Saturday 4 February 2017

PLKH PERUNDANG-UNDANGAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
UNDANG-UNDANG Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang merupakan pengganti dari UU Nomor 27 Tahun 2009 kembali mendapatkan perhatian beberapa pihak untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut I Wayan Sudirta bahwa UU No 17/2014 Tentang MD3 telah inskonstitusional formil dan materiil. Inskontitusional formil diantaranya adalah:
1.      UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi, seharusnya dibentuk UU MPR, UU DPR, dan UU DPD secara tersendiri
2.      Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 - 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU P3, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang
3.      Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.
Inskonstitusional materiil yaitu Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan, Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. RUU MD3 Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi terdapat pada pasal 166 ayat (2) dan Pasal 167 ayat (1) UU MD3, Pasal 276 ayat (1) UU MD3, Pasal 277 ayat (1) UU MD3, Pasal 165 dan Pasal 166 UU MD3, Pasal 71 huruf c UU MD3, Pasal 170 ayat (5) UU MD3, Pasal 171 ayat (1) UU MD3, Pasal 249 huruf b UU MD3. I Wayan Sudirta mencontohkan Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi diantaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD ”difilter” oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.
Pokok-pokok Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketiadaan kesejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi diantaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR. Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. Masalah keistimewaan dan kekuasaan yang luar biasa ditambah lagi dalam UU ini, misalnya kalau DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan untuk dapat memanggil dan memeriksa anggota DPR sedangkan DPD tidak begitu, ini UU yang sangat ganjil dan diskriminatif.
Pokok-pokok Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN diantaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
Menurut I Wayan Sudirta UU MD3 ini bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diberikan tafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.92/PUU-X/2012. Dengan disetujuinya UU Nomor 17 Tahun 2014 ini, DPR dianggap telah menghinakan putusan MK. Karena DPR yang membuat UU MK dan menyatakan keputusan MK final dan mengikat. Ketika keputusan berkaitan DPD dijatuhkan, putusan tidak diakomodir, seharusnya tidak bisa diabaikan. Kalau terus menerus tidak diakomodir, ini bermain-main dengan negara. Kejaksaan, kepolisian, KPK dirugikan, DPD dirugikan.
Selain itu ada pasal-pasal yang menyangkut keterwakil-an perempuan di parlemen. Ada tujuh pasal yang mereka uji ke MK, yakni Pasal 97 ayat 2 tentang Ketentuan Pimpinan Komisi, Pasal 104 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Legislasi, Pasal 109 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Anggaran, Pasal 115 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Kerja Sama Antarparlemen, Pasal 121 ayat 2 tentang Mahkamah Kehormatan Dewan. Selain itu, Pasal 152 ayat 2 tentang Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Pasal 158 ayat 2 tentang Pimpinan Panitia Khusus, yang dalam UU MD3 yang baru hal tersebut dihapus.
Ditemukan juga perbedaan yang signifikan antara UU MD3 lama dan UU MD3 baru khususnya yang mengatur hak dan jaminan perempuan dalam berpolitik di DPR. Ada beberapa pasal yang memperhatikan keterwakilan perempuan itu kemudian dihapus kalimatnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    ANALISIS UNDANG-UNDANG MD3
Sebelum menganalisis undang-undang, ada baiknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai apa itu Undang-undang beserta penjelasan yang Iain.
Undang-undang merupakan peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh alat kelengkapan negara yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang selaku warga negara, Undang-undang dapat berlaku didalam masyarakat jika telah memenuhi persyaratan tertentu.
Dalam istilah hukum, Undang-undang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a.       UU dalam arti materiil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat orang secara umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya khusus berlaku bagi sekelompok orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil saja. Misalnya adalah UU No. 62 tahun 1968 tentang naturalisasi.
b.      UU dalam arti formil
Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara terjadinya dilakukan secara prosedur dan formal.
Asas hukum tentang berlakunya Undang-undang yaitu:
a)      UU tidak berlaku surut,
b)      Asas lex superior derogat legi inferiori,
c)      Asas lex posteriori derogat legi priori,
d)      Asas lex specialis derogat legi generali.
Analisis ditinjau dari segi Filosofis
Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.
Dlihat dari segi filosofis, Undang-Undang MD3 ini dinilai dapat berupaya sebagai nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan negara dan pemerintahan. Dalam prakteknya, kehadiran lembaga-lembaga negara dalam bentuk lembaga pemerintahan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah pada dasarnya ketiga lembaga tersebut merupakan sebuah contoh nilai-nilai dari demokrasi dalam hidup bernegara dan berpemerintahan, Karena melalui lembaga-lembaga terebut, penerapan dan penyaluran aspirasi rakyat dan daerah berada dalam proses dan tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan diharapkan akan dapat berlangsung dengan baik dalam pemerintahan di Indonesia.
Dalam undang-undang MD3 ini dapat dikatakan bahwa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, Karena pada dasarnya undang-undang MD3 ini dibuat berdasarkan tinjauan dari peraturan-peraturan yang dinilai belum belum lengkap dalam pengaplikasianya di proseduralnya.
Analisis ditinjau dari segi Sosiologis
Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masvarakat. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan "hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.[1]
Jika dilihat dari segi sosiogis, Undang-Undang MD3 ini diperlukan dalam rangka mewujudkan tata kelembagaan negara dan pemerintahan yang mencerminkan aktualisasi prinsip checks and balances dalam pengelolaan kekuasaan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen, mandat pengelolaan kekuasaan Negara secara institusional telah diberikan kepada sejumlah lembaga Negara dan pemerintahan, yang pada domain perwakilan politik berada pada lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat daerah. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu keharusan dan kebutuhan bagi berlangsungnya proses pengelolaan kekuasaan yang akuntabel, terkontrol, dan seimbang, terutama dalam kerangka perwujudan penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang berwatak demokratis, jauh dari watak otoriterian, dan tidak terpusat pada eksekutif, terutama pada Presiden ditingkat nasional serta pada gubernur dan bupati/walikota di tingkat daerah.
Undang-Undang MD3 ini pada dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi juga memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara maksimal dalam tata pengelolaan Negara dan pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan. Realitas social mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan publik senantiasa mengandaikan pentingnya kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik dalam penanganannya. Sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara dan daerah yang bertumpu pada eksekutif, secara factual tidak selalu dapat dijadikan andalan dalam penyelesaian persoalan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara sosiologis, ketidakadilan justeru sering terjadi dalam sistem sosial yang dikelola tanpa perwakilan politik.
Analisis ditinjau dari segi Yuridis
Landasan yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegddheid competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan atau yang disebut landasan yuridis materil. Landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menujukkan:[2]
·         Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
·         Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
·         Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
·         Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu perundang-undangan tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangen dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.
Pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang- undang.
Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang, pembentukan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada pasal-pasal dalam UUD 1945 (HasilAmandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD.
B.     DAMPAK TERHADAP PENERPAN UU MD3
Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi program pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang dipergunakan Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat mungkin terjadi jual beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang mengajukan program. Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat bagi pembangunan bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3 cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan kekuasaan eksekutif.
Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya (memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan APBN), kemudian dijadikan pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif sebagai bargaining position untuk mengakomodir usul program pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat disebut juga sebagai penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen adalah hak untuk memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap rasionalitas APBN yang diajukan pemerintah,[3] bukan karena belum diakomodirnya usulan program pembangunan dari Anggota DPR. Selayaknya, memperjuangkan program pembangunan itu di eksekutif melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional. Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan, sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan. 
Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR
Mengenai imunitas hukum bagi anggota DPR terdapat pada Pasal 224, yang bunyinya:
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku anggota parlemen yang tugas utama berbicara, maka selayaknya tugas berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden / Wakil Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara hukum.
Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal 245:
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
  • tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
  • disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  • Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Inilah yang menjadi permasalahan dan ini bukan terkait dengan imunitas, melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini terdapat perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum “equalitiy before the law”, persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.
Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono,[4] mengatakan kata kuncinya adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
Dengan kata kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada negara atau pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.
Berdasarkan analisa tersebut, UU MD3 memiliki 10 poin penting, yaitu:
a)      DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik,
b)      DPR tidak wajib lagi lapor pengelolaan anggaran keuangan pada publik di laporan kinerja tahunan,
c)      DPR (masih) mempertahankan rapatnya berlangsung tertutup,
d)      Kewenangan MPR ditingkatkan dan anggaran bengkak mainly untuk kepentingan sosialisasi,
e)      Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR yang tidak konsisten (Pasal 84) dan melanggar prinsip keterwakilan,
f)       Dihapusnya ketentuan Keterwakilan Perempuan padahal jumlahnya di DPR turun terus,
g)      Proses penyidikan DPR untuk pidana (tertentu) perlu persetujuan Mahkamah Kehormatan, padahal Mahkamah Kehormatan anggota DPR juga tidak independen & konflik kepentingan,
h)      Butuh 30 hari izin untuk menyidik DPR bisa dipakai untuk menghilangkan bukti atau lari,
i)       Hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat kelengkapan DPR,
j)       DPR bs usul program “pembangunan dapil” tanpa penjelasan yg transparan dan akuntabel.

BAB III
KESIMPULAN
Simpulan
Telah ditetapkan mengenai ketidak berdayaan masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak suaranya yang tentunya melanggr pasal 29 UUD 1945 dituliskan dimana setiap warga negara berhak mengeluarkan pendaptnya baik lisan maupun tulisan dan dilindungi dengan undang-undang. Kami sebenarnya agak kurang sepaham dengan disahkannya uu MD3 yang berkaitan dengan keterwakilan DPR dan penghapusan suara rakyat.
Maka karenannya perlu kajian ulang mengenai pasal-pasal yang berkaitan denngan suara rakyat sebagai tolak ukur di dalam asas pemilu, maka jika suara rakyat tidak di salurkan dengan baik maka akan menimbulkan permasalahn yang berkepanjangan maka dari itu kami berpendapat agar UU MD3 itu bias dikaji ulang di perbaiki dengan memperhantikan kepentigan rakyat dan pula tidak mengesampingkan pemerintah yang berdaulat.
Yang dituju dari UU MD3 adalah perintah kepada negara atau pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Rosjidi, Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Mei, Susanto. 2013. Hak Budget Parlemen Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
http://news.metrotvnews.com/read/2014/07/10/263758/pdip-bakal-ajukan-judicial-review-uu-md3-ke-mk yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016 pukul 19.00
https://meisusanto.com/2014/09/24/warisan-wakil-rakyat-kontroversi-uu-md3-dan-ruu-pilkada/ yang di akses pada hari senin tanggal 14 november 2016 pukul 19.20



[1] Rosjidi, Ranggawidjaja.1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Hal. 44
[2] Ibid
[3] Mei Susanto, Hak Budget Parlemen Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

PLKH PERUNDANG-UNDANGAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay. karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) akhir-akhir ini masih menjadi polemik hangat di tengah masyarakat luas. Tentu saja kita tidak menginginkan polemik ini menyebabkan kegaduhan, ketidaknyamanan, dan rasa saling curiga satu sama lain.
Pergolakan pemikiran antara yang pro dan kontra pun terjadi seputar isu tersebut. Mereka yang pro menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, trangender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual). Sebaliknya, mereka yang kontra menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap gejala LGBT yang akan membahayakan generasi masa depan Indonesia. Oleh sebab itulah, posisi stategis pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk menangani polemik LGBT secara langsung agar tak terjadi disintegrasi bangsa. LGBT dan segala penyimpangan seksualitas adalah sesuatu yang tidak wajar, atau dapat dikatakan keluar dari kodrat aslinya. Yang mana fitrah manusia adalah diciptakan untuk bereproduksi. Dalam pengertian terang seperti ini kita bisa memahami bahwa LGBT bukanlah gejala yang dibuat-buat secara sengaja, melainkan problem kejiwaan.. Dalam Perspektif HAM Mungkin bagi sebagian orang yang pro dengan LGBT menuntut agar pemerintah melegalkan perbuatan tersebut.  
Mereka sering berdalih dengan landasan hak asasi manusia (HAM) sebagai tameng utamanya. Bahkan Indonesia sebagai salah satu negara hukum memberikan jaminan kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 amandemen II, yaitu pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Entah problem kejiwaan/problem sosial atau bukan, kita semua dituntut agar memahaminya dengan baik dan segera dicari solusinya. Sekalipun mereka masih tetap teguh kepada pendirianya untuk melegalkan perbuatan ini. Maka hal yang harus dijadikan basis fundamental dan harus selalu diingat dalam kaitanya penegakkan hak asasi manusia adalah bahwa HAM berbanding lurus dengan kewajibankewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian, setiap individu bebas dan berhak atas haknya masing-masing, namun pada saat yang sama ia harus memperhatikan hak-hak orang lain yang berada di lingkungannya. Dalam hal ini, Peran pemerintah benar-benar sangat diperlukan untuk merumuskan kerangka kode etik sosial. Sehingga dapat ditemukan suatu kejelasan mengenai LGBT ini.
B.     Maksud & Tujuan
Naskah akademis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dasar persoalan d  Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender di Kabupaten Banyumas. Gambaran yang tertulis diharapkan dapat menjadi panduan bagi pengkajian materi rancangan Peraturan Daerah Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender.
Tujuan dibuatnya naskah akademis ini adalah:
1.      Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender.
2.      Memberikan kajian dan kerangka filosofis, sosiologis, dan yuridis serta teknis tentang perlunya Perda Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender di Kabupaten Banyumas.
3.      Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam Rancangan Perda tentang Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender,
4.      Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.
C.    Sistematika
Naskah akademik akan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, yang menggambarkan latar belakang munculnya kebutuhan peraturan daerah ini, yang antara lain memuat tentang kondisi dan permasalahan anak Indonesia secara umum dikaitkan dengan keberadaaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; serta kondisi anak-anak di wilayah Kabupaten Banyumas. Dalam Bab ini juga dipaparkan mengenai maksud dan tujuan dari naskah akademik ini, serta sistematika penyusunan dokumen naskah akademik ini.
Bab II : Telaahan Akademik, yang memaparkan tentang landasan perlunya Perda penyelenggaraan perlindungan anak yang meliputi pengkajian landasan filosofis, landasan yuridis, landasan sosiologis, dan kajian teknis.
Bab III : Materi Muatan Peraturan Daerah, yang memaparkan tentang pokok dan lingkup materi apa yang ada dan harus ada dalam Peraturan Daerah Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender, didalamnya mencakup ketentuan Umum, materi pokok yang akan diatur, serta ketentuan mengenai sanksi, dan ketentuan-ketentuan lain.
Bab IV : Penutup, yang berisi kesimpulan dari keseluruhan naskah akademik dan rekomendasinya.
Lampiran : Berisi Legal Drafting atas Rancangan Perda Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender beserta penjelasannya.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
1.      pengertian
LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay. karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender. Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) akhir-akhir ini masih menjadi polemik hangat di tengah masyarakat luas. Tentu saja kita tidak menginginkan polemik ini menyebabkan kegaduhan, ketidaknyamanan, dan rasa saling curiga satu sama lain.
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa LGBT merupakan sebuah usaha memperjual-belikan kegiatan seks di luar nikah dengan imbalan materi, sedangkan pelacur diartikan sebagai perempuan atau laki-laki yang melakukan kegiatan seks di luar nikah dengan imbalan materi. Dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan penelititian pada pelacur laki-laki atau yang lebih dikenal dengan sebutan gigolo.
2.      Ciri-ciri LGBT
Kartini Kartono (2005: 239) menyatakan ciri-ciri khas dari LGBT ialah sebagai berikut:
a.       Wanita, lawan pelacur adalah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki).
b.      Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria.
c.       Masih muda-muda. 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada 30 tahun. Yang terbanyak adalah 17-25 tahun. Pelacuran kelas rendah dan menengah acap kali memperkerjakan gadis-gadis pra-puber berusia 11-15 tahun, yang ditawarkan sebagai barang baru.
d.      Pakaian sangat menyolok, beraneka warna, sering aneh/eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka itu sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu : wajah, rambut, pakaian, alat kosmetik dan parfum yang merangsang.
e.       Menggunakan teknik seksual yang mekanis, cepat, tidak hadir secara psikis (afwejig, absent minded), tanpa emosi atau afeksi, tidak pernah bisa mencapai orgasme sangat provokatif dalam ber-coitus, dan biasanya dilakukan secara kasar.
f.        Bersifat sangat mobile, kerap berpindah dari tempat/kota yang satu ke tempat/kota lainnya.
g.      Pelacur-pelacur professional dari kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah, sedangkan pelacur-pelacur dari kelas tinggi (high class prostitutes) pada umumnya berpendidikan sekolah lanjutan pertama dan atas, atau lepasan akademi dan perguruan tinggi, yang beroprasi secara amatir atau secara professional.
h.      60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan (feeble minded). Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-batas, yang tidak menentu atau tidak jelas derajat intelegensinya. Pendapat selanjutnya adalah mengenai ciri gigolo yang disampaikan Lindinalva Laurindo da Silva (1999: 41-42). Dalam bukunya Lindinalva menjalaskan bahwa terdapat dua kategori gigolo, yang pertama yang disebut dengan travestis (waria), memiliki ciri bersifat feminim dan lebih menyatakan diri mereka sebagai homoseksual sehingga hanya memberikan layanan seks pada laki-laki lain. Ketegori kedua adalah garcons, yang lebih sering menyebut diri mereka dengan istilah gigolo, memiliki ciri maskulin dan sering tidak mengetahui orientasi seks yang mereka miliki. Perbedaan dari kedua kategori gigolo ini juga dapat dilihat dari tempat mereka melakukan pekerjaan seks, cara mereka melakukan hubungan seks, klien mereka dan cara pembayaran untuk pelayanan seks berada. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri gigolo ada dua macam, pertama adalah gigolo dengan sifat feminim yang dikenal dengan sebutan travestis atau waria dan gigolo yang bersifat maskuli yang sering disebut dengan garcons.

3.      Faktor-faktor Penyebab LGBT
Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Weisberg (Koentjoro, 2004: 53-55) menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran, yaitu:
a. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial.
b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang dimaksud adalah uang.
c. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatic sebagai bagian dari motivasi situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar nikah.
Berbeda dengan pendapat di atas, Greenwald (Koentjoro, 2004: 53) mengemukakan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Sedangkan Supratiknya (1995: 98) berpendapat bahwa secara umum alasan wanita menjadi pelacur adalah demi uang. Alasan lainya adalah wanitawanita yang pada akhirnya harus menjadi pelacur bukan atas kemauannya sendiri, hal ini dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam atau pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi pelacur. Kemudian secara rinci Kartini Kartono (2005: 245) menjelaskan motifmotif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut:
a)      Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
b)      Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
c)      Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
d)      Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
e)      Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya.
f)       Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan banditbandit seks.
g)      Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja, mereka lebih menyukai pola seks bebas.
h)      Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda.
i)       Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
j)       Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
k)      Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambargambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain.
l)       Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
m)   Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin.
n)      Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran.
o)      Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.
p)      Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.
q)      Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacammacam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.
r)       Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.
s)      Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.
t)       Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.
u)      Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.
v)      Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.
4.      Akibat-akibat LGBT
Kartini Kartono (2005: 249) berpendapat mengenai akibat-akibat dari LGBT sebagai berikut:
a.       Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.
b.      Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.
c.       Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adoselensi.
d.      Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin dan lain-lain).
e.       Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.
f.        Adanya pengeksploitasian manusia satu oleh manusia lainnya.
g.      Bisa menyebabkan disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme, satiriasi, dan lain-lain.
Dengan kalimat yang sedikit berbeda Kumar (Koentjoro, 2004: 41) menjelaskan bahwa persoalan yang memojokkan LGBT adalah bahwa LGBT seringkali dianggap membahayakan kepribadian seseorang, memperburuk kehidupan keluarga dan pernikahan, menyebarkan penyakit, dan mengakibatkan disorganisasi sosial. Pelacur acapkali disalahkan karena dianggap sebagai biang keretakan keluarga. Pelacur juga dimusuhi kaum agamawan dan dokter karena peran mereka dalam menurunkan derajat moral dan fisik kaum pria serta menjadi bibit perpecahan anak-anak dari keluarganya (Parker dalam Koentjoro, 2004: 42).
Selanjutnya adalah pendapat mengenai dampak yang akan terjadi pada pelaku pelacuran pria (gigolo). Simon et al. (1999: 88-92) menyatakan bahwa gigolo yang memiliki orientasi seks sebagai homoseksual lebih banyak terjangkit HIV AIDS dibandingkan dengan mereka yang heteroseksual dan biseksual. Pernyataan selanjutnya adalah ditemukannya penggunaan bermacam-macam obat kimia sehubungan dengan masalah kejiwaan sebagai akibat dari perasaan mengenai homoseksualitas yang mereka miliki dan identifikasi orientasi seks yang mereka miliki. Hal ini kemudian berpengaruh pada perasaan obsessive-compulsivity, pribadi yang sensitive (inferiority dan personal inadequacy), depresi dan kecemasaan (anxiety). Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa pelacuran hanya akan membawa dampak negatif bagi pelaku pelacuran, pengguna jasa pelacuran dan masyarakat.
5.      Penanggulangan LGBT
Pelacuran merupakan suatu masalah masyarakat yang dianggap menular dari individu yang satu ke individu yang lain. Menurut Koentjoro (2004: 94) ada tiga cara yang dilakukan oleh penghasut (mucikari) untuk menciptakan dan menyalurkan pelacur-pelacur, yakni:
a)      Cara pasif, yaitu menjadikan mantan LGBT sebagai model sosialisasi. Kehidupan mewah mantan pelacur sengaja ditonjol-tonjolkan oleh penghasut dengan tujuan untuk menbuat cemburu para calon-calon pelacur untuk kemudian tertarik dan mencoba terlibat dalam dunia pelacuran. Jika mantan pelacur yang ijadikan model ini muncul darI komunitas yang memuja kekayaan maka pengaruh mereka akan lebih kuat ketimbang komunitas yang kurang memuja kekayan dan rendah aspirasi meterialnya.
b)      Secara aktif, yaitu mempengaruhi orangtua dan perempuan yang potensial tergoda untuk memasuki pelacuran dengan iming-iming imbalan meteri yang melimpah yang dapat meningkatkan status keberadaan mereka dalam budaya yang memuja kekayaan.
c)      Pengahasut juga aktif menjembatani antara permintaan dan persediaan dengan cara membuka saluran permintaan dan menjaga persediaan. Apa yang dilakukan oleh penghasut dalam hal ini adalah menyediakan pelacur yang dapat diakses secara langsung dan akan membuka peluang bagi pelacur-pelacur baru dari desa untuk dapat disalurkan ke kota. Maka, selain bertindak sebagai penyalur dan pembuka saluran permintaan dan persediaan, penghasut pada akhirnya juga menjadi pencipta permintaan dan penjaga faktor persediaan. Penjelasan di atas membuktikan bahwa banyak cara yang dapat dilakukan oleh penyalur pekerja seks komersial (mucikari) untuk menciptakan pelacur-pelacur baru. Pelacuran sendiri bertentangan dengan hukum di Indonesia, yakni Pancasila terutama sila pertama dan kedua. Seturut dengan hukum ini, Dinas Sosial RI (1984) pun telah menetapkan bahwa pelacuran bertentangan nilai sosial, norma dan moral agama karena merendahkan martabat manusia. Namun, secara resmi aturan hukum dan perundangan tentang pelacuran di Indonesia masih sangat membingungkan. Setiap kota di Indonesia memiliki persepsi dan kebijakan tersendiri mengenai hal ini. Akibatnya, tiap-tiap kota memperlakukan pelacur dengan cara yang berbeda. Mengetahui hal tersebut, maka usaha penanggulangan yang telah ditempuh Departemen Dalam Negeri dan Dinas Sosial menurut Koentjoro (2004: 71) baru hanya terpusat pada penanganan pelacuran di wilayah perkotaan dengan cara mendirikan pusat reisosialisasi dan panti. Reisosialisasi merupakan sebuah sistem kesejahteraan sosial untuk menciptakan keadaan sosial yang lebih baik bagi orang-orang yang menderita masalah sosial (Keputusan Wali Kota Yogyakarta No. 166/KD/1974 dalam Koentjoro 2004: 73) Sedangkan Kartini Kartono (2005: 266) menjelaskan secara garis besar usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat dibagi mejadi dua, yaitu:
Usaha yang bersifat preventif (pencegahan), antara lain dengan:
1)      Penyempurnaan perundang-undang mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran;
2)      Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religious dan norma kesusilaan;
3)      Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasibagi anak-anak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya;
4)      Memperluas lapangan kerja bagi wanita, disasuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya;
5)      Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga;
6)      Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaranpelacur;
7)      Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambargambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks;
8)      Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Tindakan yang bersifat represif dan kuratif, usaha yang dimaksudkan sebagai kegiatan menekan (menghapus, menindas) dan usaha menyembuhkan para pria atau wanita dari ketunasusilaannya untuk membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha ini meliputi:
1)      Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi orang melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitue serta lingkungannya;
2)      Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka dapat dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila;
3)      Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing;
4)      Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tertentu untuk menjamin kesehatan para prostitue dan lingkungannya;
5)      Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila;
6)      Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga pihak pelacur dan masyarakat asal mereka agar mereka mau menerima kembali bekasbekas wanita tunasusila itu mengawali hidup baru;
7)      Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi wanita tunasusila untuk membawa mereka kejalan yang benar;
8)      Mengikutsertakan ex-LGBT dalam usaha transmigrasi, dalam rangka pemerataan penduduk tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi wanita maupun pria.
Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usaha yang dilakukan sebagai upaya penanggulangan terhadap pelacuran dapat ditempuh dengan dua cara yaitu preventif (pencegahan) dengan cara membenahi sistem perundang-undangan dan hukum di Indonesia, memberikan pendidikan kerohanian dan seks, mempeluas lapangan kerja dan mengikutsertakan masyarakt lokal dalam pencegahan dan penyebaran pelacuran. Sedangkan cara kuratif (penyembuhan) yang dapat ditempuh yakni dengan cara mengadakan tempat resosialisasi bagi pelacur baik di kota maupun di desa, penyempurnaan tempat-tempat penampungan pelacur, menambah lapangan kerja baru dan penjaminan mutu kesehatan bagi pelacur oleh pemerintah.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT
Bertentangan dengan KUHP
Tindak pidana LGBT masuk kedalam Tindak Pidana Pelanggaran sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Perda tersebut. Dalam lapangan hukum pidana, mengenai tindak pidana pelanggaran, seorang pelaku harus terlebih dahulu melakukan tindak pidana tersebut sehingga dapat dijatuhi pidana  berupa kurungan ataupun denda. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal 54 telah menyatakan dengan tegas bahwa “Percobaan pelanggaran tidak dapat dipidana”. Sehingga dalam konteks ini, niat dan usaha untuk melakukan pelanggaran saja tidak bisa menjadi unsur dari suatu delik pidana, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan pelanggaran yang nyata sehingga seseorang dapat memenuhi unsur delik. Sedangkan di dalam Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, dalam Pasal 6 ayat (1) dijelaskan bahwa seseorang dapat terkena razia karna sebab  melanggar ketentuan pasal 4  ayat (1) yang bunyinya adalah sebagai berikut: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di  jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung atau tempat tontonan, di sudut-sudut jalan, atau di lorong-lorong jalan, atau  di tempat-tempat lain di Daerah”. Jika ditelaah dengan menggunakan ketentuan dalam KUHP tentang Percobaan Pelanggaran yang dapat dipidana, maka dapat dilihat bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran ini sudah melampaui kewenangan yang ada dalam KUHP, karena seluruh uraian dalam pasal 4 ayat (1) Perda ini pada dasarnya tidak melakukan atau belum melakukan tindak pidana pelanggaran pelacuran. Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa Pasal 4 ayat (1) Perda KotaTangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini, bertentangan dengan KUHP pasal 54 tentang percobaan melakukan pelanggaran yang dapat dipidana.


Bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pelarangan Pelacuran merupakan bagian dari Peraturan Perundang-undangan maka pembentukan Perda harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada umumnya, sehingga apabila Perda tersebut bertentangan dengan UU yang lebih tinggi (KUHP) dan kepentingan umum (terganggunya kerukunan antarwarga), maka secara otomatis Perda tersebut bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena dalam pasal 7 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2004  tersebut menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan  Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan Pengertian “bertentangan dengan kepentingan umum” dalam hal ini adalah kebijakan yang dapat berakibat, terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya ketentraman/ketertiban umum, serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Dalam implementasinya Bertentangan dengan UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Munculnya Perda ini dalam implementasinya telah membawa korban tidak sedikit kaum perempuan, sehingga kaum perempuan di Kota Tangerang merasa trauma atau takut untuk melakukan aktifitas di malam hari, terutama bagi perempuan yang bekerja menjadi buruh pabrik di sekitar kota Tangerang yang mana sering pulang kerja pada malam hari. Padahal saat ini cukup banyak perempuan yang bekerja di sektor industri dan jasa. Dalam penerapan Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini, nampak dengan jelas bahwa akses terhadap keadilan (access to justice) telah diabaikan yakni Perda ini berdampak terhadap ekonomi kaum perempuan yang mana takut terkena razia apabila bekerja pada malam hari dan dalam aplikasinya, hanya kaum perempuanlah yang terkena razia. Oleh karena sebab Perda ini dalam prakteknya lebih mendiskreditkan perempuan dengan kebijakan yang multitafsir yang memakan korban perempuan dan warga Tangerang yang dicurigai pelacur, maka dapat diketahui bahwa Perda Kota Tangerang Nomor 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ini bertentangan dengan UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Karena dalam UU tersebut menjelaskan bahwa semua warga Negara berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintah, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN YURIDIS, LANDASAN EMPIRIS
a.      Landasan Filosofis
Kepedulian atas perkawinan bermakna pada kesungguhan upaya untuk memastikan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Oleh karena itu, adalah hal krusial bagi Kabupaten Banyumas untuk memiliki perangkat peraturan daerah yang bisa memberikan kepastian hukum dan kejelasan tanggung jawab bahwa setiap orang akan terperhatikan kebutuhan kesejahteraannya dan terlindungi, yang pada gilirannya akan mengamankan pencapaian visi Kabupaten Banyumas. Undang-undang Dasar 1945 sendiri memberikan kesempatan besar untuk itu melalui Pasal 18 (Perubahan II, 18 agustus 2000) ayat 5 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah”; dan ayat 6 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
“Masa depan kota dan masyarakat Banyumas sesungguhnya sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah dan warganya saat ini dalam melindungi dan memenuhi hak-hak setiap anak yang hidup di Banyumas” hari ini”.
b.      Landasan Yuridis
Secara yuridis Negara Republik Indonesia telah berusaha untuk memberikan perlindungan tentang hak-hak orang sesuai dengan peraturan perundang undangan sebagai berikut:
1.      Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B Ayat 1;
2.      Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
4.      Kitab Undang Undang Hukum Perdata Bab IV Tentang Perkawinan (tidak berlaku bagi golongan timur asing, hanya berlaku bagi golongan tionghoa).     
Meskipun telah terdapat sederetan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan perkawinan, sebagaimana tersebut di atas, tapi perlindungan anak di Kabupaten Banyumas dalam kenyataannya masih belum memadai. Berdasarkan data-data yang dijumpai di lapangan sebagaimana tersebut di atas di Kabupaten Banyumas masih terdapat Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender.
Kabupaten Banyumas yang telah dicanangkan menjadi sangat memerlukan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas tentang Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender. Untuk melindungi hak-hak yang berkonflik dengan hukum, korban tindak pidana, orang terlantar, korban penyalah gunaan narkotika/ Adapun struktur dan layanan harus dikembangkan meliputi:
1.      Layanan Pencegahan Primer. Kegiatan secara langsung berdampak pada  perubahan sikap dan perilaku sosial melalui advokasi dan kampanye peningkatan kesadaran, memperkuat keterampilan orang tua, promosi alternative bentuk-bentuk penegakan disiplin tanpa kekerasan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk kekerasan.
2.      Layanan Pencegahan sekunder atau layanan intervensi awal. Layanan ini ditujukan kepada keluarga yang teridentifikasi rawan atau beresiko terjadinya perlakuan salah atau penelantaran. Sebagai contoh adalah keluarga yang mengalami perceraian atau mengalami hidup terpisah, keluarga yang memerlukan mediasi atau konseling untuk mengatasi kebiasaan menggunakan narkoba atau alkohol, keluarga yang mengalami kekerasan atau keluarga yang mengalami masalah kesehatan mental sehingga mengalami kesulitan dalam mengasuh anak. Untuk mengatasi hal itu diperlukan penegasan mengenai kewajiban pemerintah dan tanggungjawab masyarakat.
3.      Layanan penanganan masalah. Layanan ini ditujukan kepada orang yang secara nyata telah mengalami kekerasan, ekploitasi, penelantaran dan perlakuan salah, anak yang berhadapan dengan hukum. Kondisi ini membutuhkan intervensi yang berkelanjutan seperti konseling, nasehat, monitoring, serta kewajiban negara untuk melakukan intervensi terhadap kasus tersebut melalui supervisi, layanan dukungan keluarga seperti program pendidikan bagi orang tua, konseling bagi keluarga dan angota keluarga, program terapi penyembuhan, dan atau menyediakan rumah perlindungan sementara bagi anak yang menjadi korban, atau menyediakan pengasuhan alternative melalui putusan resmi dari pengadilan.



c.       Landasan Empiris
Ada dua hal utama disajikan dalam kajian teknis ini. Pertama, mengenai gambaran permasalahan perlindungan anak di Kota Bandung. Kedua, mengenai model penanganan yang disarankan untuk dikembangkan dalam Perda.
  
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI PERDA

1.      Upaya penanganan
a.    Pengembangan kemampuan dan mekanisme di tingkat pemerintah kota dalam membangun kemampuan “masyarakat” Kota Bandung dalam menciptakan kondisi yang dapat mencegah terjadinya masalah perlindungan anak
                                                                                i.            Membangun Kesadaran dan Sikap Masyarakat, yaitu upaya untuk membangun masyarakat kota Bandung menjadi masyarakat yang secara kolektif memiliki kesadaran tinggi dan kesiapan bertindak terhadap masalah perlindungan anak.
                                                                              ii.            Kebijakan, Program, & Mekanisme, bagian ini untuk memastikan adanya konsistensi dan upaya sistematis dalam penyiapan model dan pemenuhan standar layanan perlindungan anak di Kota Bandung
                                                                            iii.            Pengembangan Partisipasi Anak, yaitu upaya untuk meningkatkan kemampuan dan keterlibatan anak dalam pembangunan lingkungan yang lebih mampu melindungi mereka.

b.   Upaya untuk memastikan kesiapan Pemerintah dan masyarakat Kota Bandung dalam melakukan intervensi awal atau deteksi dini, segera dan memberikan perlindungan terhadap anak (dan keluarganya) yang berada dalam situasi beresiko mengalami berbagai bentuk tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
                                                                                i.             Kebijakan, Program, dan Mekanisme, yaitu upaya yang dilakukan secara terencana untuk  menciptakan layanan dan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan aksi perlindungan terhadap anak (dan keluarganya) yang berada dalam situasi beresiko mengalami berbagai bentuk tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.
                                                                              ii.            Peningkatan Kesadaran, yaitu upaya-upaya untuk memastikan adanya langkah yang mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat dan lembaga yang terlibat dalam upaya perlindungan anak
                                                                           iii.             Pelibatan Masyararakat, yaitu upaya untuk melibatkan warga masyarakat dan anak itu sendiri dalam menciptakan lingkungan yang protektif bagi anak.
                                                                            iv.             Kelembagaan/Manajemen, yaitu upaya untuk mensistematisasikan, memperlancar dan memastikan langkah perlindungan anak berjalan sesuai dengan tujuan.
                                                                              v.            Layanan, yaitu jenis dan bentuk layanan yang perlu dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan perlindungan anak di Kota Bandung
                                                                            vi.             Koordinasi, Bagian ini merupakan upaya untuk memastikan setiap aksi perlindungan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat berjalan secara maksimal dan terhindar dari tumpang tindih. Penting untuk secara tegas ditetapkan penugasan kepada lembaga atau team atau badan tersendiri atau komite yang diberi mandat/kewenangan melakukan koordinasi. Contoh pada UU dan perda lainnya yaitu,  UU Sisdiknas/Perda Pendidikan : yang bertanggung jawab adalah Dinas Pendidikan, UU Kesehatan/Perda Kesehatan : yang bertanggung jawab adalah Dinas Kesehatan, UU Adminduk/Perda Adminduk yang bertanggung jawab adalah Dinas Kependudukan dan Capil. Untuk Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak, maka BPPKB selayaknya ditetapkan untuk melakukan fungsi tersebut.

c.    Pengembangan mekanisme ditingkat kota untuk memastikan dilakukannya respon berupa penanganan secara segera  oleh pemerintah kota terhadap setiap anak yang menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran. Penanganan dimulai dari identifikasi, penyelamatan, rehabilitasi dan reintegrasi.
                                                                                i.            Identifikasi dan reporting, yaitu Upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota untuk secara dini mengidentifikasi dan mengenali keberadaan anak-anak yang menjadi korban kekerasan, perlakuan salah, eklpoitasi dan penelantaran.
                                                                              ii.            Penarikan/ Rescue, yaitu Upaya penyelamatan terhadap anak-anak yang berada dalam situsi mendapatkan kekerasan, perlakuan salah, ekploitasi dan penelantaran
                                                                            iii.            Rehabilitasi, yaitu upaya pemerintah kota dalam memastikan setiap anak yang menjadi korban kekerasan, perlakuan salah, ekploitasi dan penelantaran mendapatkan dukungan  rehabilitasi yang mencakup ; rescue (penyelamatan), kesehatan, pendidikan, psiko-sosial, ekonomi, dan legal
                                                                            iv.            Reintegrasi, yaitu berupa dukungan layanan lanjutan pasca rehabilitasi  untuk anak-anak korban kekerasan, perlakuan salah, ekploitasi dan penelantaran untuk memberikan jaminan agar anak bisa diterima/ kembali bersatu dengan  keluarga  dan lingkungannya serta terjamin tumbuh kembangnya dimasa mendatang.
                                                                              v.            Manajemen Layanan, yaitu upaya dalam membangun dan memperkuat sistem layanan, peningkatan koordinasi serta membangun keberpihakan layanan terhadap anak-anak.

A.       KETENTUAN SANKSI
Pada intinya, penguatan atau sanksi yang diterapkan untuk tujuan penegakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini diarahkan untuk merujuk pada ketentuan dalam perundangan terkait yang  berlaku.
Pemerintah kota mengembangkan mekanisme positif atau pemberian penghargaan untuk tujuan penguatan perilaku atau percepatan perbaikan layanan di lingkungan kelembagaan yang ada.

B.       KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat berlakunya peraturan daerah ini, semua ketentuan dalam peraturan daerah lainnya yang berkaitan atau berdampak terhadap kepentingan anak dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan daerah ini.

C.       KETENTUAN PENUTUP
1.      Peraturan daerah ini dilaksanakan oleh organ atau alat kelengkapan di lingkungan pemerintah kota Bandung yang terkait dengan layanan atau kegiatan yang diatur dalam Perda ini.
2.      Peraturan daerah ini disebut Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak Kota Bandung
3.      Pada saat berlakunya peraturan daerah ini, selambatnya 6 bulan pemerintah kota Bandung harus sudah menerbitkan peraturan walikota sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan daerah ini.
4.      Peraturan daerah ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
BAB VI
PENUTUP
Sebagai kota metropolitan yang terbuka dan terus berkembang dengan pesat, kota kabubaten banyumas tak lepas dari ekses perkembangan berbagai masalah sosial. Komplikasi dari berbagai situasi masalah sosial tersebut kemudian antara lain berdampak terhadap kehidupan LGBT di banyumas. Saat ini, sebagaimana dipaparkan dalam berbagai kajian di atas, kasus-kasus berbagai jenis masalah cenderung meningkat secara kuantitas maupun kualitasnya.
Jika tak direspon segera secara bijak, dikhawatirkan dalam jangka panjang akan berdampak buruk terhadap keberhasilan pembangunan peradaban kota sebagaimana dicita-citakan dalam Visi kota Bandung, yang pada dasarnya adalah cita-cita pembangunan masyarakat yang berupaya menempatkan kesejahteraan, martabat, dan nilai-nilai kemanusiaan pada level tertinggi.
Dan komitmen Pemerintah Kota untuk memberikan prioritas tinggi pada kesejahteraan dan perlindungan anak adalah keputusan yang bernilai strategis dan investasi jangka panjang terpenting untuk pencapaian dan kelanggengan kondisi sebagaimana digambarkan dari visi tersebut. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah menterjemahkan komitmen tersebut menjadi suatu sistem penyelenggaraan perlindungan anak melalui upaya yang terencana, sistematis, dan terukur. Sudah saatnya disusun suatu acuan normatif yang dapat menjadi panduan dalam mengintegrasikan seluruh sumber daya pemerintah dan masyarakat, sehingga penyelenggaraan perlindungan anak di kota Bandung dapat segera beralih dari cara-cara yang responsif, sporadis, diskontinu, dan fragmental menjadi cara-cara yang lebih sistemik yang memberikan bobot besar pada upaya pencegahan dan layanan integratif.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A.M.Fatwa, 2009. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : PT.Gramedia.
Charles Simabura, 2011. Parlemen Indonesia Lintas Sejarah Dan Sistemnya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie, 2010. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,  Jakarta  : Sinar Grafika.
King Faisal Sulaiman, 2014. Dialektika Pengujian Pertaruran Daerah Pasca Otonomi Daerah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Moh.Mahfud MD. 2010. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi.  Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Munir Fuady, 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung  :  PT Refika Aditama.
Mukti Fajar. Yulianto Achmad,  2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ni’matul Huda, 2012, Hukum Pemerintahan Derah,  Bandung  : Nusamedia.
Sarman. Mohammad Taufik Makarao,  2011.Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia,  Jakarata : Rineka Cipta.
Sefti Nur Wijayanti. Iwan Satriawan, 2009. Hukum Tata Negara Teori & Prakteknya Di Indonesia,  Yogyakarta  : Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Data dikumpulkan Lingkar Perlindungan Anak dan BPPKB Kota Bandung tahun 2011
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 15 Tahun 1954 Tentang Penutupan Rumah-rumah Pelacuran
Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2007 Tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 20 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Pemebentukan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantul
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bantul No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bantul

Internet

http://www.sumbarprov.go.id/detail_artikel.php? id=1158.Diunduh 12/09/2016 jam 11.00 Wib