Sunday 8 February 2015

MAKALAH HUKUM PIDANA

FUNGSI ULTIMUM REMEDIUM DARI HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia adalah merupakan negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum“. Hukum Pidana adalah salah satu hukum yang ada di negara Indonesia, pengaturan tertulisnya dituangkan dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) sebagai salah satu hukum positif. Seperti halnya ilmu hukum lainnya Hukum Pidana mempunyai tujuan umum, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat. Kemudian tujuan khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan – kepentingan hukum yaitu orang ( martabat, jiwa, harta, tubuh, dan lain sebagainya), masyarakat dan negara.
Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan bahwa Hukum Pidana itu merupakan ultimum remedium atau obat terakhir. Persoalan Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium perlu dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim serta perkembangannya saat ini. Maka makalah yang kami tulis dengan judul “Fungsi Ultimum Remedium Dari Hukum Pidana”, diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan yang lebih sesuai dengan judul yang bersangkutan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan asas ultimum remedium? juga menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.
2.      Bagaimana karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium?
3.      Bagaimana proses dan hakikat fungsi ultimum remedium dari hukum pidana secara pragmatis?
4.      Apakah hukum pidana sebagai ultimum remedium?


C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1.      Untuk mendeskripsikan pengertian ultimum remedium.
2.      Untuk mendeskripsikan krakteristik ultimum remedium dalam konteks Hukum Pidana.
3.      Untuk mendeskripsikan fungsi ultimum remedium dari hukum pidana.
4.      Untuk mendeskripsikan hukum pidana sebagai ultimum remedium.

BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Asas Ultimum Remedium menurut beberapa sumber dan menurut  Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009.

1.    Menurut Faizin Sulistio.
Ultimum remedium merupakan istilah yang populer dalam mengkaji hukum pidana, terkait dengan tujuan pidana dan pemidanaan yaitu sebagai sarana perbaikan dan pemulihan keadaan yang telah di rusak dengan adanya tindak pidana. Ultimum remedium bermakna perbaikan yang paling akhir digunakan (obat yang pamungkas).
2.    Menurut pendapat Restatika dalam tulisan blognya yang berjudul Karakteristik Hukum Pidana dalam Konteks Ultimum Remedium.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan.
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa: Pertama, “Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua,  “syarat yang harus ditambahkan ialah perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain”. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
3.    Menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam undang – undang nomor 32 Tahun 2009 tidak memberikan penjelasan tentang defenisi atau pengertian asas ultimum remedium, berikut dengan dan isi dari undang-undang ini memang tidak menyinggung masalah asas ultimum remedium atau dikenal dengan asas subsidiaritas, melainkan secara tersurat mencantumkan asas yang lain. Namun dalam ketentuan pidana, ada 1 ( satu ) ayat yang tersirat menjelaskan tentang pemberlakuan asas ultimum remedium, yaitu pasal 100 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.

B.  Karakteristik Hukum Pidana Dalam Konteks Ultimum Remedium
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16)
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa:        
“Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.
Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.

C.  Proses Dan Hakikat Fungsi Ultimum Remedium Dari Hukum Pidana Secara Pragmatis
Hoenagels sebagaimana dikutip (Dr. Yenti Garnasih, SH), dari LBH Pers menekankan kembali penting mempertimbangan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain :
  1. Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional;
  2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya;
  3. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan;
  4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat;
  5. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif;
  6. Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan;
  7. Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.
Bersimpul dari hal di atas sebenarnya dapat kita artikan bahwa Pemidanaan adalah merupakan alternatif terakhir bagi suatu perbuatan hukum pidana (delik). Sama halnya bahwa untuk suatu tindak pidana tertentu Asas Ultimum Remedium itu mewajibkan syarat harus dilakukan upaya pemberian sanksi lain (non pidana) baik itu denda, peringatan atau hal lainnya sebelum dilakukannya upaya Pidana baik berupa penjara/kurungan.
Menurut hemat penulis bahwa, dalam beberapa kasus yang pernah dihadapi, semisalnya dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, jelas dalam Bagian umum point 6 UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup dijelaskan “asas” ini sangat mengikat dan harus dipatuhin para penegak hukum dalam menerapkan Undang-Undang ini. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 100 UU No. 32/2009, ayat (2)  ini bahwa : Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi adminitratif yang telah dijatuhkan tidak dipenuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup tetap memperhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum  pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap tidak berhasil. Dijelaskan lebih lanjut dalam UU ini bahwa penerapan asas Ultimum remedium ini hanya bagi tindak pidana formil terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan.
Sudut pandang pragmatism hukum dapat menyimpulkan bahwa Ultimum Remedium memberikan ruang bagi masyarakat luas akan upaya perbaikan, koreksi lingkungan, environmental care, dan upaya lainnya sebelum pemidanaan diberikan. No Criminal Penalty before Adminsitrative Correction is implemented.
Menurut hemat penulis, selain dalam bidang lingkungan hidup, dapat pula kita lihat “jiwa/soul” dari asas Ultimum Remedium ini terdapat dalam UU Perlindungan Anak yang kemudian dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Pebruari 2011,  berkenaan dengan batasan umur anak dimana bagi pelaku pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur 12 tahun haruslah yang bersangkutan dikembalikan kepada orang tuanya bukanlah dipidana. Inilah sebenarnya jiwa asas ini.
Tentunya pemikiran para cendiki dan praktisi hukum memasukan jiwa asas Ultimum Remedium ini adalah demi kepentingan yang lebih luas dengan memperhatikan kebenaran yang hakiki. Dan bukan semata untuk mengelak dari ancaman hukuman Pidana.

D.  Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium
Hukum pidana sebagai ultimum remedium, artinya bahwa Hukum pidana adalah upaya hukum yang terakhir dilakukan kalau upaya-upaya lainnya sudah tidak lagi bisa dilakukan. secara a contrario kalau kita masih bisa melakukan upaya yang lain, maka upaya lain itulah yang kita lakukan. Mengapa ? karena pidana memberikan sanksi yang berat bagi si pelaku, yaitu sanksi derita badan/fisik tidak dapat diwakilkan, tidak dapat dikuasakan dst. Selain itu ketika seseorang pernah mendapatkan sanksi pidana maka dirinya telah dicap sebagai seorang musuh masyarakat, walaupun ia telah melaksanakan puluhan tahun didalam kurungan namun stigma tersebut tetap melekat pada dirinya. Kalau anda punya perusahaan, lalu salah satu pelamar karyawan adalah bekas narapidana, apa kira-kira tindakan anda ???? 
Intinya adalah  efek hukum pidana bagi seseorang sangatlah dahsyat. Lalu kita semua mungkin masih ingat dengan putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003 terhadap pasal 158 UU 13/2003 yang menyatakan bahwa Pasal158 tentang kesalahan berat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Artinya ketika seseorang melakukan kesalahan berat, maka Perusahaan baru bisa melakukan PHK setelah dibuktikan terlebih dahulu tindak pidananya berdasarkan putusan pengadilan. Dengan kata yang sederhana si pekerja harus dilaporkan dulu ke Polisi baru bisa dilakukan PHK. Apakah ini yang dimaksud dengan ultimum remedium ??? Bagi saya hal ini bukan sebuah solusi terbaik bagi Pekerja dan Perusahaan.
Dalam prakteknya ada yang strict melaksanakan putusan tersebut, ada juga yang sama sekali tidak  melaksanakan putusan tersebut.  Malahan menjadi sebuah problem baru karena tidak mau berhubungan dengan kepolisian. Akhirnya para praktisi melakukan praktek-praktek yang diyakininya benar dengan melakukan dialog bersama si Pekerja dan mengadakan Perjanjian Bersama untuk memutuskan hubungan kerja dengan si pekerja. Para staf HR kebingungan dan khawatir karena proses seperti itu masih berpotensi terjadinya perselisihan di masa yang akan datang, namun di satu sisi agak enggan untuk memproses kasus secara pidana.

BAB III
KESIMPULAN

A.   Kesimpulan
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan antara lain ;
1.      bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana.
2.      Mengenai penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan. sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana.
3.      Penerapan asas ultimum remedium menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009, asas ini  diartikan “upaya”, bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tercemar atau rusak baku mutu air limbahnya, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan.
4.      Kendala- kendala yang mungkin dalam penerapan asas, antara lain;
a.       Menjadi hal menarik ketika obat terakhir/obat yang paling keras dengan dosis tinggi ternyata dalam praktek di Indonesia menjadi obat pertama.
b.      penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya adalah karena dalil Hukum Pidana tidak mengenal kompromi atau kata damai.
c.       perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi  pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama). Hal ini dapat mempengaruhi proses penyidikan pelanggaran lingkungan hidup akibat keadaan diatas, yaitu penanganan kejahatan lain yang menggeser menjadi asas primum remedium.


DAFTAR PUSTAKA

Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Artikel hukum “ultimum remedium”, oleh LBH PERS Dr. Yenti Garnasih S.H.
Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo.
Masriani Tiena, Yulies. 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika.
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.