BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa dengan segala kesempurnaannya. Salah satu kesempurnaan yang diberikan
Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia adalah "akal dan pikiran"
yang membedakannya dengan makhluk lain. Sejak diciptakan dan dilahirkan manusia
telah dianugerahi hak-hak yang melekat pada dirinya dan harus dihormati oleh
manusia yang lain. Hak tersebut disebut juga dengan hak asasi manusia (HAM).
Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat
dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus
menghormati hak yang dimiliki orang lain. Hak asasi manusia terdiri atas dua
hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Tanpa
adanya kedua hak ini maka akan sangat sulit untuk menegakan hak asasi lainya.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan
terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun
demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang
hak utnuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati
itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan memberikan
sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan
kemudian menyempurnakannya.
Salah satu contoh dari dua hak yang fundamental yakni
hak kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan dalam memeluk agama. Seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman semakin berubah dan berkembang agama
yang dianut manusia pun menjadi lebih beragam, hal ini dapat menimbulkan
konflik antar sesama umat manusia yang beragama, seperti kasus yang terjadi di
Papua yakni aksi pembakaran masjid oleh sekelompok jemaat gereja. Hal ini
terjadi karena adanya missed komunikasi dari kedua belah pihak yang berseteru.
Dalam kasus ini telah terjadi perpecahan dalam kerukunan umat beragama. Dan
sebeagai mana yang kita ketahui bahwa agama merupakan sebagai bagian dari HAM.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud
dengan kerukunan umat beragama?
2.
Bagaimana
penyelesaian kasus pembakaran masjid di Papua dikaitkan dengan HAM?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan kerukunan beragama.
2. Untuk
mengetahui bagaimana penyelesaian kasus pembakaran masjid di Papua dikaitkan
dengan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA DAN
KERUKUNAN BERAGAMA BESERTA PERATURAN HUKUMNYA
Hak asasi adalah hak yang paling mendasar dan melekat
padanya dimanapu ia berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya
sebagai manusia wajar. Hak asasi manusia adalah suatu tuntutan yang secara
moral dapat dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sudah sewajarnya mendapat perlindungan hukum.[1]
Hak Asasi Manusia atau sering kita sebut sebagai HAM
adalah terjemahan dari istilah human right atau the right of human. Secara
terminologi istilah ini artinya adalah Hak-Hak Manusia. Namun dalam
beberapa literatur pemakaian istilah Hak Asasi Manusia (HAM) lebih sering
digunakan dari pada pemakaian Hak-hak Manusia. Indonesia hak-hak manusia pada
umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak asasi” sebagai terjemahan dari basic
rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut
hak-hak fundamental (civil rights).[2]
Menurut Kuntjoro Purbopranoto seperti yang dikutip
oleh Dalizar Putra mengatakan bahwa dalam declaration of Independence Amerika
Serikat (tanggal 14 Juli 1977) itu dinyatakan bahwa sekalian manusia diciptakan
dalam keadaan sama, bahwa manusia dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa beberapa yang
tetap dan melekat padanya (manusia) dan sebagainya. Pendapat ini sesuai dengan
John Locke dengan teori hukum alamnya mengatakan hukum alam adalah
aturan-aturan tentang tingkah laku manusia di dalam keadaan alam. Dan di dalam
keadaan hukum ala mini ketertiban dan perdamaian sudah terdapat. Manusia
mempunyai hak-hak yaitu hak asasi yang terdiri atas hak hidup, hak kemerdekaan
pribadi dan hak milik.[3]
Pemahaman Hak Asasi Manusia/human right (HAM) di
Indonesia sebagai nilai, konsep, dan norma yang hidup dan berkembang di
masyarakat dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM,
yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat ini.[4]
Pendirian Budi Utomo pada tahun 1908 dapat dianggap
sebagai titik awal timbulnya kesadaran untuk mendirikan suatu negara kebangsaan
yang terlepas dari cengkeraman kolonial, yang dalam konteks HAM dikenal sebagai
perwujudan dari the right of self determination (hak untuk menentukan nasib
sendiri).[5] Hak itulah yang kemudian merdeka, lepas dari
penjajahan bangsa asing. Untuk memahami HAM, masyarakat terlebih dahulu
perlu mengetahui apa itu HAM. Setelah itu, baru meningkat pada pemahaman dan
pelaksanaan, sehingga di dalam implementasinya dapat berjalan dengan baik. Di
dalam literatur, HAM dikenal dengan berbagai istilah, antara lain: hak
azasi, hak-hak asasi, hak azasi manusia, hak asasi manusia, hak-hak asasi
manusia, hak-hak dasar, atau hak-hak fundamental.
Selain ketiadaan keseragaman istilah yang digunakan,
dari segi definisi HAM juga berbeda-beda. Menurut Soewandi, hak-hak yang
sekarang dikenal sebagai HAM diartikan sebagai hak-hak "subjektif"
yang telah ada pada para individu pada waktu mereka membuat perjanjian sosial
untuk membentuk pemerintahan (pactum unionis). Karena itu, hak-hak tadi
dianggap dan diperlakukan sebagai hak-hak yang tidak dapat diubah oleh
kekuasaan dalam negara yang berhak mengubah konstitusi.[6] Menurut Miriam Budiardjo, HAM adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran
atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.[7]
Senada dengan Miriam Budiardjo, Gunawan Setiardja
mengemukakan bahwa HAM berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan
kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.[8] Di dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dalam pada itu, menurut Komnas HAM, HAM ialah hak yang melekat pada setiap
manusia untuk dapat mempertahankan hidup, harkat dan martabatnya.[9]
Menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang HAM
dikatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.[10]
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa HAM adalah Hak yang dibawa manusia sejak dilahirkan dan
melekat padanya, sebagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan
masyarakatnya untuk hidup rukun. Sebab kerukunan merupakan salah satu pilar
penting dalam memelihara persatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Tanpa
terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, Agama, Ras dan antar Golongan
bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya
yang tidak diinginkan.
Kerukunan dapat diartikan sebagai kondisi hidup dan
kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat
menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan
ajaran agama dan kepribadian pancasila.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di
Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.”
Di dalam pasal 28e ini
terdapat unsur kebebasan memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan
kepercayaanya sehingga hak untuk memeluk agama merupakan hak yang memang sangat
melekat pada diri setisp orang karena dalam memeluk agama merupakan hak yang
memang sangat melekat pada diri setiap orang. Karena dalam memeluk agama, orang
tersebut memiliki keyakinan dan pedoman dalam berkehidupan, dalam hal ini
kerukunan umat beragama sangat dibutuhkan dalam kehidupan, sebab manusia hidup
dengan cinta perdamaian dan ketentraman yang membawa manusia untuk hidup saling
menghormati satu sama lain.
Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan
dalam Trilogi Kerukunan yaitu:
1.
Kerukunan intern
masing-masing umat dalam satu agama Ialah kerukunan di antara
aliran-aliran/paham-paham/mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau
komunitas agama.
2.
Kerukunan di
antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para
pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk islam dengan
pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
3.
Kerukunan antar
umat/komunitas agama dengan pemerintah Ialah supaya diupayakan keserasian dan
keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat
pemerintah dengan saling memahami dan menghargai
tugas masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan
bangsa Indonesia yang beragama.
Wujud dari Kerukunan antar umat beragama adalah
sebagai berikut:
a.
Saling hormat
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
b.
Saling hormat
menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama
dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab
mmbangun bangsa dan Negara.
c.
Saling tenggang
rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada orang lain.
Dengan
demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki bagian-bagian
dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong,
toleransi, tidak saling bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.
Kerukunan antar umat beragama dapat dikatakan sebagai
suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama bisa hidup berdampingan
bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan
kewajiban agamanya.
Kerukunan antar agama yang dimaksudkan ialah
kerukunan mengupayakan agar terciptanya suatu keadaan yang tidak
ada pertentangan intern dalam masing-masing umat beragama, antar
golongan-golongan agama yang berbeda satu sama lain, antara pemeluk agama yang
satu dengan pemeluk agama yang lainnya, antara umat-umat beragama dengan
pemerintah.
B.
KRONOLOGIS
KASUS
Jakarta, CNN
Indonesia -- Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan kronologi
peristiwa keributan di Tolikara,[11] Papua yang menyebabkan sejumlah bangunan rusak dan
hangus terbakar termasuk satu masjid. Penjelasan kronoligis berdasarkan hasil
survei langsung yang dilakuakan Polri pada Sabtu (18/7).
Badrodin mengatakan, peristiwa bermula dari surat
edaran tentang pelarangan bagi umat Islam melaksanakan solat Idul Fitri.
Setelah ditelusuri, surat edaran tersebut dikeluarkan oleh Dewan Pekerja
Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua.[12]
"Isi surat tersebut tentang pemberitahuan pada
semua umat islam di Tolikara yang ditandatangani oleh pendeta dan
sekeretarisnya, isinya itu adalah dalam rangka pelaksanaan seminar
internasional dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) remaja GIDI," ujar
Badrodin kepada wartawan di rumah dinas Kepala Badan Intelijen Negara, Jakarta,
Kamis (23/7).
Badrodin mengatakan, surat edaran GIDI meminta kepada
umat islam untuk tidak mengerahkan dan mengundang massa dalam jumlah besar,
karena pada 13 sampai 19 Juli 2015 ada agenda yang dilakukan mereka di
Tolikara, Papua.
"Di antara tanggal 13-19 ada tanggal 17 dimana
ada umat Islam yang merayakan solat Idul Fitri dan kaum muslimat dilarang
menggunakan jilbab," ujarnya.
Lebih lanjut, Badrodin menyatakan, dalam surat edaran tersebut juga disampaikan, bahwa ada pelarangan mendirikan tempat ibadah bagi semua agama kecuali GIDI di Tolikara. "Termasuk gereja Adven yang ada disana di tutup dan jemaahnya masuk ke GIDI," ujarnya.
Lebih lanjut, Badrodin menyatakan, dalam surat edaran tersebut juga disampaikan, bahwa ada pelarangan mendirikan tempat ibadah bagi semua agama kecuali GIDI di Tolikara. "Termasuk gereja Adven yang ada disana di tutup dan jemaahnya masuk ke GIDI," ujarnya.
Saat surat edaran GIDI dikeluarkan, Badrodin mengaku,
Kepala Polisi Resor Tolikara telah melakukan konfirmasi dan berkordinasi dengan
Presiden GIDI. Akan tetapi, presiden GIDI menyatakan surat edaran tersebut
tidak resmi, karena tidak ditandatangani langsung olehnya.
Karena merasa surat edaran yang dikeluarkan GIDI di
Tolikara bermasalah, Kapolres melakukan komunikasi dengan Bupati Tolikara,
Usman Wanimbo dan menyepakati untuk mencabut dan tidak mengizinkan surat edaran
tersebut diberlakukan. "Dari keterangan bupati, Kapolres menghubungi tokoh
Islam disana untuk mempersilakan umat islam melaksanakan solat maksimal hingga
pukul 08.00 WIT. Nanti Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan
mengamankannya," ujarnya.[13]
Namun, tidak lama solat Idul Fitri dilakukan Jumat
(17/7) pagi, sejumlah massa mendatangi lokasi solat dan meminta umat muslim
untuk menghentikan aktivitasnya. Kapolres yang berada di lokasi sempat
melakukan negosiasi dengan massa. Akan tetapi, karena jumlahnya semakin
bertambah dan mulai memanas, polisi terpaksa menembakkan peluru ke atas untuk
meredam situasi.
"Kapolres dan beberapa stafnya sudah negosiasi,
bernegosiasi agar diberi kesempatan sampai selesai jam 8. Ternyata massa makin
banyak, negosiasi gagal, ada yang melempar, polisi berikan tembakan poeringatan
agar bubar. Tapi malah terjadi perlawanan petugas dan melempari jemaah,"
ujarnya.
Setelah kondisi pecah dan terjadi serangan terhadap
umat muslim. Polisi melakukan tembakan kesejumlah orang yang saat kejadian juga
melakukan penyerangan terhadap petugas.
"Polisi telah berikan tembakan poeringatan agar
bubar. Tapi malah melawan petugas dan melempari jemaah. Akhirnya jemaah bubar,
oleh karena itu dilakukan penembakan ke bawah. Ketentuan sudah betul ditembak
di bawah lutut, hingga 12 korban itu rata-rata kena kaki dan satu kena pinggul
dan meninggal. Saya tidak tahun prosesnya, apakah sedang jongkok atau
gimana," ujarnya.
Hingga kini polisi masih melakukan identifikasi
terhadap prosedur penembakan dan memeriksa sejumlah saksi untuk menetapkan
tersangka dibalik peristiwa tersebut.
Sementara itu Kepolisian Daerah Papua menangkap dua
tersangka kerusuhan Tolikara, Papua, Kamis (23/7). Penangkapan itu dikonfirmasi
oleh Kapolda Papua Irjen Yotje Mende.
“Tersangka baru saja kami tangkap,” kata Yotje kepada
CNN Indonesia. Kedua tersangka berinisial HK dan JW. Keduanya ialah warga lokal
Tolikara. “Mereka sebagai provokator atau yang menyuruh melakukan penyerangan
terhadap massa,” kata Yotje yang siang tadi tiba di Tolikara. (pit)
C.
ANALISI
KASUS
Dalam
kasus ini terdapat pelanggaran HAM yang terjadi yaitu:
1. Kasus
intoleransi berupa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama seperti
yang dijamin dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 39 tahun 1999 tentang HAM.
2. Pelanggaran
terhadap hak untuk hidup sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat (1) UU nomor 39
tahun 1999 tentang HAM. Dengan fakta adanya korban pemembakan yang menyebabkan
1 orang meninggal dunia 11 orang luka tembak, serta beberapa kios dan rumah
warga terbakar.
3. Pelanggaran
terhadap hak atas rasa aman sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat (2), 29 ayat
(1), 30 dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
4. Pelanggaran
terhadap hak atas kepemilikan sebagaimana dijamin dalam pasal 36 UU 39/1999
tentang HAM. Dengan fakta adanya pembakaran yang menyebabkan terbakarnya kios
atau sentra ekonomi warga dan tempat ibadah.
Isu
tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan barang yang baru karena sesungguhnya
masalah HAM sudah disinggung oleh founding father Indonesia. Rasionya bahwa
dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut:
·
Asas Pengakuan dan
Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
·
Asas legalitas
·
Asas pembagian kekuasaan
·
Asas peradian yang bebas
dan tidak memihak
Hak
asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum
dikenal. Dalam Islam seluruh hak asasi merupakan kewajiban bagi negara maupun
individu yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, negara bukan saja menahan
diri dari menyentuh hak-hak asasi tersebut, melainkan juga mempunyai kewajiban
untuk melindungi dan menjamin hak-hak tersebut. Oleh Karena dalam kaitannya
kasus untuk mengatasi terjadi Penyerangan antar umat maka Penganut agama yang ada di Indonesia bertanggung jawab untuk
mengisi kemerdekaan negara yang telah diproklamasikannya, melalui pembangunan
dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya. Pembangunan negara dang bangsa
Indonesia, memerlukan adanya persatuan dan kerjasama serta kerukunan hidup yang
harmonis antar umat beragama di Indonesia.[15] Kerukunan
hidup antarumat beragama merupakan prakondisi yang harus diciptakan bagi
pembangunan di Indonesia.[16]
Berkaitan dengan kerukunan hidup antarumat beragama, pemberlakuan hukum suatu
agama bagi pemeluknya, termasuk pemberlakuan hukum islam bagi umat Islam
Indonesia, merupakan bagian dari bentuk keharmonisan hubungan antarumat
beragama di Indonesia.[17]
Keragaman
dalam agama seringkali terekspos sebagai faktor pemicu konflik horizontal di
berbagai daerah. Padahal semua agama tidak pernah mengajarkan pemeluknya
menyerang atau menyakiti pemeluk agama yang berbeda. Untuk itu sebenarnya semua
pemeluk agama di Indonesia harus memahami bagaimana pengaturan mengenai hak
beragama warga Negara dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan lainnya. Tulisan ini menguraikan secara
ringkas mengenai hak warga Negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya itu. Di samping itu juga diuraikan bagaimana kewajiban negara dalam
memenuhi hak keberagamaan tiap-tiap penduduk pemeluk agama yang berbeda-beda
ini. Negara harus menjadi fasilitator untuk membangun toleransi, karena dari
sikap toleransi itu akan terwujud kerukunan yang pada gilirannya memperkokoh
eksistensi bangsa Indonesia.
Kebebasan
Beragama sebagai Hak Asasi Manusia sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia
merupakan makhluk sosial. Ia tidak akan dapat hidup sendirian, yang disebabkan
oleh dua faktor, yaitu:
ü Kebutuhan
regenerasi demi kelangsungan eksisitensi manusia. Hal ini hanya mungkin melalui
pergaulan laki-laki dan perempuan serta keluarga, atau apa yang disebut sebagai
lembaga perkawinan.
ü Adanya
keperluan saling membantu dalam menyediakan berbagai keperluan manusia dalam menjalani kehidupan.Jadi
manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Karena itu manusia memerlukan
kerja sama dan saling membantu antara sesama manusia (Al-Gazali, 1995: 17).
Sudah
menjadi sunnatullah pula bahwa di antara manusia berbeda-beda agama dan
keyakinan yang dianut Artinya Allah swt. sendiri tidak berkeinginan untuk
menjadikan manusia dalam satu keyakinan agama yang sama. Tentu hal ini agar
manusia menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran dan jalan lurus yang
sejati. Realitasnya manusia telah memeluk dan meyakini agama dan kepercayaan
yang berbeda-beda.
Untuk
kepentingan harmoni kehidupan manusia di atas planet bumi ini maka pengaturan
secara yuridis menjadi penting di samping ajaran agama itu sendiri. Bagi Negara
Indonesia yang menjadi bagian dari anggota United Nation (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) telah menjadikan Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) sebagai salah satu rujukan dalam perumusan hak asasi manusia di
Indonesia.Kebebasan beragama adalah salah satu hak asasi manusia yang telah
jelas dijamin dalam UDHR PBB.
Dalam
UUD 1945 sendiri secara tegas dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa “Negara
menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Bahkan hak kebebasan beragama merupakan salah
satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga.
Setelah
reformasi, hak kebebasan beragama dinyatakan lagi dalam Bab XA Pasal 28E ayat
(1) yang dirangkai dengan kebebasan memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, dan memilih tempat tinggal.
Selanjutnya
dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (1)
dinyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam ayat (2) dinyatakan
“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari
ketentuan secara normatif dalam UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia diatas, sungguh sangat tegas dan jelas tentang hak setiap
penduduk atau masyarakat untuk memeluk agama dan beribadah, karena memeluk
agama itu adalah hak maka mendatangkan kewajiban bagi orang lain untuk
memberikan hak itu sepenuhnya agar pihak
yang mempunyai hak tidak merasa dikurangi atau
terganggu dari sikap orang lain. Dengan lain perkataan,karena setiap
orang mempunyai hak maka sebaliknya
setiap orang pula mempunyai kewajiban untuk memberikan hak itu kepada masing-masing.
Jika itu dipahami dan dilaksanakan oleh setiap penduduk maka muncul
keseimbangan (tawazun) dalam implementasi hak kebebasan beragama dalam
konteks berbangsa dan bernegara. Pada sisi lain, ketentuan normatif di atas
juga menegaskan tentang kewajiban Negara untuk menjamin hak setiap penduduk
memeluk agama dan melaksanakannya.
Jadi,
Negara merupakan subjek utama hukum hak asasi manusia, karena negara merupakan
entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menguat kuasakan,dan memajukan
hak asasi manusia, setidaknya untuk warga negaranya masing-masing. Negara
Indonesia, dalam hal ini pemerintah Indonesia, bertanggung jawab untuk memenuhi
hak asasi warga negaranya di bidang keberagamaan. Kewajiban itu antara lain,
menciptakan rasa aman dan melindungi setiap masyarakat untuk memeluk agamanya
dan melaksanakannya.
Sebaliknya
kewajiban Negara pula untuk menindak setiap orang yang membuat hilangnya rasa
aman dalam kehidupan kebebasan beragma masyarakat. Dalam hal ini Negara atau
pemerintah dapat memproses yang bersangkutan sebagai pelaku pelanggaran hak
asasi manusia.
D.
UPAYA
DALAM MEWUJUDKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan indikasi
dari konsep trilogi kerukunan. Upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama,
tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama
tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah
diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan,
maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Sebagaimana
diketahui setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan
memelihara kerukunan umat beragama, tak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut
terjadi karena bermacam-macam faktor seperti sejarah, politik, sosial,
budaya/etnis, geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman
agama itu sendiri. Memang tidak bisa dipungkiri dengan adanya kemajemukan dalam
berbagai hal tersebut merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan
atau konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Kemajemukan atau perbedaan
itu tidaklah terjadi dalam satu waktu saja. Proses yang dialami oleh
masing-masing individu dalam masyarakat menciptakan keragaman suku dan etnis,
yang membawa pula kepada bentuk-bentuk keragaman lainnya. Keadaan ini
benar-benar disadari oleh generasi terdahulu, merupakan perintis bangsa
cikal-bakal negara Indonesia dengan mencanangkan filosofi kepada pemeluk suatu
agama dipersilahkan masing-masing untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan
kepercayaannya itu secara khidmat dan khusyuk. Dan bagi pemeluk agama yang lain
tidak mengganggunya atau mencampurinya. jangan memaksakan keyakinannya kepada
orang lain dan keragaman dalam persatuan atau yang dikenal dengan nama Bhinneka
Tunggal Ika itu.
Satu
hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dan kehati-hatian serta kewaspadaan,
terutama oleh para pemuka tiap-tiap pemuka agama, yaitu dalam rangka
memperingati hari-hari besar agama, hendaklah hanya melibatkan pemeluk agama
yang bersangkutan saja, jangan sampai pemeluk agama lain ikut dilibatkan. Hal
yang demikian bertentangan dengan semangat kerukunan umat beragama itu sendiri.
Jadi, misalnya peringatan maulid nabi Muhammad SAW, natal, waisak, nyepi dan
sebagainya. Semua peringatan-peringatan itu hanya diikuti oleh pemeluk agama
yang bersangkutan saja agar tidak menimbulkan keresahan hidup berdampingan,
tidak campur aduk satu sama lain.dengan demikian, yang harus rukun itu umat
beragamanya dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan
ajaran agamanya.
Oleh
karena itu Pemerintah selaku pembuat kebijakan berupaya mengakomodir
kepentingan setiap penganut agama dengan mengeluarkan berbagai peraturan
tentang kerukunan umat beragama. Sebagai upaya dalam kerukunan umat beragama
tentu harus melihat dari berbagai sudut yaitu kerukunan dari sudut pandang
pancasila, UUD 1945 dan pedoman penghayatan dan pengalaman Pancasila.
Pancasila
sebagai dasar negara, serta satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara merupakan titik pijak yang kukuh dan mendasar dalam
rangka pengembangan kerukunan. Kelima sila dari Pancasila, yaitu sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila persatuan
Indonesia, sila kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyawaraatan/perwakilan dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, yang kemudian dicerminkan melalui butirbutir Pancasila, memberikan
arahan yang amat jelas untuk mewujudkan kerukunan. Butir-butir dari sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam P4 menyatakan antara lain:
- Percaya
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaanya
masing-masing menurut dasar kemanuasiaan yang adil dan beradab
- Hormat
menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan
yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup
- Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaanya
- Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaanya kepada orang lain.
Selain
itu UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menyatakan:
- Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
- Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Rumusan
itu memberikan penegasan yang sangat penting terhadap peranan Negara dalam
memberikan jaminan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk
beribadat menurut agamanya. Negara berfungsi untuk menjamin, memperjuangkan,
mengupayakan dan membantu agar tiap-tiap penduduk memiliki kebebasan dan
keluasan untuk memeluk agamanya seerta mengekspresikan keberagamanya itu.
Jaminan negara tidak hanya terletak pada “memeluk agamanya masing-masing” tapi
juga mencakup kepada “beribadah menurut agama dan kepecayaanya itu”. Negara
tidak mengatur dan mencampuri ibadat dari agama-agama dan kepercayaan, negara
menjamin agar pemeluk agama dan peribadatan berjalan dengan baik.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengalaman Pancasila. Ekaprasetia Pancakarsa, khususnya penjelasan atas
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan peluang yang amat besar bagi
terwujudnya kerukunan hidup antar umat beragama.[18]
Undang
Undang Dasar 1945 bab IX Pasal 19 Ayat (1) menyiratkan bahwa agama dan syariat
agama dihormati dan didudukkan dalam nilai asasi kehidupan bangsa dan negara.
Dan setiap pemeluk agama bebas menganut agamanya dan beribadat menurut agama
dan kepercayaannya itu. Bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai
bangsa yang religius, atau tepatnya sebagai bangsa yang beriman kepada tuhan,
meski pengamalan syariat agama dalam kehidupan sehari-hari belum intensif,
namun dalam praktek kehidupan sosial dan kenegaraan sulit dipisahkan dari
pengaruh nilai-nilai dan nornma keagamaan. Bahkan, dalam rangka suksesnya
pembangunan nasional dalam sektor agama termasuk salah satu modal dasar, yakni
modal rohaniah dan mental. Hal ini dapat dibuktikan mengenai pengaruh agama
dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat besar, yaitu sentuhan dan
pengaruhnya tampak dirasakan memberi bekas yang mendalam pada corak kebudayaan
Indonesia. Bahkan, ketahanan nasional juga harus berangkat dengan dukungan umat
beragama, artinya bagaimana agar kaum beragama mempunyai kemampuan dan gairah
untuk tampil dan kreatif membina dan meningkatkan ketahanan nasional khususnya,
dan pembinaan sosial budaya pada umumnya sehingga nilai-nilai agama dan peranan
umat beragama benar-benar dirasakan dan mempengaruhi pertumbuhan masyarakat.
Umat beragama Indonesia mempunyai kondisi yang positif untuk terus
dikembangkan, yaitu:
a) ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b) kepercayaan
kepada kehidupan di hari kemudian
c) memandang
sesuatu selalu melihat dua aspek, yaitu aspek dunia dan akhirat
d) kesediaan
untuk hidup sederhana dan berkorban
Perwujudan
kerukunan umat beragama sangatlah penting dalam menciptakan perdamaian didalam
masyarakat sebab agama merupakan hal yang paling sangat sensitif dimana
didalamnya terdapat perbedaan nilai nilai serta peraturan dalam masing masing
agama yang dianut, namun dalam hal ini tentu harus tetap berjalan secara
harmonis dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Saling tenggang rasa, menghargai, dan
toleransi antar umat beragama
b. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
c. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
d. Mematuhi peraturan-peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.[20]
Sesungguhnya
bagi pemangku kebijakan seperti pemerintah mengelola perbedaan-perbedaan agama sesungguhnya
cukup berhenti pada teori “toleransi” yang berfokus pada kohesi sosial, bukan
teologis. Sudah pasti, secara teologis, setiap agama akan saling menyalahkan
agama lain secara teologis dan masing-masing akan mengklaim kebenaran agamanya
sendiri. Akan tetapi, keyakinan-keyakinan teologis yang saling menyalahkan itu
tidak boleh sampai mewujud dalam hubungan sosial yang saling mengasikan. Tentu
dalam hal ini setiap agama harus menahan diri untuk tetap menghormati keyakinan
dan kepercayaan yang berbeda walaupun yang dihormatinya itu dianggap
ketidakbenaran dalam perspektif keyakinannya.
Dengan
pendekatan “toleransi” yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun sepanjang
sejarah kekuasaan manusia, kerukunan antar-umat beragama dan kohesi sosial
dapat diwujudkan oleh pemerintah yang berkuasa tanpa kecurigaan pihak penguasa
akan merusak kepercayaan dan keyakinan agama yang tengah dianut oleh mereka.
Kalaupun masih ada terjadi konflik-konflik horizontal yang masih sering
mengatasnamakan agama, biasanya bukan semata-mata masalah perbedaan agama yang
menjadi sebabnya. Ada faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi dan
sosial, ketidakadilan politik, dan sebagainya yang mendorong identitas
keberagamaan dijadikan topeng dan alasan untuk berkonflik dengan pihak lain.
Persoalan
yang terjadi bukan semata-mata karena agama yang berbeda sehingga belum tentu
bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan teologis seperti pendekatan
“pluralisme agama”. Bila pendekatan “toleransi” yang digunakan, maka jikapun
akan memanfaatkan doktrin-doktrin teologis tidak perlu membuat formula dan
tafsir-tafsir teologis baru yang hanya akan menimbulkan kontroversi dan
ketegangan baru dalam hubungan antar-agama dan antar-keyakinan. Paling tidak
prinsip-prinsi dasar teologis setiap agama memberikan ruang sangat besar untuk
menghormati hak hidup kepercayaan dan agama-agama lain Memang dalam setiap
agama ada ajaran. Tapi tidak pernah terdengar bahwa sifat dari ajaran-ajaran
itu memaksa dengan cara apa saja.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Di dalam pasal 28e terdapat
unsur kebebasan memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaanya
sehingga hak untuk memeluk agama merupakan hak yang memang sangat melekat pada
diri setisp orang karena dalam memeluk agama merupakan hak yang memang sangat
melekat pada diri setiap orang. Karena dalam memeluk agama, orang tersebut
memiliki keyakinan dan pedoman dalam berkehidupan, dalam hal ini kerukunan umat
beragama sangat dibutuhkan dalam kehidupan, sebab manusia hidup dengan cinta
perdamaian dan ketentraman yang membawa manusia untuk hidup saling menghormati
satu sama lain.
Kebebasan
Beragama sebagai Hak Asasi Manusia sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia
merupakan makhluk sosial. Ia tidak akan dapat hidup sendirian, yang disebabkan
oleh dua faktor, yaitu:
ü Kebutuhan
regenerasi demi kelangsungan eksisitensi manusia. Hal ini hanya mungkin melalui
pergaulan laki-laki dan perempuan serta keluarga, atau apa yang disebut sebagai
lembaga perkawinan.
ü Adanya
keperluan saling membantu dalam menyediakan berbagai keperluan manusia dalam menjalani kehidupan. Jadi
manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Karena itu manusia memerlukan
kerja sama dan saling membantu antara sesama manusia (Al-Gazali, 1995: 17).
Sudah
menjadi sunnatullah pula bahwa di antara manusia berbeda-beda agama dan
keyakinan yang dianut Artinya Allah swt. sendiri tidak berkeinginan untuk
menjadikan manusia dalam satu keyakinan agama yang sama. Tentu hal ini agar
manusia menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran dan jalan lurus yang
sejati. Realitasnya manusia telah memeluk dan meyakini agama dan kepercayaan
yang berbeda-beda.
Jadi,
Negara merupakan subjek utama hukum hak asasi manusia, karena negara merupakan
entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menguat kuasakan,dan memajukan
hak asasi manusia, setidaknya untuk warga negaranya masing-masing. Negara
Indonesia, dalam hal ini pemerintah Indonesia, bertanggung jawab untuk memenuhi
hak asasi warga negaranya di bidang keberagamaan. Kewajiban itu antara lain,
menciptakan rasa aman dan melindungi setiap masyarakat untuk memeluk agamanya
dan melaksanakannya.
Sebaliknya
kewajiban Negara pula untuk menindak setiap orang yang membuat hilangnya rasa
aman dalam kehidupan kebebasan beragma masyarakat. Dalam hal ini Negara atau
pemerintah dapat memproses yang bersangkutan sebagai pelaku pelanggaran hak
asasi manusia.
Perwujudan
kerukunan umat beragama sangatlah penting dalam menciptakan perdamaian didalam
masyarakat sebab agama merupakan hal yang paling sangat sensitif dimana
didalamnya terdapat perbedaan nilai nilai serta peraturan dalam masing masing
agama yang dianut, namun dalam hal ini tentu harus tetap berjalan secara
harmonis dengan cara-cara sebagai berikut:
Ø Saling tenggang rasa, menghargai, dan
toleransi antar umat beragama
Ø Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
Ø Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
Ø Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan
Negara atau Pemerintah.
Persoalan
yang terjadi bukan semata-mata karena agama yang berbeda sehingga belum tentu
bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan teologis seperti pendekatan
“pluralisme agama”. Bila pendekatan “toleransi” yang digunakan, maka jikapun
akan memanfaatkan doktrin-doktrin teologis tidak perlu membuat formula dan
tafsir-tafsir teologis baru yang hanya akan menimbulkan kontroversi dan
ketegangan baru dalam hubungan antar-agama dan antar-keyakinan. Paling tidak
prinsip-prinsi dasar teologis setiap agama memberikan ruang sangat besar untuk
menghormati hak hidup kepercayaan dan agama-agama lain Memang dalam setiap
agama ada ajaran. Tapi tidak pernah terdengar bahwa sifat dari ajaran-ajaran
itu memaksa dengan cara apa saja.
Saran
Seharusnya
tiap-tiap pemuka agama, yaitu dalam rangka memperingati hari-hari besar agama,
hendaklah hanya melibatkan pemeluk agama yang bersangkutan saja, jangan sampai
pemeluk agama lain ikut dilibatkan. Hal yang demikian bertentangan dengan
semangat kerukunan umat beragama itu sendiri. Jadi, misalnya peringatan maulid
nabi Muhammad SAW, natal, waisak, nyepi dan sebagainya. Semua
peringatan-peringatan itu hanya diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan
saja agar tidak menimbulkan keresahan hidup berdampingan, tidak campur aduk
satu sama lain.dengan demikian, yang harus rukun itu umat beragamanya dalam
rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan ajaran agamanya.
Selain
itu, pemerintah sebagai penguasa seharusnya bisa mengamankan setiap kegiatan
keagamaan dari pihak yang tidak bertanggungjawab ingin merusak suasana
keagamaan tersebut, pemerintah juga seharusnya bisa memberikan pengertian
tentang pengertian toleransi dan kerukunan beragama kepada masyarakat supaya
kejadian tersebut tidak terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA
A. Gunawan Setiardja. 1993. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila. Kanisius. Yogyakarta.
Bagir Manan, dkk. 2001. Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. PT. Alumni. Bandung.
Dalizar Putra. 1995. “HAM” Hak Asasi Menurut al
Qur’an, PT. Al Husna Zikra, Jakarta.
Mukti Ali, Hubungan.
2009. Antaragama dan Masalah-Masalahnya dalam Eka Konteks
Berteologi di Indonesia, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Soewandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi Modren,
PT. Pembangunan, Jakarta.
Usman
Suparman. 2001. HUKUM ISLAM (Asas-asas
dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Islam). Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang HAM
http://CNNnews.com//tragedi-pembakaran-masjid-di-tolikara.html
diakses tanggal 24 April 2016
Http://Legal.Daily-Thought.Info/2008/03/Tinjauan-Umum-Hukum-Ham.html diakses pada tanggal 24 April 2016
[1]
Dalizar Putra, “HAM” Hak Asasi Menurut al Qur’an, PT. Al Husna Zikra,
Jakarta, 1995, hlm. 31.
[4] Bagir Manan, dkk, Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni,
Bandung, 2001, hlm. 2
[5] Ibid, hlm. 2
[6] Soewandi, Hak-Hak Dasar Dalam
Konstitusi Modren, PT. Pembangunan, Jakarta, 1957, hlm. 24.
[8] A. Gunawan Setiardja, Hak Asasi
Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.
73.
[9] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Laporan Tahunan 1994, Jakarta, 1997, hlm. Vii.
[10] Republik Indonesia, Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang HAM, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165, Jakarta, Pasal 1 ayat 1.
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Muladi, Hak
Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif hukum dan
Masyarakat), PT.Refika Aditama : Bandung,2009,hlm.50
[15] Mukti Ali, Kehidupan Beragama dalam Proses Pembangunan
Bangsa, Bandung : Proyek Pembinaan Mental Provinsi Jawa Barat , 1975,
hal.42
[16] Mukti Ali,
Hubungan Antaragama dan
Masalah-Masalahnya dalam Eka Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia, 1997, hal.128
[17] Usman Suparman,
HUKUM ISLAM (Asas-asas dan Pengantar
Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Islam), Jakarta: Gaya Media
Pratama,2001,hal.194
[18] Pdt. Weinata Sairin, M.Th, kerukunan umat beragama pilar utama kerukunan
berbangsa butir-butir pemikiran,cetakan kedua, PT BPK GUNUNG MULIA, Jakarta,
hlm.6-8.
[19]
http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499