PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah merupakan negara hukum sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah Negara hukum“. Hukum Pidana adalah salah satu hukum yang ada
di negara Indonesia, pengaturan tertulisnya dituangkan dalam KUHP (Kitab Undang
– Undang Hukum Pidana) sebagai salah satu hukum positif. Seperti halnya ilmu
hukum lainnya Hukum Pidana mempunyai tujuan umum, yaitu menyelenggarakan tertib
masyarakat. Kemudian tujuan khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan
maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang
sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan –
kepentingan hukum yaitu orang ( martabat, jiwa, harta, tubuh, dan lain
sebagainya), masyarakat dan negara.
Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai
fungsi yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru
dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan bahwa Hukum Pidana itu
merupakan ultimum remedium atau obat terakhir. Persoalan Hukum Pidana
dalam konteks ultimum remedium perlu dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai
penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim serta perkembangannya
saat ini. Maka makalah yang kami tulis dengan judul “Fungsi Ultimum
Remedium Dari Hukum Pidana”, diharapkan dapat menambah informasi dan
pengetahuan yang lebih sesuai dengan judul yang bersangkutan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan asas ultimum remedium? juga menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
2.
Bagaimana
karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium?
3.
Bagaimana proses
dan hakikat fungsi ultimum remedium dari hukum pidana secara pragmatis?
4.
Apakah hukum pidana
sebagai ultimum remedium?
C.
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mendeskripsikan pengertian ultimum remedium.
2.
Untuk
mendeskripsikan krakteristik ultimum remedium dalam konteks Hukum Pidana.
3.
Untuk
mendeskripsikan fungsi ultimum remedium dari hukum pidana.
4.
Untuk
mendeskripsikan hukum pidana sebagai ultimum remedium.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asas
Ultimum Remedium menurut beberapa sumber dan menurut Undang- Undang Nomor
32 Tahun 2009.
1. Menurut Faizin Sulistio.
Ultimum
remedium merupakan istilah yang populer
dalam mengkaji hukum pidana, terkait dengan tujuan pidana dan pemidanaan yaitu
sebagai sarana perbaikan dan pemulihan keadaan yang telah di rusak dengan
adanya tindak pidana. Ultimum remedium bermakna
perbaikan yang paling akhir digunakan (obat yang pamungkas).
2. Menurut pendapat Restatika dalam
tulisan blognya yang berjudul Karakteristik Hukum Pidana dalam Konteks
Ultimum Remedium.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara
Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan
pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan
penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan.
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum
remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia,
terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak
melakukan kejahatan.
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri
Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama
Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa: Pertama, “Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang
menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito
sine qua non. Kedua, “syarat
yang harus ditambahkan ialah perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman
tidaklah dapat ditekan dengan cara lain”. Pidana itu haruslah tetap
merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana
terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga
memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan
harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan
kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang
diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
3. Menurut Undang- Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam undang – undang nomor 32 Tahun 2009 tidak
memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium,
berikut dengan dan isi dari undang-undang ini memang tidak menyinggung masalah
asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas, melainkan secara
tersurat mencantumkan asas yang lain. Namun dalam ketentuan pidana, ada 1 (
satu ) ayat yang tersirat menjelaskan tentang pemberlakuan asas ultimum
remedium, yaitu pasal 100 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.
B. Karakteristik Hukum
Pidana Dalam Konteks Ultimum Remedium
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara
Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan
pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan
penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan.
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum
remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia,
terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak
melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka
penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya
dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal
Abidin: 1987:16)
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri
Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama
Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa:
“Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
“Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum
memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman
dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun
1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa
Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan
hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri
sendiri.
C. Proses Dan
Hakikat Fungsi Ultimum Remedium Dari Hukum Pidana Secara Pragmatis
Hoenagels
sebagaimana dikutip (Dr. Yenti Garnasih, SH), dari LBH Pers
menekankan kembali penting mempertimbangan berbagai faktor untuk melakukan
kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan tidak
terjadi over criminalization antara lain :
- Jangan
menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional;
- Jangan
menggunakan hukum pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban
atau kerugiannya;
- Jangan
menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan
pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan
dirumuskan;
- Jangan
menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara
kuat;
- Jangan
menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan
efektif;
- Hukum pidana
dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala
prioritas kepentingan pengaturan;
- Hukum pidana
sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana
pencegahan.
Bersimpul dari hal di atas sebenarnya dapat kita artikan
bahwa Pemidanaan adalah merupakan alternatif terakhir bagi suatu perbuatan
hukum pidana (delik). Sama halnya bahwa untuk suatu tindak pidana tertentu Asas
Ultimum Remedium itu mewajibkan syarat
harus dilakukan upaya pemberian sanksi lain (non pidana) baik itu denda,
peringatan atau hal lainnya sebelum dilakukannya upaya Pidana baik berupa
penjara/kurungan.
Menurut hemat penulis bahwa, dalam beberapa kasus yang
pernah dihadapi, semisalnya dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, jelas dalam
Bagian umum point 6 UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup dijelaskan “asas”
ini sangat mengikat dan harus dipatuhin para penegak hukum dalam menerapkan
Undang-Undang ini. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 100 UU No. 32/2009, ayat
(2) ini bahwa : Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dikenakan apabila sanksi adminitratif yang telah dijatuhkan tidak
dipenuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup tetap
memperhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan penerapan
penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administratif dianggap tidak berhasil. Dijelaskan lebih lanjut dalam UU
ini bahwa penerapan asas Ultimum remedium ini hanya bagi tindak
pidana formil terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan.
Sudut pandang pragmatism hukum dapat menyimpulkan bahwa Ultimum
Remedium memberikan ruang bagi masyarakat luas akan upaya perbaikan,
koreksi lingkungan, environmental care, dan upaya lainnya sebelum
pemidanaan diberikan. No Criminal Penalty before Adminsitrative
Correction is implemented.
Menurut hemat penulis, selain dalam bidang lingkungan
hidup, dapat pula kita lihat “jiwa/soul” dari asas Ultimum Remedium
ini terdapat dalam UU Perlindungan Anak yang kemudian dikuatkan dalam putusan
Mahkamah Konstitusi pada Pebruari 2011, berkenaan dengan batasan umur
anak dimana bagi pelaku pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur 12 tahun
haruslah yang bersangkutan dikembalikan kepada orang tuanya bukanlah dipidana.
Inilah sebenarnya jiwa asas ini.
Tentunya pemikiran para cendiki dan praktisi hukum
memasukan jiwa asas Ultimum Remedium ini adalah demi kepentingan
yang lebih luas dengan memperhatikan kebenaran yang hakiki. Dan bukan semata
untuk mengelak dari ancaman hukuman Pidana.
D. Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium
Hukum pidana sebagai ultimum remedium, artinya bahwa
Hukum pidana adalah upaya hukum yang terakhir dilakukan kalau upaya-upaya
lainnya sudah tidak lagi bisa dilakukan. secara a contrario kalau kita
masih bisa melakukan upaya yang lain, maka upaya lain itulah yang kita lakukan.
Mengapa ? karena pidana memberikan sanksi yang berat bagi si pelaku, yaitu
sanksi derita badan/fisik tidak dapat diwakilkan, tidak dapat dikuasakan dst.
Selain itu ketika seseorang pernah mendapatkan sanksi pidana maka dirinya telah
dicap sebagai seorang musuh masyarakat, walaupun ia telah melaksanakan puluhan
tahun didalam kurungan namun stigma tersebut tetap melekat pada dirinya. Kalau
anda punya perusahaan, lalu salah satu pelamar karyawan adalah bekas
narapidana, apa kira-kira tindakan anda ????
Intinya adalah efek hukum pidana bagi seseorang
sangatlah dahsyat. Lalu kita semua mungkin masih ingat dengan putusan
MK Nomor 012/PUU-I/2003 terhadap pasal 158 UU 13/2003 yang menyatakan
bahwa Pasal158 tentang kesalahan berat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Artinya ketika seseorang melakukan kesalahan berat, maka
Perusahaan baru bisa melakukan PHK setelah dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidananya berdasarkan putusan pengadilan. Dengan kata yang sederhana si pekerja
harus dilaporkan dulu ke Polisi baru bisa dilakukan PHK. Apakah ini yang
dimaksud dengan ultimum remedium ??? Bagi saya hal ini bukan sebuah solusi
terbaik bagi Pekerja dan Perusahaan.
Dalam prakteknya ada yang strict melaksanakan putusan
tersebut, ada juga yang sama sekali tidak melaksanakan putusan tersebut.
Malahan menjadi sebuah problem baru karena tidak mau berhubungan dengan
kepolisian. Akhirnya para praktisi melakukan praktek-praktek yang diyakininya
benar dengan melakukan dialog bersama si Pekerja dan mengadakan Perjanjian
Bersama untuk memutuskan hubungan kerja dengan si pekerja. Para staf HR
kebingungan dan khawatir karena proses seperti itu masih berpotensi terjadinya
perselisihan di masa yang akan datang, namun di satu sisi agak enggan untuk
memproses kasus secara pidana.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan antara lain ;
1.
bahwa dalil ultimum
remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi
lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi
hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana.
2.
Mengenai penerapan ultimum
remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi
kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan
prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium)
tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana
yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan
sanksi perdata didahulukan. sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum
tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana.
3.
Penerapan asas
ultimum remedium menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009, asas ini
diartikan “upaya”, bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan
atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang
tercemar atau rusak baku mutu air limbahnya, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan.
4.
Kendala- kendala
yang mungkin dalam penerapan asas, antara lain;
a.
Menjadi hal menarik
ketika obat terakhir/obat yang paling keras dengan dosis tinggi ternyata dalam
praktek di Indonesia menjadi obat pertama.
b.
penerapan dalil ultimum
remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala –
kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya adalah karena dalil Hukum
Pidana tidak mengenal kompromi atau kata damai.
c.
perkembangan hukum
pidana di Indonesia, sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser
kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum
remedium (obat yang utama). Hal ini dapat mempengaruhi proses penyidikan
pelanggaran lingkungan hidup akibat keadaan diatas, yaitu penanganan kejahatan
lain yang menggeser menjadi asas primum remedium.
DAFTAR PUSTAKA
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Artikel hukum “ultimum remedium”, oleh LBH PERS
Dr. Yenti Garnasih S.H.
Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana.
Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo.
Masriani Tiena, Yulies. 2006. Pengantar Hukum Indonesia.
Cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika.
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.