PEMENUHAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN PEKERJA MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kajian pemenuhan pengawasan perlindungan
ketenagakerjaan terhadap pekerja, hal mana untuk menjamin hak-hak dasar pekerja
menjamin kesamaan atau kesetaraan kesempatan kerja diskriminasi atas dasar
apapun juga guna mewujudkan kesejahteraan pekerja baik terhadap pengawasan
perlindungan atas jaminan dari pekerja laki-laki dan pekerja perempuan,
merupakan hak normatif bagi pekerja laki-laki dan perempuan adalah tanpa
melihat pada pekerja apakah perempuan atau laki-laki.
Hukum ketenagakerjaan berfungsi melindungi
kepentingan pekerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak pemberi
kerja, dengan terpenuhinya hak dan kewajiban kedua pihak, berarti telah
memenuhi apa yang sudah disepakati bersama atau yang telah diperjanjikan.
Jaminan perlindungan hukum bagi pekerja untuk
mendapatkan hak-hak normatif dalam arti penghidupan yang layak bagi diri dan
keluarganya adalah terwujudnya pengaturan hak-hak normatif bagi pekerja yang
adil, sehingga dengan demikian untuk mencegah terjadinya standar hak-hak
normatif yang tidak adil, perlu adanya peraturan perundang-undangan hak-hak normatif
pekerja (penegakan hukum).
Selanjutnya untuk mengawasi terhadap perlindungan
ketenagakerjaan yang tertuang dalam Peraturan Perundang Undangan yang tentunya
terkait dengan ketenagakerjaan pada khususnya, maka pemerintah melihat perlu
membentuk peraturan perundang-undangan tentang Pengawasan Pekerja; Perusahaan
atau Pengusaha dan Organisasi Pekerja
atau Organisasi Pengusaha.
Pada pengawasan perlindungan ketenagakerjaan
Pemerintah perlu mengetahui soal-soal hubungan kerja dan kondisi dari
ketenagakerjaan pada suatu perusahaan guna melakukan pengawasan secara
komprehensif.
Pemerintah dapat melakukan pengawasan perlindungan
ketenagakerjaan terhadap perusahaan maupun pekerja dengan menerapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau terkait pada ketenagakerjaan.
Pemahaman pengawasan ketenagakerjaan adalah fungsi
publik dari administrasi ketenagakerjaan yang memastikan penerapan
perundang-undangan ketenagakerjaan di tempat kerja. Peran utamanya adalah untuk
meyakinkan mitra sosial atas kebutuhan untuk mematuhi undang-undang di tempat
kerja dan kepentingan bersama mereka terkait dengan hal ini, melalui
langkah-langkah pencegahan dan edukasi, dan jika diperlukan penegakan hukum.[1]
Dunia usaha atau dunia kerja, pengawasan
ketenagakerjaan adalah instrumen yang paling penting dari kehadiran negara dan
intervensi untuk merancang, merangsang, dan berkontribusi kepada pembangunan
budaya pencegahan yang mencakup semua aspek yang secara potensial berada di
bawah pengawasannya: hubungan industrial, upah terkait dengan kondisi kerja
secara umum, keselamatan dan kesehatan kerja, dan isu-isu yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan jaminan sosial.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan bahwa
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[2]
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.[3]
Pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemenuhan pengawasan ketenagakerjaan
dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Unit kerja pengawasan
ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau
kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri.[4]
Pada kenyataannya, usaha yang telah dilakukan dalam
rangka perlindungan itu belum berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini
terbukti dengan banyaknya kasus unjuk rasa, pemogokan yang dilakukan pekerja
yang bertujuau untuk peningkatan kesejahteraan, namun ada kasus unjuk rasa,
pemogokan tersebut yang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja yang berakibat
memperpanjang barisan pengangguran.[5]
Semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada
tidak lain dimaksudkan untuk melindungi pekerja sebagai pihak yang posisinya
lemah daripada pengusaha, untuk meningkatkan taraf hidup pekerja dan
keluarganya, untuk mencegah terjadinya kemerosotan penghasilan dan daya beli
masyarakat khususnya pekerja serta melindungi pekerja dan keluarganya dari
kehilangan pekerjaan atau berkurangnya penghasilan akibat terjadinya kecelakaan
kerja atau meninggal.[6]
Namun, seperti telah dikemukakan sebelumnya meskipun
telah ada aturan yang menjadi tuntunan dalam hubungan industrial belumlah
memperoleh hasil sebagaimana diinginkan baik oleh pekerja sendiri maupun
pemerintah. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Hak pekerja tersebut dapat terwujud secara efektif apabila
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Para
pekerja sebagai pemegang hak-hak dapat menikmati hak-hak mereka tanpa ada
hambatan dan gangguan dari pihak manapun.
2.
Para
pekerja selaku pemegang hak tersebut dapat melakukan tuntutan melalui prosedur
hukum. Dengan kata lain, bila ada pihak-pihak yang mengganggu, menghambat atau
tidak melaksanakan hak tersebut, pekerja dapat menuntut melalui prosedur hukum
yang ada untuk merealisasi hak dimaksud.[7]
Dengan demikian peran pemerintah melalui
kebijakan/pengawasan perlindungan terhadap hak-hak dasar atau hak normatif
pekerja terutama dan perlindungan ketenagakerjaan tetap dapat dijamin untuk
menjaga keharmonisan hubungan kerja antara pekerja dan majikan atau pengusaha
khususnya menjamin standar hidup yang layak bagi pekerja dan keluarganya,
meningkatkan produktivitas perusahaan dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka penulis
hendak mengkaji dan meneliti secara mendalam yang dituangkan dalam bentuk
Proposal Penelitian ini berjudul “Pemenuhan Pengawasan Perlindungan
Ketenagakerjaan Terhadap Hak dan Kewajiban Pekerja Menurut Undang Undang Nomor
13 Tahun 2003.”
B. Perumusan
masalah
Memperhatikan paparan latar belakang masalah
tersebut di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah antara lain
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pemenuhan hak perlindungan pekerja terhadap pengawasan ketenagakerjaan menurut
UU No. 13 Tahun 2003?
2.
Bagaimana
pemenuhan kewajiban pekerja terhadap pengawasan ketenagakerjaan menurut UU No.
13 Tahun 2003?
C. Tujuan
penelitian
Tujuan penulisan karya ilmiah yang berbentuk
proposal penelitian normatif ini antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pemenuhan hak perlindungan pekerja terhadap pengawasan
ketenagakerjaan menurut UU No. 13 Tahun 2003.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami pemenuhan kewajiban pekerja terhadap pengawasan
ketenagakerjaan menurut UU No. 13 Tahun 2003.
D. Kegunaan
Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan dari penulisan proposal
penelitian normatif ini antara lain sebagai berikut:
1.
Kegunaan
secara teoritis
a.
Diharapkan
mampu memberikan kajian akademik pada ilmu hukum khususnya bidang hukum
ketenagakerjaan.
b.
Sangat
diharapkan dapat memberikan pencerahan dan pemahaman kepada akademisi yang
sedang dan telah selesai studi mendalami ilmu hukum.
2.
Kegunaan
secara praktis
a.
Sangat
diharapkan dapat mendorong pengusaha ataupun perusahaan guna memenuhi hak dan
kewajiban menurut peraturan perundang-undangan sebagai pemberi kerja.
b.
Sangat
diharapkan kepada pemerintah guna meningkatkan bidang pengawasan, perlindungan
ketenagakerjaan kepada pelaku usaha (pengusaha) dan pekerja yang keduanya
dituntut saling memenuhi Hak dan Kewajibannya.
c.
Diharapkan
mampu mendorong kepada praktisi hukum pada pemenuhan pengawasan perlindungan
ketenagakerjaan terhadap hak dan kewajiban.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian,
Peristilahan Ketenagakerjaan
Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 1 sampai dengan 33 UU
No. 13 Tahun 2003 menyebutkan pengertian, istilah yang berkenaan dengan
ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut:[8]
1.
Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.
2.
Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
3.
Pekerja
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
4.
Pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5.
Pengusaha
adalah:
a.
Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri;
b.
Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
6.
Perusahaan
adalah:
a.
Setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.
Usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7.
Perencanaan
tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis
yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8.
Informasi
ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk
angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan
makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9.
Pelatihan
kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos
kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap
individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang
sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur
atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang
dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian
tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan
un¬tuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja
dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya,
dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja
atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa
yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi
yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi
dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di
satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau
serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
atau unsur pekerja atau buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum
komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja atau serikat
buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat
secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua
belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang
direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat
pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan
pen¬gusaha untuk menolak pekerja seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan
pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai
den¬gan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh
empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi
dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Kesempatan kerja (employment) adalah, banyaknya
orang yang bekerja pada suatu lapangan pekerjaan. Kesempatan ini biasanya
digunakan sebagai menggambarkan besarnya permintaan tenaga kerja dari
perusahaan yang memerlukan tenaga kerja, yang lebih dikenal dengan sebutan
labour demand, yakni banyak tenaga kerja yang dapat terserap dalam pasar tenaga
kerja.[9]
Bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan
dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan
dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara berkelanjutan dalam seminggu
yang lalu termasuk pekerjaan keluarga tanpa upah yang membantu suatu
usaha/kegiatan ekonomi.[10]
Pemerintah adalah pemerintah Pusat dan/atau
pemerintah daerah Sulawesi Utara. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[11]
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi
berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan
kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari
rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang sama atau wajar
dilalui.[12]
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat
pekerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.[13]
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan
hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan
atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara. Produsen adalah yang menghasilkan barang-barang.
Tunjangan adalah suatu imbalan yang diterima oleh
pekerja jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak dikaitkan dengan kehadiran
ataupun pencapaian prestasi kerja tertentu.
Istilah pengusaha secara umum menunjukkan tiap orang
yang melakukan suatu usaha (enterpreneur). Seorang majikan adalah seorang
pengusaha dalam hubungannya dengan pekerja. Dalam hal tertentu dapat kata pengusaha
berarti majikan, misalnya pekerja A mengatakan: “Tuan B itu adalah pengusaha
saya”.
B. Pengawasan
Perlindungan Ketenagakerjaan Terhadap Hak Pekerja
Pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan terhadap
pekerja hal ini dapat dilihat pada UU No. 13 Tahun 2003 pasal berikut ini:
Pasal 173
(1). Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-dan
kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2). Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), da
mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja, dan organisasi profesi
terkait.
(3). Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat pekerja, organisasi profesi terkait dapat melakukan
kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 175
(1). Pemerintah dapat memberikan penghargaan orang atau
lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2). Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan bentuk lainnya.
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1). Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit
kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
(2). Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1). Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan
kepadaMenteri.
(2). Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan
kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan
tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
a.
Merahasiakan
segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b.
Tidak
menyalahgunakan kewenangannya
Pemenuhan pengawasan perlindungan ketenagakerjaan
terhadap hak pekerja hal ini terlihat keseriusan pemerintah menjalankan
tugasnya terlihat pada: Berperannya hukum secara konstitusional dalam
pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945
yang diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, kemampuan manusia, serta
kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur, baik material maupun spiritual. Dalam mewujudkan kesejahteraan
kehidupan warganya, negara Indonesia menekankan kepada terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur secara merata. Ini berarti negara Indonesia bertekad untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya bagi
sekelompok atau sebagian masyarakat tertentu saja.[14]
Indonesia sebagai negara penganut tipe kesejahteraan
dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, salah satu sila dari Pancasila sebagai
dasar falsafah negara (sila kelima) adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ini berarti salah satu tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan
lahir dan batin yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kedua, dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea IV)
dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Pernyataan ini merupakan penjabaran dari kesejahteraan yang akan
diwujudkan bangsa Indonesia.[15]
Ketiga, dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945
dinyatakan sebagai berikut:
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
(3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.[16]
Keempat, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasal ini bukan saja kehidupan yang layak tetapi untuk menghidupi
si pekerja dan keluarganya.[17]
Kemudian Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap
orang untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Untuk
memenuhi kebutuhan layak bagi kaum buruh yang tidak mudah diberikan oleh kaum
pengusaha, maka kadang-kadang kaum buruh melakukan tuntutan yang disertai
dengan aksi-aksi mogok. “Sebagai fundamen dasar kenegaraan seharusnya
konstitusi atau UUD 1945 mampu menjadi pijakan untuk negara menjalankan
kenegaraan, dari mampu memberikan perlindungan hukum kepada rakyatnya”.[18]
Ternyata masih jauh dan tugas utama tersebut
terbukti semua perubahan atas UUD 1945 hingga empat kali yang dilakukan oleh
MPR pascagerakan reformasi 1999-2002, hal ini dapat dibuktikan sampai sekarang
belum memberikan hasil nyata pada kesejahteraan rakyat pada umumnya apalagi
kesejahteraan masyarakat perburuhan pada khususnya, oleh karena itu perlu amandemen
secara menyeluruh.[19]
Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang
layak bagi kemanusiaan. Pasal 99 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Selanjutnya, untuk mewujudkan penghasilan yang layak
pemerintah menetapkan perlindungan pengupahan bagi buruh ayat (2). Perlindungan
penghasilan atau pengupahan bagi buruh meliputi sebagai berikut (ayat 3) yaitu:
a.
Upah
minimum
b.
Upah
kerja lembur
c.
Upah/penghasilan
tidak masuk kerja karena berhalangan/sakit
d.
Upah/penghasilan
tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan di luar pekerjaannya
e.
Upah/penghasilan
karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.
Bentuk dan cara pembayaran upah, potongan
penghasilan dan hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan penghasilan dan
jaminan sosial, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, penghasilan
untuk pembayaran pesangon, dan penghasilan untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pemerintah menetapkan penghasilan minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak.
Upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu
perjanjian, atau peraturan perundangan dan dibayar atas dasar suatu perjanjian
kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk
pekerja atau buruh sendiri maupun keluarganya.[20]
Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang
terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.[21]
Upah Minimum Regional adalah upah pokok terendah
termasuk tunjangan tetap yang diterima oleh pekerja/buruh di wilayah tertentu
dalam suatu propinsi.[22]
Upah/gaji bersih adalah penerimaan pekerja/karyawan
berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan tersebut.
Penerimaan dalam bentuk barang dinilai dengan harga setempat, penerimaan bersih
adalah, setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran, pajak penghasilan dan
lain-lain.
Upah/gaji pokok minimum adalah, penerimaan
pekerja/karyawan berupa uang atau barang yang dibayarkan
perusahaan/kantor/majikan tersebut (upah/gaji pokok ditambah dengan tunjangan
tetap), guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Status pekerjaan adalah kedudukan
seseorang dalam unit usaha/kegiatan dalam melakukan pekerjaan.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Metode
Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
proposal penelitian ini adalah menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif
yang bersifat kualitatif. Pada penelitian hukum, Peter Mahmud mengatakan dalam
pengantar bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum”, 2006 sebagai berikut:
“Penelitian hukum yang dalam bahasa Inggris legal
research atau bahasa Belanda Rechtssonderzach bukan merupakan penelitian
sosial. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian hukum berbeda
dengan penelitian sosial”.[23]
Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan, penelitian
hukum dapat menggunakan berbagai metode serta melibatkan pendekatan naturalistik
dan interpretatif terhadap subjek Persoalannya.[24]
Abdullah Sulaiman mengatakan: penelitian yuridis
normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan (yurisprudensi)
serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat.[25]
B. Spesifikasi
Penelitian
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menjelaskan bahwa:
“Penelitian normatif mencakup asas-asas hukum,
sistematika hukum, penelitian terhadap penerapan hukum baik yang berjalan secara
operasional oleh instansi maupun dalam hal proses penyelesaian hukum dalam
praktik untuk kemudian dilakukan penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan
horisontal dengan pokok pada ilmu hukum.”
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif disertai
dengan pendekatan historis hukum dan pendekatan empiris.[26]
C. Sumber
Bahan Hukum
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang
mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
keputusan-keputusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan tumbuh dalam
masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menganalisis secara
mendalam dan holistik, yaitu dari segala segi (komprehensif)[27]
tentang ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, UU Pengawasan Keselamatan Kerja,
dan lain-lainnya.
D. Metode
Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penelitian ini mengandung beberapa aspek antara
lain metode pendekatan yang digunakan yakni: metode pengumpulan data-data atau bahan-bahan
hukum yang diperoleh melalui kepustakaan, buku-buku, artikel, jurnal, brosur,
majalah, yurisprudensi dan berupa putusan-putusan pengadilan, mengacu pada
norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan
norma-norma yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.
E. Metode
Pengolahan Bahan Hukum
Adapun sifat holistik di atas menjadikan salah satu
aspek pendekatan kualitatif, di mana penelitian ini lebih mendalam lagi
terhadap pendekatan kualitatif, menekankan pada proses dan makna dari perilaku
yang diteliti, serta melihat apa yang terjadi dalam area penelitian. Dengan
demikian alasan-alasan penggunaan metode ini disebabkan mampu memberikan
jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang memfokuskan penyebab kendala-kendala
dalam perlindungan hukum pekerja, bagaimana solusinya, selanjutnya sebagai
barometer atau pengukur ataupun analisis terhadap hubungan kerja antara pekerja
dan perusahaan serta pemerintah sebagai pengawas, hal ini menjadi ciri dari
penelitian kualitatif.
F. Metode
Analisis
Pada penelitian ini, hukum ketenagakerjaan berfungsi
melindungi kepentingan pekerja perusahaan, dimana pekerja merupakan hak dasar
pekerja dalam hubungan kerja yang dilindungi dan dijamin dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku (tugas pemerintah).
Penelitian ini dipusatkan pada instansi yang terkait
(Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan beberapa perusahaan serta
pekerja yang diwawancarai sebagai sampel), dan difokuskan pada perlindungan
hukum hak normatif pekerja, selanjutnya setelah data-data atau bahan-bahan
hukum dan hasil wawancara terkumpul dan dipilah sesuai dengan kebutuhan, maka
dilakukan analisis sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan sementara yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hasilnya diharapkan berguna untuk mempermudah
dalam pemaparan pembahasan pada bab berikutnya, sebagai upaya dapat menjawab
atau memecahkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Asyhadie Zaenal, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan
Bidang Hubungan Kerja, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 2000.
Sumber-sumber Lain:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981, tentang
Perlindungan Upah
[1] Giuseppe
Casale, Pengawasan Ketenagakerjaan, Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hal. 91
[2] Indonesia,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, TLN Republik Indonesia Nomor 4279), Pasal 1
Angka 32)
[3] Op-cit,
HR. Abdussalam dan Adri desasfuryanto, Hal
340
[5] Adrian
Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 15
[6] Sulaiman,
Upah di Indonesia, YPPSDM, Jakarta, 2003, hal. 83
[8] Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
[9] Imam Soepamo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1998,
hal. 73
[10] Ibid, Hal
74.
[11] Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[12] Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
[14] Adrian
Sutedi, Hukum Perburuhan, Op Cit, hal. 17
[16]
Undang-Undang Dasar 1945
[17] Jimly
Asshiddiqe, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, Yastif
Watampone, Jakarta, 2003, hal. 62
[18] Ibid
[19] Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,Tambahan
Lembaran Negara RI No. 3702
[20] Republik
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981, tentang Perlindungan Upah
[21] Departemen
Tenaga Kerja, Peranan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah
Minimum
[22] Departemen
Tenaga Kerja, Peranan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah
Regional
[23] Peter
Mahmud, Penelitian Hukum, Grafindo Group, Jakarta, 2006, hal. v
[24] Soerjono
Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dan Pembangunan, UI Press Yogyakarta,
1997, hal. 30
[25] Abdullah
Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum, PPSDM, Jakarta, 2012, hal. 25
[27] Abdullah
Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum, PPSDM, Jakarta, 2012, hal. 25