikap tergugat yang selalu mencurigai penggugat mempunyai hubungan dengan Wanita Idaman Lain (WIL).
Dari perceraian ini mengenai hak asuh anak dan terkait mengenai harta tidak dipermasalahkan karena sang anak masih dibawah umur dan diserahkan kepada tergugat oleh penggugat tetapi setelah umur 18 tahun sang penggugat meminta untuk diperbolehkan untuk bertemu.

E.     ANALISIS
Titik Pertalian dalam HPI
Hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat menunjukan adanya kaitan antara-antara fakta-fakta yang ada di dalam suatu perkara dengan suatu tempat atau sitem hukum yang harus atau mungkin untuk dipergunakan, dan untuk mengetahui hukum apa yang harus diberlakukan di dalam menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, hakim harus mencari titik taut yang ada atau berkaitan di dalam masalah HPI tersebut dengan melihat kepada titik-titik pertalian yang ada.
Jenis-jenis Titik Pertalian Primer
a.       Kewaranegaraan
Kewarganegaraan para pihak dapat merupakan faktor karena mana timbul persoalan HPI.
b.      Bendera Kapal
Bendera dari suatu kapal dapat diibaratkan sebagai kewarganegaraan pada seseorang.
c.       Domisili
Domisili merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir jka sudah terpenuhi syarat-syarat tertentu. Domisili termasuk titik pertauatan yang didasarkan pada prinsip teritorial.
d.      Tempat Kediaman
Disamping domisili dalam artian tehnis juga, tempat kediaman atau tempat berada de facto seseorang dapat melahirkan persoalan-persoalan HPI.
e.       Tempat Kedudukan
Persoalan-persoalan HPI timbul karena badan-badan hukum yang bersangkutan dalam suatu peristiwa hukum tertentu berkedudukan diluar negeri.
f.        Pilihan Hukum
Pilihan hukum yang dikenal dibidang hukum harta benda dapat merupakan pula titik pertalian primer.[11]
Hal-hal yang termasuk TTP dari kasus tersebut adalah:
a)      Kewarganegaraan
·         Penggugat : Australia
·         Tergugat    : Indonesia
b)      Domisili
·         Penggugat : China
·         Tergugat    : Indonesia
c)      Tempat Kediaman
·         Penggugat : Malaysia
·         Tergugat    : Malaysia
d)      Pilihan Hukum
·         Penggugat : Hukum Nasional Australi
·         Tergugat    : Hukum Nasional Indonesia
Berdasarkan TTP diatas maka kasus ini masuk kedalam kasus HPI (Hatah Ekstern) karena didalam kasus ini terdapat unsur asing. Adapun badan peradilan yang berwenang mengadili kasus tersebut yaitu badan peradilan di Indonesia, karena tempat diajukannya proses perkara yaitu di Indonesia.

Kualifikasi
Kualifikasi adalah bagian dari proses yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum), mendefinisikannya dan kemudian menempatkannya kedalam suatu katagori yuridik tertentu.[12]
Kualifikasi Fakta dari kasus tersebut:
1)      Perkawinan
*      Perkawinan satu agama di malaysia, dasar yuridisnya adalah Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974
*      Melakukan pencatatan, dasar yuridisnya adalah Pasal 56 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974
2)      Perceraian
*      Di dalam hubunganya tidak akur,terjadi perselisihan karena selalu berlaku acuh terhadap penguggat dan tergugat sebagai seorang istri tidak mau melaksanakan kewajibanya sebagai seorang istri. Tergugat tidak mau tinggal bersama dengan penggugat dan saat ini  penggugat tinggal menetap di China dan tergugat pulang kembali ke Indonesia. Dan juga sikap tergugat yang selalu mencurigai penggugat mempunyai hubungan dengan Wanita Idaman Lain (WIL), dasar yuridisnya adalah Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 116 KHI.
*      Penggugat mengajukan gugatan perceraian tanpa mempermasalahkan hak asuh anak dan harta.

Titik Pertalian Sekunder
Titik Pertalian Sekunder adalah hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu didalam hubungan HPI. Asas-asanya adalah sebagai berikut:
Ø  Tempat Letak Benda
Berlaku untuk benda tetap dan benda bergerak yang menentukan hukum yang harus dipertautkan.
Ø  Tempat dilangsungkan Perbuatan Hukum
Tempat dimana dilangsungkannya suatu perbuatan hukum atau perjanjian (lex loci actus) merupakan faktor yang menentukan hukum yang harus dipergunakan.
Ø  Pilihan Hukum
Pilihan Hukum dapat berupa:
1)      Dilakukan secara tegas, yaitu dengan menyatakan dalam kata-kata yang tercantum di dalam perjanjian tersebut.
2)      Dilakukan pilihan secara diam-diam. Pilihan hukum semacam ini bisa disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang ada dalam perjanjian tersebut.
Pembatasan-pembatasan terhadap Pilihan Hukum:
§  Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
§  Bila pengusahaan telah mengadakan peraturan khusus yang bersifat memaksa tentang apa yang di perjanjikan tersebut.
§  Pilihan hukum ini hanya diperbolehkan dalam bidang hukum perjanjian.
Dalam kasus tersebut Hukum asing tidak berlaku karena telah ditentukan hukum Indonesia.[13]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga-warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal.
Hukum ditengah tengah masyarakat memilliki peranan yang sangat strategis: Pergaulan hidup antar warga masyarakat; Hubungan antara negara dengan warganya; Hubungan antara negara dengan negara dan warga dunia.
Hukum Perdata Internasional bukanlah sebuah peraturan yang terkodifikasi seperti peraturan perundang undangan, dimana akan berlaku secara internasional. Tetapi Hukum Perdata intrnasional merupakan hukum nasional di masing masing negara yang namanya sama. Tapi isinya berbeda di setiap negara, sesuai dengan situasi dan kondisi negaranya masing masing.
Kedudukan hukum berarti menyatakan adanya perbedaan atau selisih diantara beberapa aturan hukum yang ada. Perbedaan itu yang menyebabkan diperlukannya pemahaman lebih lanjut mengenai masing masing aturan hukum tersebut, agar jika terjadi permasalahan nantinya, bisa diselesaikan dengan cara yang tepat dan sesuai kehendak dari para pihak yang berselisih.
Berdasarkan TTP diatas maka kasus ini masuk kedalam kasus HPI (Hatah Ekstern) karena didalam kasus ini terdapat unsur asing. Adapun badan peradilan yang berwenang mengadili kasus tersebut yaitu badan peradilan di Indonesia, karena tempat diajukannya proses perkara yaitu di Indonesia.
Pembatasan-pembatasan terhadap Pilihan Hukum:
  • Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
  • Bila pengusahaan telah mengadakan peraturan khusus yang bersifat memaksa tentang apa yang di perjanjikan tersebut.
  • Pilihan hukum ini hanya diperbolehkan dalam bidang hukum perjanjian.
Dalam kasus tersebut Hukum asing tidak berlaku karena telah ditentukan hukum Indonesia.
Saran
Harapan penulis supaya dosen mata kuliah hukum perdata internasional ini dan para pembaca sekalian dapat memberikan komentar kritik dan saran yang memiliki nilai etika dan moral yang bersifat membangun demi kesempurnaan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Gautama, Sudargo. 1976. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarata: putra abadi.
Gautana, Sudargo. 1980. Hukum Perdata Internasional jilid III Bagian I Buku Ke-7. Bandung: alumni.
Gautana, Sudargo. 2007. Hukum Perdata Internasional jilid III Bagian II Buku Ke-8.Bandung: alumni.
Hikmah, Mutiara. SH.,MH., 2007. Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Perkara Kepailitan. Bandung: Refika Aditama, Bandung.
Hartono, Sunaryati. SH., 2013. Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Putra Abardin.
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni.
Seto, Bayu. 2001. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974.




[1] Sudargo Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudargo Gautama II), hal. 4.
[2] Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hal.1.
[3] Sudargo Gautama I, op. cit, hal. 35.
[4] Sudargo Gautama II, op. cit, hal. 21
[5] Sudargo Gautama I,  op. cit, hal. 36
[6] Sudargo Gautama I,  op. cit, hal. 37
[7] Bayu Seto, 2001, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 14-16.
[8] Ibid, hal. 41.
[9] Sudargo Gautama, 1986, Hukum Perdata Internasional Indonesia, PT. Eresco, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudargo Gautama III), hal. 24.
[10] Bayu Seto, op. cit, hal. 43-44.
[11] Gautama, Sudargo, 1976, “ Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia”,penerbit Putra Abardin, Jakarta, hal.25
[12] Seto, Bayu, 2001, “Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional”, penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 39