Saturday, 15 October 2016

MAKALAH METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM


PEMENUHAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PEKERJA MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kajian pemenuhan pengawasan perlindungan ketenagakerjaan terhadap pekerja, hal mana untuk menjamin hak-hak dasar pekerja menjamin kesamaan atau kesetaraan kesempatan kerja diskriminasi atas dasar apapun juga guna mewujudkan kesejahteraan pekerja baik terhadap pengawasan perlindungan atas jaminan dari pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, merupakan hak normatif bagi pekerja laki-laki dan perempuan adalah tanpa melihat pada pekerja apakah perempuan atau laki-laki.

Hukum ketenagakerjaan berfungsi melindungi kepentingan pekerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak pemberi kerja, dengan terpenuhinya hak dan kewajiban kedua pihak, berarti telah memenuhi apa yang sudah disepakati bersama atau yang telah diperjanjikan.
Jaminan perlindungan hukum bagi pekerja untuk mendapatkan hak-hak normatif dalam arti penghidupan yang layak bagi diri dan keluarganya adalah terwujudnya pengaturan hak-hak normatif bagi pekerja yang adil, sehingga dengan demikian untuk mencegah terjadinya standar hak-hak normatif yang tidak adil, perlu adanya peraturan perundang-undangan hak-hak normatif pekerja (penegakan hukum).
Selanjutnya untuk mengawasi terhadap perlindungan ketenagakerjaan yang tertuang dalam Peraturan Perundang Undangan yang tentunya terkait dengan ketenagakerjaan pada khususnya, maka pemerintah melihat perlu membentuk peraturan perundang-undangan tentang Pengawasan Pekerja; Perusahaan atau  Pengusaha dan Organisasi Pekerja atau Organisasi Pengusaha.
Pada pengawasan perlindungan ketenagakerjaan Pemerintah perlu mengetahui soal-soal hubungan kerja dan kondisi dari ketenagakerjaan pada suatu perusahaan guna melakukan pengawasan secara komprehensif.
Pemerintah dapat melakukan pengawasan perlindungan ketenagakerjaan terhadap perusahaan maupun pekerja dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau terkait pada ketenagakerjaan.
Pemahaman pengawasan ketenagakerjaan adalah fungsi publik dari administrasi ketenagakerjaan yang memastikan penerapan perundang-undangan ketenagakerjaan di tempat kerja. Peran utamanya adalah untuk meyakinkan mitra sosial atas kebutuhan untuk mematuhi undang-undang di tempat kerja dan kepentingan bersama mereka terkait dengan hal ini, melalui langkah-langkah pencegahan dan edukasi, dan jika diperlukan penegakan hukum.[1]
Dunia usaha atau dunia kerja, pengawasan ketenagakerjaan adalah instrumen yang paling penting dari kehadiran negara dan intervensi untuk merancang, merangsang, dan berkontribusi kepada pembangunan budaya pencegahan yang mencakup semua aspek yang secara potensial berada di bawah pengawasannya: hubungan industrial, upah terkait dengan kondisi kerja secara umum, keselamatan dan kesehatan kerja, dan isu-isu yang terkait dengan ketenagakerjaan dan jaminan sosial.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan bahwa Penga­wasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[2]
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.[3]
Pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemenuhan pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagaker­jaan kepada Menteri.[4]
Pada kenyataannya, usaha yang telah dilakukan dalam rangka perlindungan itu belum berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus unjuk rasa, pemogokan yang dilakukan pekerja yang bertujuau untuk peningkatan kesejahteraan, namun ada kasus unjuk rasa, pemogokan tersebut yang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja yang berakibat memperpanjang barisan pengangguran.[5]
Semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada tidak lain dimaksudkan untuk melindungi pekerja sebagai pihak yang posisinya lemah daripada pengusaha, untuk meningkatkan taraf hidup pekerja dan keluarganya, untuk mencegah terjadinya kemerosotan penghasilan dan daya beli masyarakat khususnya pekerja serta melindungi pekerja dan keluarganya dari kehilangan pekerjaan atau berkurangnya penghasilan akibat terjadinya kecelakaan kerja atau meninggal.[6]
Namun, seperti telah dikemukakan sebelumnya meskipun telah ada aturan yang menjadi tuntunan dalam hubungan industrial belumlah memperoleh hasil sebagaimana diinginkan baik oleh pekerja sendiri maupun pemerintah. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Hak pekerja tersebut dapat terwujud secara efektif apabila diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Para pekerja sebagai pemegang hak-hak dapat menikmati hak-hak mereka tanpa ada hambatan dan gangguan dari pihak manapun.
2.      Para pekerja selaku pemegang hak tersebut dapat melakukan tuntutan melalui prosedur hukum. Dengan kata lain, bila ada pihak-pihak yang mengganggu, menghambat atau tidak melaksanakan hak tersebut, pekerja dapat menuntut melalui prosedur hukum yang ada untuk merealisasi hak dimaksud.[7]
Dengan demikian peran pemerintah melalui kebijakan/pengawasan perlindungan terhadap hak-hak dasar atau hak normatif pekerja terutama dan perlindungan ketenagakerjaan tetap dapat dijamin untuk menjaga keharmonisan hubungan kerja antara pekerja dan majikan atau pengusaha khususnya menjamin standar hidup yang layak bagi pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas perusahaan dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka penulis hendak mengkaji dan meneliti secara mendalam yang dituangkan dalam bentuk Proposal Penelitian ini berjudul “Pemenuhan Pengawasan Perlindungan Ketenagakerjaan Terhadap Hak dan Kewajiban Pekerja Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003.

B.     Perumusan masalah
Memperhatikan paparan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah antara lain sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemenuhan hak perlindungan pekerja terhadap pengawasan ketenagakerjaan menurut UU No. 13 Tahun 2003?
2.      Bagaimana pemenuhan kewajiban pekerja terhadap pengawasan ketenagakerjaan menurut UU No. 13 Tahun 2003?

C.    Tujuan penelitian
Tujuan penulisan karya ilmiah yang berbentuk proposal penelitian normatif ini antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pemenuhan hak perlindungan pekerja terhadap pengawasan ketenagakerjaan menurut UU No. 13 Tahun 2003.
2.      Untuk mengetahui dan memahami pemenuhan kewajiban pekerja terhadap pengawasan ketenagakerjaan menurut UU No. 13 Tahun 2003.

D.    Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan dari penulisan proposal penelitian normatif ini antara lain sebagai berikut:
1.      Kegunaan secara teoritis
a.       Diharapkan mampu memberikan kajian akademik pada ilmu hukum khususnya bidang hukum ketenagakerjaan.
b.      Sangat diharapkan dapat memberikan pencerahan dan pemahaman kepada akademisi yang sedang dan telah selesai studi mendalami ilmu hukum.
2.      Kegunaan secara praktis
a.       Sangat diharapkan dapat mendorong pengusaha ataupun perusahaan guna memenuhi hak dan kewajiban menurut peraturan perundang-undangan sebagai pemberi kerja.
b.      Sangat diharapkan kepada pemerintah guna meningkatkan bidang pengawasan, perlindungan ketenagakerjaan kepada pelaku usaha (pengusaha) dan pekerja yang keduanya dituntut saling memenuhi Hak dan Kewajibannya.
c.       Diharapkan mampu mendorong kepada praktisi hukum pada pemenuhan pengawasan perlindungan ketenagakerjaan terhadap hak dan kewajiban.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian, Peristilahan Ketenagakerjaan
Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 1 sampai dengan 33 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan pengertian, istilah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut:[8]
1.      Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2.      Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3.      Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4.      Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5.      Pengusaha adalah:
a.       Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.       Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6.      Perusahaan adalah:
a.       Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.      Usaha-usaha  sosial  dan  usaha-usaha  lain  yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7.      Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8.      Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9.      Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10.  Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11.  Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12.  Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan un¬tuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13.  Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14.  Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15.  Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16.  Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17.  Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18.  Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja atau buruh.
19.  Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja atau serikat buruh, dan pemerintah.
20.  Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21.  Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22.  Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23.  Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24.  Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pen¬gusaha untuk menolak pekerja seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25.  Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
26.  Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27.  Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai den¬gan pukul 18.00.
28.  1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29.  Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30.  Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31.  Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32.  Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33.  Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Kesempatan kerja (employment) adalah, banyaknya orang yang bekerja pada suatu lapangan pekerjaan. Kesempatan ini biasanya digunakan sebagai menggambarkan besarnya permintaan tenaga kerja dari perusahaan yang memerlukan tenaga kerja, yang lebih dikenal dengan sebutan labour demand, yakni banyak tenaga kerja yang dapat terserap dalam pasar tenaga kerja.[9]
Bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara berkelanjutan dalam seminggu yang lalu termasuk pekerjaan keluarga tanpa upah yang membantu suatu usaha/kegiatan ekonomi.[10]
Pemerintah adalah pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah Sulawesi Utara. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[11]
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang sama atau wajar dilalui.[12]
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.[13]
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara. Produsen adalah yang menghasilkan barang-barang.
Tunjangan adalah suatu imbalan yang diterima oleh pekerja jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi kerja tertentu.
Istilah pengusaha secara umum menunjukkan tiap orang yang melakukan suatu usaha (enterpreneur). Seorang majikan adalah seorang pengusaha dalam hubungannya dengan pekerja. Dalam hal tertentu dapat kata pengusaha berarti majikan, misalnya pekerja A mengatakan: “Tuan B itu adalah pengusaha saya”.

B.     Pengawasan Perlindungan Ketenagakerjaan Terhadap Hak Pekerja
Pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan terhadap pekerja hal ini dapat dilihat pada UU No. 13 Tahun 2003 pasal berikut ini:
Pasal 173
(1). Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), da mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja, dan organisasi profesi terkait.
(3). Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja, organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 175
(1). Pemerintah dapat memberikan penghargaan orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2). Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan bentuk lainnya.
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1). Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2). Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1). Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepadaMenteri.
(2). Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
a.       Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b.      Tidak menyalahgunakan kewenangannya
Pemenuhan pengawasan perlindungan ketenagakerjaan terhadap hak pekerja hal ini terlihat keseriusan pemerintah menjalankan tugasnya terlihat pada: Berperannya hukum secara konstitusional dalam pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 yang diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur, baik material maupun spiritual. Dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan warganya, negara Indonesia menekankan kepada terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Ini berarti negara Indonesia bertekad untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya bagi sekelompok atau sebagian masyarakat tertentu saja.[14]
Indonesia sebagai negara penganut tipe kesejahteraan dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara (sila kelima) adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti salah satu tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kedua, dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV) dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pernyataan ini merupakan penjabaran dari kesejahteraan yang akan diwujudkan bangsa Indonesia.[15]
Ketiga, dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut:
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
(3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[16]
Keempat, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini bukan saja kehidupan yang layak tetapi untuk menghidupi si pekerja dan keluarganya.[17]
Kemudian Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Untuk memenuhi kebutuhan layak bagi kaum buruh yang tidak mudah diberikan oleh kaum pengusaha, maka kadang-kadang kaum buruh melakukan tuntutan yang disertai dengan aksi-aksi mogok. “Sebagai fundamen dasar kenegaraan seharusnya konstitusi atau UUD 1945 mampu menjadi pijakan untuk negara menjalankan kenegaraan, dari mampu memberikan perlindungan hukum kepada rakyatnya”.[18]
Ternyata masih jauh dan tugas utama tersebut terbukti semua perubahan atas UUD 1945 hingga empat kali yang dilakukan oleh MPR pascagerakan reformasi 1999-2002, hal ini dapat dibuktikan sampai sekarang belum memberikan hasil nyata pada kesejahteraan rakyat pada umumnya apalagi kesejahteraan masyarakat perburuhan pada khususnya, oleh karena itu perlu amandemen secara menyeluruh.[19]
Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 99 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selanjutnya, untuk mewujudkan penghasilan yang layak pemerintah menetapkan perlindungan pengupahan bagi buruh ayat (2). Perlindungan penghasilan atau pengupahan bagi buruh meliputi sebagai berikut (ayat 3) yaitu:
a.       Upah minimum
b.      Upah kerja lembur
c.       Upah/penghasilan tidak masuk kerja karena berhalangan/sakit
d.      Upah/penghasilan tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan di luar pekerjaannya
e.       Upah/penghasilan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.
Bentuk dan cara pembayaran upah, potongan penghasilan dan hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan penghasilan dan jaminan sosial, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, penghasilan untuk pembayaran pesangon, dan penghasilan untuk perhitungan pajak penghasilan. Pemerintah menetapkan penghasilan minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak.
Upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundangan dan dibayar atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk pekerja atau buruh sendiri maupun keluarganya.[20]
Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.[21]
Upah Minimum Regional adalah upah pokok terendah termasuk tunjangan tetap yang diterima oleh pekerja/buruh di wilayah tertentu dalam suatu propinsi.[22]
Upah/gaji bersih adalah penerimaan pekerja/karyawan berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan tersebut. Penerimaan dalam bentuk barang dinilai dengan harga setempat, penerimaan bersih adalah, setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran, pajak penghasilan dan lain-lain.
Upah/gaji pokok minimum adalah, penerimaan pekerja/karyawan berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan tersebut (upah/gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap), guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam unit usaha/kegiatan dalam melakukan pekerjaan.

BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal penelitian ini adalah menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Pada penelitian hukum, Peter Mahmud mengatakan dalam pengantar bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum”, 2006 sebagai berikut:
“Penelitian hukum yang dalam bahasa Inggris legal research atau bahasa Belanda Rechtssonderzach bukan merupakan penelitian sosial. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian hukum berbeda dengan penelitian sosial”.[23]
Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan, penelitian hukum dapat menggunakan berbagai metode serta melibatkan pendekatan naturalistik dan interpretatif terhadap subjek Persoalannya.[24]
Abdullah Sulaiman mengatakan: penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan (yurisprudensi) serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat.[25]

B.     Spesifikasi Penelitian
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menjelaskan bahwa:
“Penelitian normatif mencakup asas-asas hukum, sistematika hukum, penelitian terhadap penerapan hukum baik yang berjalan secara operasional oleh instansi maupun dalam hal proses penyelesaian hukum dalam praktik untuk kemudian dilakukan penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horisontal dengan pokok pada ilmu hukum.”
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif disertai dengan pendekatan historis hukum dan pendekatan empiris.[26]

C.    Sumber Bahan Hukum
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menganalisis secara mendalam dan holistik, yaitu dari segala segi (komprehensif)[27] tentang ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, UU Pengawasan Keselamatan Kerja, dan lain-lainnya.

D.    Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penelitian ini mengandung beberapa aspek antara lain metode pendekatan yang digunakan yakni: metode pengumpulan data-data atau bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan, buku-buku, artikel, jurnal, brosur, majalah, yurisprudensi dan berupa putusan-putusan pengadilan, mengacu pada norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.

E.     Metode Pengolahan Bahan Hukum
Adapun sifat holistik di atas menjadikan salah satu aspek pendekatan kualitatif, di mana penelitian ini lebih mendalam lagi terhadap pendekatan kualitatif, menekankan pada proses dan makna dari perilaku yang diteliti, serta melihat apa yang terjadi dalam area penelitian. Dengan demikian alasan-alasan penggunaan metode ini disebabkan mampu memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang memfokuskan penyebab kendala-kendala dalam perlindungan hukum pekerja, bagaimana solusinya, selanjutnya sebagai barometer atau pengukur ataupun analisis terhadap hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan serta pemerintah sebagai pengawas, hal ini menjadi ciri dari penelitian kualitatif.

F.     Metode Analisis
Pada penelitian ini, hukum ketenagakerjaan berfungsi melindungi kepentingan pekerja perusahaan, dimana pekerja merupakan hak dasar pekerja dalam hubungan kerja yang dilindungi dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (tugas pemerintah).
Penelitian ini dipusatkan pada instansi yang terkait (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan beberapa perusahaan serta pekerja yang diwawancarai sebagai sampel), dan difokuskan pada perlindungan hukum hak normatif pekerja, selanjutnya setelah data-data atau bahan-bahan hukum dan hasil wawancara terkumpul dan dipilah sesuai dengan kebutuhan, maka dilakukan analisis sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan sementara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hasilnya diharapkan berguna untuk mempermudah dalam pemaparan pembahasan pada bab berikutnya, sebagai upaya dapat menjawab atau memecahkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asyhadie Zaenal, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 2000.

Sumber-sumber Lain:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981, tentang Perlindungan Upah




[1] Giuseppe Casale, Pengawasan Ketenagakerjaan, Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hal. 91
[2] Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, TLN Republik Indonesia Nomor 4279), Pasal 1 Angka 32)
[3] Op-cit, HR. Abdussalam dan Adri desasfuryanto, Hal  340
[4] Ibid, Hal 341
[5] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 15
[6] Sulaiman, Upah di Indonesia, YPPSDM, Jakarta, 2003, hal. 83
[7] Sulaiman, Ibid, hal. 84
[8] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
[9] Imam Soepamo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 73
[10] Ibid, Hal 74.
[11] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[12] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
[13] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ibid
[14] Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Op Cit, hal. 17
[15] Ibid, hal. 18
[16] Undang-Undang Dasar 1945
[17] Jimly Asshiddiqe, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, Yastif Watampone, Jakarta, 2003, hal. 62
[18] Ibid
[19] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,Tambahan Lembaran Negara RI No. 3702
[20] Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981, tentang Perlindungan Upah
[21] Departemen Tenaga Kerja, Peranan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum
[22] Departemen Tenaga Kerja, Peranan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Regional
[23] Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Grafindo Group, Jakarta, 2006, hal. v
[24] Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dan Pembangunan, UI Press Yogyakarta, 1997, hal. 30
[25] Abdullah Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum, PPSDM, Jakarta, 2012, hal. 25
[26] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, hal. 18
[27] Abdullah Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum, PPSDM, Jakarta, 2012, hal. 25