ARTI PENTING DAN AKIBAT HUKUMNYA
DENGAN KEHARUSAN DICATATKANNYA PERKAWINAN DALAM BERITA NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
BUKU NIKAH |
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Politik hukum pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu setiap perkawinan harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan menjadi unsur yang sangat penting bagi keabsahan perkawinan yang dimaksudkan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga, selain itu karena perkawinan yamg dicatatkan akan memberikan kepastian dan perlindungan serta kekuatan hukum bagi suami , isteri dan anak-anak, juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan antara lain hak untuk mewaris, hak untuk memperoleh akta kelahiran, hak atas nafkah hidup, hak untuk membuat kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mayoritas merupakan penganut agama Islam yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pelaksanaan perkawinan di Indonesia dimana suatu perkawinan dianggap sudah sah apabila sudah memenuhi ketentuan agama tanpa harus dicatatkan. Hal ini dalam praktek menimbulkan masalah dalam status perkawinan, karena perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan perkawinan yang tidak diakui oleh negara dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan perkawinan tersebut tidak mempunyai status sebagai perkawinan yang sah. Isteri dan anak-anak dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum sehingga dikatakan bahwa perkawinan ini bertentangan dengan aspek kesetaraan gender dimana kedudukan perempuan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki.
Dalam praktek perkawinan yang tidak dicatatkan akan menimbulkan berbagai masalah antara lain terhadap status anak. Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan itu tidak diakui oleh negara maka segala hal yang timbul dari perkawinan tersebut menjadi tidak sah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian perkawinan menurut UU dan para tokoh?
2. Bagaimana syarat perkawinan menurut UU?
3. Apakah setiap perkawinan harus dicatatkan?
4. Apa arti penting dan akibat hukumnya dengan keharusan dicatatkannya perkawinan dalam berita negara republik indonesia?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengrtian perkawinan menurut UU dan para tokoh.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat perkawinan menurut UU.
3. Untuk mengetahui perkawinan dicatatkan atau tidak.
4. Untuk mengetahui arti penting dan akibat hukumnya dengan keharusan dicatatkannya perkawinan dalam berita negara republik indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERKAWINAN MENURUT UU DAN PARA TOKOH
Dalam pembahasan mengenai pengertian perkawinan ini, kita tidak dapat memfokuskan terhadap salah satu dari pengertian saja, karena pengertian perkawinan sangat banyak ditafsirkan oleh banyak orang, baik berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun berdasarkan para tokoh.
Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, didasarkan pada unsur agama/religius, hal itu sebagai yang diatur di dalam Pasal 1 :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”[1]
Kalau kita perhatikan, maka dalam definisi itu terdapat 5 (lima) unsur, yaitu[2] :
1. Ikatan lahir batin.
Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin ialah bahwa ikatan itu tidak cukup dengan ikatan lahir saja ataupun batin saja akan tetapi keduanya harus terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suamiistri dengan kata lain hal tersebut disebut hubungan formal. Ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal suatu ikatan yang tidak tampak tidak nyata yang hanya dapat dirasakan oleh pihakpihak yang bersangkutan ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan lahir batin inilah yang dijadikan dasar fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia. Dalam hal ini, sangat perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci sebagaimana diajarkan oleh agama yang dianut oleh masing-masing pihak.
2. Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita jadi dapat dikatakan bahwa ikatan perkawinan hanya mungkin terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita jadi perkawinan antara seorang wanita dengan wanita bukan perkawinan namanya. Disini mengandung asas monogami, yaitu saat yang bersamaan seorang pria hanya terikat dengan seorang wanita, demikian pula sebaliknya seorang wanita hanya terikat dengan seorang pria pada saat yang bersamaan.
3. Sebagai suami-istri.
Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami-istri bila ikatan mereka itu didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Untuk sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan.
4. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan dari perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban dari orang tua.
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur ini menunjukkan bahwa Undang-undang Perkawinan memandang perkawinan berdasarkan atas kerohaniaan. Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana Sila Pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani saja tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Pengertian perkawinan menurut para tokoh
1) Menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH., Perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2) Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
3) Menurut Prof. R. Subekti, SH., Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
4) Menurut Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan abadi antara dua orang yang berlainan kelamin yang diakui negara.
B. SYARAT PERKAWINAN MENURUT UU
Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu[3] :
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
- Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
- Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
- Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
- Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut[4] :
- Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
- Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
- Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.
- Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.
- Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
- Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut[5] :
- Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
- Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
- Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
- Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
C. PERKAWINAN YANG DICATATKAN DAN TIDAK DICATATKAN
Perkawinan adalah salah satu bentuk perwujudan hak-hak konstitusional warga negara yang harus dihormati (to respect), dilindungi (to protect) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (1): "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah", dan Pasal 28J ayat (1): "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".
Dengan demikian perlu disadaribahwa di dalam hak-hak konstitusional tersebut, terkandung kewajiban penghormatan atas hak-hak konstitusional orang lain. Sehingga tidaklah mungkin hak-hak konstitusional yang diberikan oleh negara tersebut dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya oleh setiap orang, karena bisa jadi pelaksanaan hak konstitusional seseorang justru akan melanggar hak konstitusional orang lain, karenanya diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak-hak konstitusional tersebut. [6]
Pengaturan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Meskipun pengaturan yang dituangkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pada hakikatnya adalah mengurangi kebebasan, namun pengaturan tersebut bertujuan dalam rangka kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat luas, yakni agar pelaksanaan hak konstitusional seseorang tidak menggangguhak konstitusional orang lain. Selain itu pengaturan pelaksanaan hak konstitusional tersebut merupakan konsekuensi logis dari kewajiban negara yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, "... untuk membentuk Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...”.
Artinya bahwa pembentukan Undang-Undang meskipun di dalamnya mengandung norma atau materi yang dianggap membatasi hak konstitusional seseorang, namun sesungguhnya hal tersebut merupakan bagian dari upaya yang dilakukan oleh negara dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan ketertiban umum, kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya.[7]
Sebagaimana halnya ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah perwujudan pelaksanaan hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 khususnya hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, akan tetapi ketentuan tersebut sekaligus memberi batasan terhadap pelaksanaan hak konstitusional yang semata-mata bertujuan untuk melindungi warga negara untuk terciptanya masyarakat adil makmur dan sejahtera, seperti yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karenanya perkawinan adalah suatu lembaga yang sangat menentukan terbentuknya sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera, maka keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat itulah yang akan membentuk masyarakat bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Jika keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang tidak harmonis, tidak bahagia, dan tidak sejahtera, mustahil akan terbentuk masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sejahtera.
Undang-Undang Perkawinan telah sejalan dengan amanat konstitusi, UUD 1945, karena UU Perkawinan tidak mengandung materi muatan yang mengurangi dan menghalang-halangi hak seseorang untuk melakukan perkawinan, akan tetapi undang-undang perkawinan mengatur bagaimana sebuah perkawinan seharusnya dilakukan sehingga hak-hak konstitusional seseorang terpenuhi tanpa merugikan hak-hak konstitusional orang lain.
Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pernyataan tersebut diatas, perkawinan sesungguhnya tidak hanya bertujuan untuk membentuk keluarga dalam rangka hidup bersama, tetapi lebih dari itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan timbulnya kewajiban suami dan isteri untuk saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam rangka membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa :
“suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”; dan pada Pasal 2 ayat (2)dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut Undang-Undang Perkawinan, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk:
a. tertib administrasi perkawinan
b. memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak
c. memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akte kelahiran, dan lain-lain;
Pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.[8]
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memang tidak berdiri sendiri, karena frasa “dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” memiliki pengertian bahwa pencatatan perkawinan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan bahwa pencatatan harus mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak suami, istri, dan anak-anaknya benar-benar dapat dijamin dan dilindungi oleh negara. Persyaratan dan prosedur tersebut meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan khususnya Pasal 2 sampai dengan Pasal 9.
Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi pihak suami dan isteri dalam perkawinan, antara lain mengenai hubungan hukum diantara suami dan isteri, terbentuknya harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah, serta hubungan pewarisan. Timbulnya akibat hukum perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh apabila perkawinan dilakukan secara sah, yaitu memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Perkawinan, yaitu dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan yang demikian menunjukkan adanya ketentuan yang tegas yang harus dipatuhi oleh seorang pria dan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan, sehingga dengan dipenuhinya ketentuan tersebut diatas maka perkawinan tersebut akan diakui dan mempunyai kekuatan hukum yang sah. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan tersebut diatas, ada pula ketentuaan yang terdapat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, dan selanjutnya Pasal 5 Ayat (1) menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan, bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Mengenai keharusan pencatatan perkawinan ini, Pasal 6 Ayat (1) KHI menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah, dan Pasal 6 Ayat (2) menyatakan lebih lanjut bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah sebagai perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian pencatatan perkawinan ini sangat penting dalam rangka menciptakan kepastian hukum dari suatu perkawinan yang telah dilangsungkan.
Berkaitan dengan kesahan perkawinan tersebut, terdapat perbedaan pendapat dimana disatu pihak menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan pencatatan atas perkawinan, sedangkan di pihak yang lain menyatakan bahwa perkawinan tidak perlu dicatat sepanjang telah memenuhi ketentuan agama.
Pihak yang menyatakan bahwa perkawinan harus dicatatkan berpendapat bahwa perkawinan yang dicatatkan akan lebih baik daripada perkawinan yang tidak dicatatkan, karena akan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dari segala akibat yang ditimbulkan dari suatu perkawinan.[9] Aktifis perempuan Nursyahbani Katjasungkana berpendapat karena soal pencatatan tidak diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan ayat pertama dalam Pasal 2 UU Perkawinan, maka makna ayat pertama menjadi multi tafsir dan sering disalahgunakan. Perkawinan yang sah hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan yang sah, artinya perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum.[10]
Pihak yang menyatakan bahwa perkawinan tidak perlu dicatatkan berpendapat bahwa perkawinan yang tidak dicatat tidak melanggar syariat agama sepanjang dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan hukum Islam.[11]
Sejak dilangsungkannya perkawinan, maka sejak saat itu menjadi tetaplah kedudukan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri, dan sejak saat itu pula suami dan isteri memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu dalam ikatan perkawinan.[12]
Hak dan kewajiban suami dan isteri dalam perkawinan adalah setara (seimbang atau sama). Hal tersebut dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Pasal 31 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Penjelasan Umum dalam UU Perkawinan menyatakan lebih tegas mengenai kesetaraan kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan, dimana hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Penjelasan Umum Angka 3 yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.
D. ARTI PENTING DAN AKIBAT HUKUMNYA DENGAN KEHARUSAN DICATATKANNYA PERKAWINAN DALAM BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (madharat) terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Ketentuan Hukum
Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negativelmudharat (saddan lidz-dzari ‘ah).
Pernikahan Dibawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.[13]
Perkawinan semacam ini termasuk dalam kategori zina murni, berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
- Perkawinan ini dilakukan tanpa sepengetahuan wali perempuan, setiap perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya wali maka perkawinan itu tidak sah. Hal ini sangat bertentangan dengan maksud-maksud syari’ah.
- Karena tidak adanya pemberitahuan dan walimah maka perkawinan ini tidak ubahnya dengan zina tersembunyi.
- Tanpa ada ketentuan untuk menyediakan tempat dan mahar.[14]
Pentingnya Pencatatan Perkawinan
1. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
2. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinana.
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
3. Sahnya Perkawinan
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah,terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
4. Pengesahan Perkawinan
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.[15]
Itsbat nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
- dalam rangka penyelesaian perceraian;
- hilangnya akta nikah;
- adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
- perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
- perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Biasanya untuk perkawinan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari pejabat berwenang.
Walaupun sudah resmi memiliki akta, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan di bawah tangan sebelum pembuatan akta tersebut akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah, karena perkawinan ulang tidak berlaku terhadap status anak yang dilahirkan sebelumnya.[16]
Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.[17]
Akibat Hukum
Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.
Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah ini maka dapat diketahui bahwa perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.
Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Selain itu hak mengurus kekayaan bersama (“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas. Selain kekuasaannya hanya terletak dalam larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang bergerak kepada lain orang selain kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat 3).
Apabila salah satu pihak meninggal dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang ditinggalkan diwajibkan dalam waktu bulan membuat suatu pencatatan tentang kekayaan mereka bersama. Pancatatan ini dapat dilakukan secara authentiek maupun dibawah tangan dan harus diserahkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono. (1991). Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Rineka Cipt
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005)
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
Muhammad Fu’ad Syakit, Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV. CENDEKIA SENTRA MUSLIM (anggota IKAPI).2002.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Syahruddin El Fikri, hasil wawancara dengan KH Mahmud Ali Zain, “Nikah siri Tak Sesuai Ajaran Islam”, Artikel dalam Harian Republika, Selasa, 21 Februari 2010.
Ninuk Mardiana Pambudy, “RUU Peradilan Agama, Menelaah Persoalan Yang Tidak Hitam Putih”, Artikel dalam harian Kompas, Jumat, 19 Februari 2010.
Prima Lestari dan Rahmat Santosa Basarah, “Draf Kawin Siri Ilegal”, Arikel Dalam Harian Republika, Sabtu, 20 Februari 2010.
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta.1976.
lbh apik, Pentingnya Pencatatan Perkawinan, www. Lbh-apik.or.id/fact/2007
Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 47.
[6] Muhammad Fu’ad Syakit, Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV. CENDEKIA SENTRA MUSLIM (anggota IKAPI), 2002, hlm.25-26
Centre Publishing, 2002), hal. 46.
[9] Syahruddin El Fikri, hasil wawancara dengan KH Mahmud Ali Zain, “Nikah siri Tak Sesuai Ajaran Islam”, Artikel dalam Harian Republika, Selasa, 21 Februari 2010.
[10] Ninuk Mardiana Pambudy, “RUU Peradilan Agama, Menelaah Persoalan Yang Tidak Hitam Putih”, Artikel dalam harian Kompas, Jumat, 19 Februari 2010.
[11] Prima Lestari dan Rahmat Santosa Basarah, “Draf Kawin Siri Ilegal”, Arikel Dalam Harian Republika, Sabtu, 20 Februari 2010.
[12] Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Bina Cipta, Yogyakarta, 1976, hlm. 55.
[14] Muhammad Fu’ad Syakit, Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV. CENDEKIA SENTRA MUSLIM (anggota IKAPI), 2002, h.58-59