Saturday 15 October 2016

MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


ANALISIS KASUS PEMBAKARAN MASJID DI TOLIKARA DALAM KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kesempurnaannya. Salah satu kesempurnaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia adalah "akal dan pikiran" yang membedakannya dengan makhluk lain. Sejak diciptakan dan dilahirkan manusia telah dianugerahi hak-hak yang melekat pada dirinya dan harus dihormati oleh manusia yang lain. Hak tersebut disebut juga dengan hak asasi manusia (HAM).

Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. Hak asasi manusia terdiri atas dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini maka akan sangat sulit untuk menegakan hak asasi lainya. Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak utnuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan kemudian  menyempurnakannya.
Salah satu contoh dari dua hak yang fundamental yakni hak kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan dalam memeluk agama. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman semakin berubah dan berkembang agama yang dianut manusia pun menjadi lebih beragam, hal ini dapat menimbulkan konflik antar sesama umat manusia yang beragama, seperti kasus yang terjadi di Papua yakni aksi pembakaran masjid oleh sekelompok jemaat gereja. Hal ini terjadi karena adanya missed komunikasi dari kedua belah pihak yang berseteru. Dalam kasus ini telah terjadi perpecahan dalam kerukunan umat beragama. Dan sebeagai mana yang kita ketahui bahwa agama merupakan sebagai bagian dari HAM.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan kerukunan umat beragama?
2.      Bagaimana penyelesaian kasus pembakaran masjid di Papua dikaitkan dengan HAM?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kerukunan beragama.
2.      Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian kasus pembakaran masjid di Papua dikaitkan dengan HAM.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA DAN KERUKUNAN BERAGAMA BESERTA PERATURAN HUKUMNYA
Hak asasi adalah hak yang paling mendasar dan melekat padanya dimanapu ia berada. Tanpa adanya hak ini berarti berkuranglah harkatnya sebagai manusia wajar. Hak asasi manusia adalah suatu tuntutan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sudah sewajarnya mendapat perlindungan hukum.[1]
Hak Asasi Manusia atau sering kita sebut sebagai HAM adalah terjemahan dari istilah human right atau the right of human. Secara terminologi istilah ini artinya adalah Hak-Hak Manusia.  Namun dalam beberapa literatur pemakaian istilah Hak Asasi Manusia (HAM) lebih sering digunakan dari pada pemakaian Hak-hak Manusia. Indonesia hak-hak manusia pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak asasi” sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil rights).[2]
Menurut Kuntjoro Purbopranoto seperti yang dikutip oleh Dalizar Putra mengatakan bahwa dalam declaration of Independence Amerika Serikat (tanggal 14 Juli 1977) itu dinyatakan bahwa sekalian manusia diciptakan dalam keadaan sama, bahwa manusia dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa beberapa yang tetap dan melekat padanya (manusia) dan sebagainya. Pendapat ini sesuai dengan John Locke dengan teori hukum alamnya mengatakan hukum alam adalah aturan-aturan tentang tingkah laku manusia di dalam keadaan alam. Dan di dalam keadaan hukum ala mini ketertiban dan perdamaian sudah terdapat. Manusia mempunyai hak-hak yaitu hak asasi yang terdiri atas hak hidup, hak kemerdekaan pribadi dan hak milik.[3]
Pemahaman Hak Asasi Manusia/human right (HAM) di Indonesia sebagai nilai, konsep, dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM, yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat ini.[4]
Pendirian Budi Utomo pada tahun 1908 dapat dianggap sebagai titik awal timbulnya kesadaran untuk mendirikan suatu negara kebangsaan yang terlepas dari cengkeraman kolonial, yang dalam konteks HAM dikenal sebagai perwujudan dari the right of self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri).[5] Hak itulah yang kemudian merdeka, lepas dari penjajahan bangsa asing.  Untuk memahami HAM, masyarakat terlebih dahulu perlu mengetahui apa itu HAM. Setelah itu, baru meningkat pada pemahaman dan pelaksanaan, sehingga di dalam implementasinya dapat berjalan dengan baik. Di dalam literatur, HAM dikenal dengan berbagai istilah, antara lain:  hak azasi, hak-hak asasi, hak azasi manusia, hak asasi manusia, hak-hak asasi manusia, hak-hak dasar, atau hak-hak fundamental.
Selain ketiadaan keseragaman istilah yang digunakan, dari segi definisi HAM juga berbeda-beda. Menurut Soewandi, hak-hak yang sekarang dikenal sebagai HAM diartikan sebagai hak-hak "subjektif" yang telah ada pada para individu pada waktu mereka membuat perjanjian sosial untuk membentuk pemerintahan (pactum unionis). Karena itu, hak-hak tadi dianggap dan diperlakukan sebagai hak-hak yang tidak dapat diubah oleh kekuasaan dalam negara yang berhak mengubah konstitusi.[6] Menurut Miriam Budiardjo, HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.[7]
Senada dengan Miriam Budiardjo, Gunawan Setiardja mengemukakan bahwa HAM berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.[8] Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam pada itu, menurut Komnas HAM, HAM ialah hak yang melekat pada setiap manusia untuk dapat mempertahankan hidup, harkat dan martabatnya.[9]
Menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang HAM dikatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[10]
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa HAM adalah Hak yang dibawa manusia sejak dilahirkan dan melekat padanya, sebagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan masyarakatnya untuk hidup rukun. Sebab kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, Agama, Ras dan antar Golongan bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya yang tidak diinginkan.
Kerukunan dapat diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
            Di dalam pasal 28e ini terdapat unsur kebebasan memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaanya sehingga hak untuk memeluk agama merupakan hak yang memang sangat melekat pada diri setisp orang karena dalam memeluk agama merupakan hak yang memang sangat melekat pada diri setiap orang. Karena dalam memeluk agama, orang tersebut memiliki keyakinan dan pedoman dalam berkehidupan, dalam hal ini kerukunan umat beragama sangat dibutuhkan dalam kehidupan, sebab manusia hidup dengan cinta perdamaian dan ketentraman yang membawa manusia untuk hidup saling menghormati satu sama lain.
Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi Kerukunan yaitu:
1.      Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama Ialah kerukunan di antara aliran-aliran/paham-paham/mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.
2.      Kerukunan di antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
3.      Kerukunan antar umat/komunitas agama dengan pemerintah Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat  pemerintah  dengan  saling  memahami  dan menghargai  tugas  masing-masing  dalam  rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama.
Wujud dari Kerukunan antar umat beragama adalah sebagai berikut:
a.       Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
b.      Saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab mmbangun bangsa dan Negara.
c.       Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada orang lain.
            Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.
Kerukunan antar umat beragama dapat dikatakan sebagai suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Kerukunan antar agama yang dimaksudkan ialah kerukunan mengupayakan agar terciptanya suatu keadaan yang tidak ada pertentangan intern dalam masing-masing umat beragama, antar golongan-golongan agama yang berbeda satu sama lain, antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lainnya, antara umat-umat beragama dengan pemerintah.

B.     KRONOLOGIS KASUS
            Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan kronologi peristiwa keributan di Tolikara,[11] Papua yang menyebabkan sejumlah bangunan rusak dan hangus terbakar termasuk satu masjid. Penjelasan kronoligis berdasarkan hasil survei langsung yang dilakuakan Polri pada Sabtu (18/7).
Badrodin mengatakan, peristiwa bermula dari surat edaran tentang pelarangan bagi umat Islam melaksanakan solat Idul Fitri. Setelah ditelusuri, surat edaran tersebut dikeluarkan oleh Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua.[12]
"Isi surat tersebut tentang pemberitahuan pada semua umat islam di Tolikara yang ditandatangani oleh pendeta dan sekeretarisnya, isinya itu adalah dalam rangka pelaksanaan seminar internasional dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) remaja GIDI," ujar Badrodin kepada wartawan di rumah dinas Kepala Badan Intelijen Negara, Jakarta, Kamis (23/7).
Badrodin mengatakan, surat edaran GIDI meminta kepada umat islam untuk tidak mengerahkan dan mengundang massa dalam jumlah besar, karena pada 13 sampai 19 Juli 2015 ada agenda yang dilakukan mereka di Tolikara, Papua.
"Di antara tanggal 13-19 ada tanggal 17 dimana ada umat Islam yang merayakan solat Idul Fitri dan kaum muslimat dilarang menggunakan jilbab," ujarnya.
Lebih lanjut, Badrodin menyatakan, dalam surat edaran tersebut juga disampaikan, bahwa ada pelarangan mendirikan tempat ibadah bagi semua agama kecuali GIDI di Tolikara.
"Termasuk gereja Adven yang ada disana di tutup dan jemaahnya masuk ke GIDI," ujarnya.
Saat surat edaran GIDI dikeluarkan, Badrodin mengaku, Kepala Polisi Resor Tolikara telah melakukan konfirmasi dan berkordinasi dengan Presiden GIDI. Akan tetapi, presiden GIDI menyatakan surat edaran tersebut tidak resmi, karena tidak ditandatangani langsung olehnya.
Karena merasa surat edaran yang dikeluarkan GIDI di Tolikara bermasalah, Kapolres melakukan komunikasi dengan Bupati Tolikara, Usman Wanimbo dan menyepakati untuk mencabut dan tidak mengizinkan surat edaran tersebut diberlakukan. "Dari keterangan bupati, Kapolres menghubungi tokoh Islam disana untuk mempersilakan umat islam melaksanakan solat maksimal hingga pukul 08.00 WIT. Nanti Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan mengamankannya," ujarnya.[13]
Namun, tidak lama solat Idul Fitri dilakukan Jumat (17/7) pagi, sejumlah massa mendatangi lokasi solat dan meminta umat muslim untuk menghentikan aktivitasnya. Kapolres yang berada di lokasi sempat melakukan negosiasi dengan massa. Akan tetapi, karena jumlahnya semakin bertambah dan mulai memanas, polisi terpaksa menembakkan peluru ke atas untuk meredam situasi.
"Kapolres dan beberapa stafnya sudah negosiasi, bernegosiasi agar diberi kesempatan sampai selesai jam 8. Ternyata massa makin banyak, negosiasi gagal, ada yang melempar, polisi berikan tembakan poeringatan agar bubar. Tapi malah terjadi perlawanan petugas dan melempari jemaah," ujarnya.
Setelah kondisi pecah dan terjadi serangan terhadap umat muslim. Polisi melakukan tembakan kesejumlah orang yang saat kejadian juga melakukan penyerangan terhadap petugas.
"Polisi telah berikan tembakan poeringatan agar bubar. Tapi malah melawan petugas dan melempari jemaah. Akhirnya jemaah bubar, oleh karena itu dilakukan penembakan ke bawah. Ketentuan sudah betul ditembak di bawah lutut, hingga 12 korban itu rata-rata kena kaki dan satu kena pinggul dan meninggal. Saya tidak tahun prosesnya, apakah sedang jongkok atau gimana," ujarnya.
Hingga kini polisi masih melakukan identifikasi terhadap prosedur penembakan dan memeriksa sejumlah saksi untuk menetapkan tersangka dibalik peristiwa tersebut.
Sementara itu Kepolisian Daerah Papua menangkap dua tersangka kerusuhan Tolikara, Papua, Kamis (23/7). Penangkapan itu dikonfirmasi oleh Kapolda Papua Irjen Yotje Mende.
“Tersangka baru saja kami tangkap,” kata Yotje kepada CNN Indonesia. Kedua tersangka berinisial HK dan JW. Keduanya ialah warga lokal Tolikara. “Mereka sebagai provokator atau yang menyuruh melakukan penyerangan terhadap massa,” kata Yotje yang siang tadi tiba di Tolikara. (pit)

C.    ANALISI KASUS
Dalam kasus ini terdapat pelanggaran HAM yang terjadi yaitu:
1.      Kasus intoleransi berupa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama seperti yang dijamin dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 39 tahun 1999 tentang HAM.
2.      Pelanggaran terhadap hak untuk hidup sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat (1) UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Dengan fakta adanya korban pemembakan yang menyebabkan 1 orang meninggal dunia 11 orang luka tembak, serta beberapa kios dan rumah warga terbakar.
3.      Pelanggaran terhadap hak atas rasa aman sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat (2), 29 ayat (1), 30 dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
4.      Pelanggaran terhadap hak atas kepemilikan sebagaimana dijamin dalam pasal 36 UU 39/1999 tentang HAM. Dengan fakta adanya pembakaran yang menyebabkan terbakarnya kios atau sentra ekonomi warga dan tempat ibadah.
Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan barang yang baru karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh founding father Indonesia. Rasionya bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut:
·         Asas Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
·         Asas legalitas
·         Asas pembagian kekuasaan
·         Asas peradian yang bebas dan tidak memihak
·         Asas kedaulatan rakyat.[14]
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Dalam Islam seluruh hak asasi merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi tersebut, melainkan juga mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjamin hak-hak tersebut. Oleh Karena dalam kaitannya kasus untuk mengatasi terjadi Penyerangan antar umat maka Penganut agama  yang ada di Indonesia bertanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan negara yang telah diproklamasikannya, melalui pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya. Pembangunan negara dang bangsa Indonesia, memerlukan adanya persatuan dan kerjasama serta kerukunan hidup yang harmonis antar umat beragama di Indonesia.[15] Kerukunan hidup antarumat beragama merupakan prakondisi yang harus diciptakan bagi pembangunan di Indonesia.[16] Berkaitan dengan kerukunan hidup antarumat beragama, pemberlakuan hukum suatu agama bagi pemeluknya, termasuk pemberlakuan hukum islam bagi umat Islam Indonesia, merupakan bagian dari bentuk keharmonisan hubungan antarumat beragama di Indonesia.[17]
Keragaman dalam agama seringkali terekspos sebagai faktor pemicu konflik horizontal di berbagai daerah. Padahal semua agama tidak pernah mengajarkan pemeluknya menyerang atau menyakiti pemeluk agama yang berbeda. Untuk itu sebenarnya semua pemeluk agama di Indonesia harus memahami bagaimana pengaturan mengenai hak beragama warga Negara dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan  lainnya. Tulisan ini menguraikan secara ringkas mengenai hak warga Negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya itu. Di samping itu juga diuraikan bagaimana kewajiban negara dalam memenuhi hak keberagamaan tiap-tiap penduduk pemeluk agama yang berbeda-beda ini. Negara harus menjadi fasilitator untuk membangun toleransi, karena dari sikap toleransi itu akan terwujud kerukunan yang pada gilirannya memperkokoh eksistensi bangsa Indonesia.
Kebebasan Beragama sebagai Hak Asasi Manusia sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak akan dapat hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
ü  Kebutuhan regenerasi demi kelangsungan eksisitensi manusia. Hal ini hanya mungkin melalui pergaulan laki-laki dan perempuan serta keluarga, atau apa yang disebut sebagai lembaga perkawinan.
ü  Adanya keperluan saling membantu dalam menyediakan berbagai keperluan  manusia dalam menjalani kehidupan.Jadi manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Karena itu manusia memerlukan kerja sama dan saling membantu antara sesama manusia (Al-Gazali, 1995: 17).
Sudah menjadi sunnatullah pula bahwa di antara manusia berbeda-beda agama dan keyakinan yang dianut Artinya Allah swt. sendiri tidak berkeinginan untuk menjadikan manusia dalam satu keyakinan agama yang sama. Tentu hal ini agar manusia menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran dan jalan lurus yang sejati. Realitasnya manusia telah memeluk dan meyakini agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.
Untuk kepentingan harmoni kehidupan manusia di atas planet bumi ini maka pengaturan secara yuridis menjadi penting di samping ajaran agama itu sendiri. Bagi Negara Indonesia yang menjadi bagian dari anggota United Nation (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah menjadikan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sebagai salah satu rujukan dalam perumusan hak asasi manusia di Indonesia.Kebebasan beragama adalah salah satu hak asasi manusia yang telah jelas dijamin dalam UDHR PBB.
Dalam UUD 1945 sendiri secara tegas dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Bahkan hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun juga.
Setelah reformasi, hak kebebasan beragama dinyatakan lagi dalam Bab XA Pasal 28E ayat (1) yang dirangkai dengan kebebasan memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, dan memilih tempat tinggal.
Selanjutnya dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (1) dinyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam ayat (2) dinyatakan “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari ketentuan secara normatif dalam UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diatas, sungguh sangat tegas dan jelas tentang hak setiap penduduk atau masyarakat untuk memeluk agama dan beribadah, karena memeluk agama itu adalah hak maka mendatangkan kewajiban bagi orang lain untuk memberikan hak itu sepenuhnya  agar pihak yang mempunyai hak tidak merasa dikurangi atau  terganggu dari sikap orang lain. Dengan lain perkataan,karena setiap orang mempunyai  hak maka sebaliknya setiap orang pula mempunyai kewajiban untuk memberikan hak itu kepada masing-masing. Jika itu dipahami dan dilaksanakan oleh setiap penduduk maka muncul keseimbangan (tawazun) dalam implementasi hak kebebasan beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Pada sisi lain, ketentuan normatif di atas juga menegaskan tentang kewajiban Negara untuk menjamin hak setiap penduduk memeluk agama dan melaksanakannya.
Jadi, Negara merupakan subjek utama hukum hak asasi manusia, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menguat kuasakan,dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya untuk warga negaranya masing-masing. Negara Indonesia, dalam hal ini pemerintah Indonesia, bertanggung jawab untuk memenuhi hak asasi warga negaranya di bidang keberagamaan. Kewajiban itu antara lain, menciptakan rasa aman dan melindungi setiap masyarakat untuk memeluk agamanya dan melaksanakannya.
Sebaliknya kewajiban Negara pula untuk menindak setiap orang yang membuat hilangnya rasa aman dalam kehidupan kebebasan beragma masyarakat. Dalam hal ini Negara atau pemerintah dapat memproses yang bersangkutan sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia.

D.    UPAYA DALAM MEWUJUDKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Sebagaimana diketahui setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan memelihara kerukunan umat beragama, tak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut terjadi karena bermacam-macam faktor seperti sejarah, politik, sosial, budaya/etnis, geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman agama itu sendiri. Memang tidak bisa dipungkiri dengan adanya kemajemukan dalam berbagai hal tersebut merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Kemajemukan atau perbedaan itu tidaklah terjadi dalam satu waktu saja. Proses yang dialami oleh masing-masing individu dalam masyarakat menciptakan keragaman suku dan etnis, yang membawa pula kepada bentuk-bentuk keragaman lainnya. Keadaan ini benar-benar disadari oleh generasi terdahulu, merupakan perintis bangsa cikal-bakal negara Indonesia dengan mencanangkan filosofi kepada pemeluk suatu agama dipersilahkan masing-masing untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu secara khidmat dan khusyuk. Dan bagi pemeluk agama yang lain tidak mengganggunya atau mencampurinya. jangan memaksakan keyakinannya kepada orang lain dan keragaman dalam persatuan atau yang dikenal dengan nama Bhinneka Tunggal Ika itu.
Satu hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dan kehati-hatian serta kewaspadaan, terutama oleh para pemuka tiap-tiap pemuka agama, yaitu dalam rangka memperingati hari-hari besar agama, hendaklah hanya melibatkan pemeluk agama yang bersangkutan saja, jangan sampai pemeluk agama lain ikut dilibatkan. Hal yang demikian bertentangan dengan semangat kerukunan umat beragama itu sendiri. Jadi, misalnya peringatan maulid nabi Muhammad SAW, natal, waisak, nyepi dan sebagainya. Semua peringatan-peringatan itu hanya diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan saja agar tidak menimbulkan keresahan hidup berdampingan, tidak campur aduk satu sama lain.dengan demikian, yang harus rukun itu umat beragamanya dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan ajaran agamanya.
Oleh karena itu Pemerintah selaku pembuat kebijakan berupaya mengakomodir kepentingan setiap penganut agama dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang kerukunan umat beragama. Sebagai upaya dalam kerukunan umat beragama tentu harus melihat dari berbagai sudut yaitu kerukunan dari sudut pandang pancasila, UUD 1945 dan pedoman penghayatan dan pengalaman Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara, serta satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan titik pijak yang kukuh dan mendasar dalam rangka pengembangan kerukunan. Kelima sila dari Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila persatuan Indonesia, sila kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaraatan/perwakilan dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang kemudian dicerminkan melalui butirbutir Pancasila, memberikan arahan yang amat jelas untuk mewujudkan kerukunan. Butir-butir dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam P4 menyatakan antara lain:
  1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing-masing menurut dasar kemanuasiaan yang adil dan beradab
  2. Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup
  3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaanya kepada orang lain.
Selain itu UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menyatakan:
  1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Rumusan itu memberikan penegasan yang sangat penting terhadap peranan Negara dalam memberikan jaminan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya. Negara berfungsi untuk menjamin, memperjuangkan, mengupayakan dan membantu agar tiap-tiap penduduk memiliki kebebasan dan keluasan untuk memeluk agamanya seerta mengekspresikan keberagamanya itu. Jaminan negara tidak hanya terletak pada “memeluk agamanya masing-masing” tapi juga mencakup kepada “beribadah menurut agama dan kepecayaanya itu”. Negara tidak mengatur dan mencampuri ibadat dari agama-agama dan kepercayaan, negara menjamin agar pemeluk agama dan peribadatan berjalan dengan baik.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila. Ekaprasetia Pancakarsa, khususnya penjelasan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan peluang yang amat besar bagi terwujudnya kerukunan hidup antar umat beragama.[18]
Undang Undang Dasar 1945 bab IX Pasal 19 Ayat (1) menyiratkan bahwa agama dan syariat agama dihormati dan didudukkan dalam nilai asasi kehidupan bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk agama bebas menganut agamanya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang religius, atau tepatnya sebagai bangsa yang beriman kepada tuhan, meski pengamalan syariat agama dalam kehidupan sehari-hari belum intensif, namun dalam praktek kehidupan sosial dan kenegaraan sulit dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai dan nornma keagamaan. Bahkan, dalam rangka suksesnya pembangunan nasional dalam sektor agama termasuk salah satu modal dasar, yakni modal rohaniah dan mental. Hal ini dapat dibuktikan mengenai pengaruh agama dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat besar, yaitu sentuhan dan pengaruhnya tampak dirasakan memberi bekas yang mendalam pada corak kebudayaan Indonesia. Bahkan, ketahanan nasional juga harus berangkat dengan dukungan umat beragama, artinya bagaimana agar kaum beragama mempunyai kemampuan dan gairah untuk tampil dan kreatif membina dan meningkatkan ketahanan nasional khususnya, dan pembinaan sosial budaya pada umumnya sehingga nilai-nilai agama dan peranan umat beragama benar-benar dirasakan dan mempengaruhi pertumbuhan masyarakat. Umat beragama Indonesia mempunyai kondisi yang positif untuk terus dikembangkan, yaitu:
a)      ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b)      kepercayaan kepada kehidupan di hari kemudian
c)      memandang sesuatu selalu melihat dua aspek, yaitu aspek dunia dan akhirat
d)      kesediaan untuk hidup sederhana dan berkorban
e)      senantiasa memegang teguh pendirian yang berkaitan dengan aqidah agama.[19]
Perwujudan kerukunan umat beragama sangatlah penting dalam menciptakan perdamaian didalam masyarakat sebab agama merupakan hal yang paling sangat sensitif dimana didalamnya terdapat perbedaan nilai nilai serta peraturan dalam masing masing agama yang dianut, namun dalam hal ini tentu harus tetap berjalan secara harmonis dengan cara-cara sebagai berikut:
a.       Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
b.      Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
c.       Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
d.      Mematuhi peraturan-peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.[20]
Sesungguhnya bagi pemangku kebijakan seperti pemerintah mengelola perbedaan-perbedaan agama sesungguhnya cukup berhenti pada teori “toleransi” yang berfokus pada kohesi sosial, bukan teologis. Sudah pasti, secara teologis, setiap agama akan saling menyalahkan agama lain secara teologis dan masing-masing akan mengklaim kebenaran agamanya sendiri. Akan tetapi, keyakinan-keyakinan teologis yang saling menyalahkan itu tidak boleh sampai mewujud dalam hubungan sosial yang saling mengasikan. Tentu dalam hal ini setiap agama harus menahan diri untuk tetap menghormati keyakinan dan kepercayaan yang berbeda walaupun yang dihormatinya itu dianggap ketidakbenaran dalam perspektif keyakinannya.
Dengan pendekatan “toleransi” yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun sepanjang sejarah kekuasaan manusia, kerukunan antar-umat beragama dan kohesi sosial dapat diwujudkan oleh pemerintah yang berkuasa tanpa kecurigaan pihak penguasa akan merusak kepercayaan dan keyakinan agama yang tengah dianut oleh mereka. Kalaupun masih ada terjadi konflik-konflik horizontal yang masih sering mengatasnamakan agama, biasanya bukan semata-mata masalah perbedaan agama yang menjadi sebabnya. Ada faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, ketidakadilan politik, dan sebagainya yang mendorong identitas keberagamaan dijadikan topeng dan alasan untuk berkonflik dengan pihak lain.
Persoalan yang terjadi bukan semata-mata karena agama yang berbeda sehingga belum tentu bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan teologis seperti pendekatan “pluralisme agama”. Bila pendekatan “toleransi” yang digunakan, maka jikapun akan memanfaatkan doktrin-doktrin teologis tidak perlu membuat formula dan tafsir-tafsir teologis baru yang hanya akan menimbulkan kontroversi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama dan antar-keyakinan. Paling tidak prinsip-prinsi dasar teologis setiap agama memberikan ruang sangat besar untuk menghormati hak hidup kepercayaan dan agama-agama lain Memang dalam setiap agama ada ajaran. Tapi tidak pernah terdengar bahwa sifat dari ajaran-ajaran itu memaksa dengan cara apa saja.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Di dalam pasal 28e terdapat unsur kebebasan memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaanya sehingga hak untuk memeluk agama merupakan hak yang memang sangat melekat pada diri setisp orang karena dalam memeluk agama merupakan hak yang memang sangat melekat pada diri setiap orang. Karena dalam memeluk agama, orang tersebut memiliki keyakinan dan pedoman dalam berkehidupan, dalam hal ini kerukunan umat beragama sangat dibutuhkan dalam kehidupan, sebab manusia hidup dengan cinta perdamaian dan ketentraman yang membawa manusia untuk hidup saling menghormati satu sama lain.
Kebebasan Beragama sebagai Hak Asasi Manusia sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak akan dapat hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
ü  Kebutuhan regenerasi demi kelangsungan eksisitensi manusia. Hal ini hanya mungkin melalui pergaulan laki-laki dan perempuan serta keluarga, atau apa yang disebut sebagai lembaga perkawinan.
ü  Adanya keperluan saling membantu dalam menyediakan berbagai keperluan  manusia dalam menjalani kehidupan. Jadi manusia terbukti tidak bisa hidup sendirian. Karena itu manusia memerlukan kerja sama dan saling membantu antara sesama manusia (Al-Gazali, 1995: 17).
Sudah menjadi sunnatullah pula bahwa di antara manusia berbeda-beda agama dan keyakinan yang dianut Artinya Allah swt. sendiri tidak berkeinginan untuk menjadikan manusia dalam satu keyakinan agama yang sama. Tentu hal ini agar manusia menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran dan jalan lurus yang sejati. Realitasnya manusia telah memeluk dan meyakini agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.
Jadi, Negara merupakan subjek utama hukum hak asasi manusia, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menguat kuasakan,dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya untuk warga negaranya masing-masing. Negara Indonesia, dalam hal ini pemerintah Indonesia, bertanggung jawab untuk memenuhi hak asasi warga negaranya di bidang keberagamaan. Kewajiban itu antara lain, menciptakan rasa aman dan melindungi setiap masyarakat untuk memeluk agamanya dan melaksanakannya.
Sebaliknya kewajiban Negara pula untuk menindak setiap orang yang membuat hilangnya rasa aman dalam kehidupan kebebasan beragma masyarakat. Dalam hal ini Negara atau pemerintah dapat memproses yang bersangkutan sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Perwujudan kerukunan umat beragama sangatlah penting dalam menciptakan perdamaian didalam masyarakat sebab agama merupakan hal yang paling sangat sensitif dimana didalamnya terdapat perbedaan nilai nilai serta peraturan dalam masing masing agama yang dianut, namun dalam hal ini tentu harus tetap berjalan secara harmonis dengan cara-cara sebagai berikut:
Ø  Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
Ø  Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
Ø  Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
Ø  Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan    Negara atau Pemerintah.
Persoalan yang terjadi bukan semata-mata karena agama yang berbeda sehingga belum tentu bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan teologis seperti pendekatan “pluralisme agama”. Bila pendekatan “toleransi” yang digunakan, maka jikapun akan memanfaatkan doktrin-doktrin teologis tidak perlu membuat formula dan tafsir-tafsir teologis baru yang hanya akan menimbulkan kontroversi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama dan antar-keyakinan. Paling tidak prinsip-prinsi dasar teologis setiap agama memberikan ruang sangat besar untuk menghormati hak hidup kepercayaan dan agama-agama lain Memang dalam setiap agama ada ajaran. Tapi tidak pernah terdengar bahwa sifat dari ajaran-ajaran itu memaksa dengan cara apa saja.
Saran
Seharusnya tiap-tiap pemuka agama, yaitu dalam rangka memperingati hari-hari besar agama, hendaklah hanya melibatkan pemeluk agama yang bersangkutan saja, jangan sampai pemeluk agama lain ikut dilibatkan. Hal yang demikian bertentangan dengan semangat kerukunan umat beragama itu sendiri. Jadi, misalnya peringatan maulid nabi Muhammad SAW, natal, waisak, nyepi dan sebagainya. Semua peringatan-peringatan itu hanya diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan saja agar tidak menimbulkan keresahan hidup berdampingan, tidak campur aduk satu sama lain.dengan demikian, yang harus rukun itu umat beragamanya dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan ajaran agamanya.
Selain itu, pemerintah sebagai penguasa seharusnya bisa mengamankan setiap kegiatan keagamaan dari pihak yang tidak bertanggungjawab ingin merusak suasana keagamaan tersebut, pemerintah juga seharusnya bisa memberikan pengertian tentang pengertian toleransi dan kerukunan beragama kepada masyarakat supaya kejadian tersebut tidak terulang kembali.

DAFTAR PUSTAKA
A. Gunawan Setiardja. 1993. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Kanisius. Yogyakarta.
Bagir Manan, dkk. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. PT. Alumni. Bandung.
Dalizar Putra. 1995. “HAM” Hak Asasi Menurut al Qur’an, PT. Al Husna Zikra, Jakarta.
Mukti Ali, Hubungan. 2009. Antaragama dan Masalah-Masalahnya dalam Eka Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Soewandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi Modren, PT. Pembangunan, Jakarta.
Usman Suparman. 2001. HUKUM ISLAM (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Islam). Jakarta: Gaya Media Pratama.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang HAM
http://CNNnews.com//tragedi-pembakaran-masjid-di-tolikara.html diakses tanggal 24 April 2016




[1] Dalizar Putra, “HAM” Hak Asasi Menurut al Qur’an, PT. Al Husna Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 31.
[3] Dalizar Putra,Op Cit, hlm 31-32
[4] Bagir Manan, dkk, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 2 
[5] Ibid, hlm. 2
[6] Soewandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi Modren, PT. Pembangunan, Jakarta, 1957, hlm. 24.
[7] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1977, hlm. 120.
[8] A. Gunawan Setiardja, Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 73.
[9] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Tahunan 1994, Jakarta, 1997, hlm. Vii.
[10] Republik Indonesia, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang HAM, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Jakarta, Pasal 1 ayat 1.
[11] http://CNNnews.com//tragedipembakanmasjidditolikara.html diakses tanggal 24 April 2016
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif hukum dan Masyarakat), PT.Refika Aditama : Bandung,2009,hlm.50
[15] Mukti Ali, Kehidupan Beragama dalam Proses Pembangunan Bangsa, Bandung : Proyek Pembinaan Mental Provinsi Jawa Barat , 1975, hal.42
[16] Mukti Ali, Hubungan Antaragama dan Masalah-Masalahnya dalam Eka Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997, hal.128
[17] Usman Suparman, HUKUM ISLAM (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama,2001,hal.194
[18] Pdt. Weinata Sairin, M.Th,  kerukunan umat beragama pilar utama kerukunan berbangsa butir-butir pemikiran,cetakan kedua, PT BPK GUNUNG MULIA, Jakarta, hlm.6-8.
[19] http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499