NOTA PEMBELAAN
No. Reg Perkara: 941/Pid.B/2015/PN.JKT.Sel
Atas Nama Terdakwa SYAFI’U NIZAR bin
Piuk
Kepada Yth.
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pembunuhan
No.
Perkara 941/Pid.B/2015/PN.JKT.Sel
Di
tempat
Yang bertandatangan dibawah ini:
1.
Panji Patriatama,
S.H.
2.
Bimo Prasetyo, S.H.
Adalah advokat pada kantor pengacara Panji Bimo’s & Rekan, yang berkantor di Perumahan Menteng blok
H Jakarta, dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25
Juni 2015 bertindak sebagai Penasihat
Hukum untuk dan atas nama Terdakwa:
1. Nama : Syafi’u Nizar
2. Tempat
lahir : Purbalingga
3. Umur/Tanggal
lahir : 19 tahun
4. Jenis
kelamin : Laki-laki
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat
tinggal : Desa Ajibarang Wetan,
RT 01 RW 11, kec. Ajibarang, Kab. Banyumas
7. Agama : Islam
8. Pendidikan : SLTP
9. Pekerjaan : Buruh
Dalam Perkara ini Terdakwa didakwa dengan dakwaan yang
berbentuk Subsidair, dengan uraian sebagai berikut:
Primair :
pasal 340 KUHP
subsidair :
pasal 338 KUHP
lebih
subsidair : pasal 351 ayat (3)
KUHP
Setelah membaca dan mempelajari Surat Dakwaan dan juga
Surat Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka kami selaku
Penasihat Hukum Terdakwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 182 Ayat (1) huruf b
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan mengajukan nota pembelaan
dengan resume sebagai berikut.
PRIMAIR
1.
Unsur
“Barangsiapa”
Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum dalam
membuktikan unsur “barang siapa” hanya dengan argumentasi bahwa Terdakwa Syafi’u Nizar dalam persidangan dalam
keadaan sehat dan tidak ada satupun alasan yang ditemukan dalam diri terdakwa
untuk meniadakan atau menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tentunya argumentasi
seperti ini kurang pantas untuk disampaikan dalam pengadilan untuk membuktikan
unsur dalam suatu tindak pidana. Tentunya Jaksa Penuntut Umum sebagai seorang sarjana
hukum, dapat memikirkan argumentasi yang lebih cerdas untuk membuktikan unsur
tersebut.
Berdasarkan Pasal 340 KUHP, unsur “barangsiapa” bukan
merupakan delik inti, tetapi hanya sebagai elemen delik yang menunjukan subjek hukum yang didakwa
melakukan tindak pidana yang pembuktiannya bergantung kepada pembuktian unsur
delik lainnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 951-K/Pid/1982 tertanggal 10 Agustus 1983 dengan nama Terdakwa Yojiro Kitajima,
yang antara lain menerangkan bahwa unsur “barangsiapa” hanya merupakan kata ganti orang di mana unsur ini
harus mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya.
Oleh karena itu, haruslah unsur “barangsiapa” dibuktikan dengan
unsur-unsur delik lainnya dalam delik yang didakwakan.
Dengan demikian, hadirnya terdakwa dalam persidangan
tidaklah berarti unsur “barangsiapa” langsung terbukti, tanpa dibuktikannya
juga unsur-unsur delik lainnya.Setelah terbukti unsur-unsur lainnya barulah
Jaksa Penuntut Umum dapat menyatakan bahwa unsur “barangsiapa” telah terbukti.
Dengan demikian unsur “barangsiapa” TIDAK TERBUKTI
SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
2.
Unsur “Dengan
Sengaja Dan Direncanakan Terlebih Dahulu”
Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana
merupakan salah satu unsur yang terpenting. Berkaitan dengan unsur kesengajaan
ini, maka apabila dalam rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan
sengaja atau biasa disebut opzettelijk, maka unsur kesengajaan ini
meliputi semua unsur lain yang dibelakangnya harus dibuktikan.
Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang
dilakukanya itu dilakukan “dengan sengaja,” terkandung pengertian menghendaki
dan mengetahui atau menurut penjelasan MvT (Memorie van Toelechting)
bisa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah
seseorang yang melakukan suatu perbuatan “dengan sengaja” itu haruslah memenuhi
rumusan willens yaitu harus menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi
unsur wettens yaitu harus mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Jika dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan
oleh Von Hippel, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai “dengan
sengaja” adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan
suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari pebuatanya tersebut yang
menjadi maksud dari dilakukanya perbuatan itu. Maka pembuktian adanya unsur
kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga
perbuatanya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku hanya dikaitkan
dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan
melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Mengenai unsur “direncanakan terlebih dahulu” dalam
KUHP sendiri tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud sebagai direncakan
terlebih dahulu. Namun,
penjelasan tentang unsur direncanakan terlebih dahulu dapat dilihat dalam MvT (Memorie
van Toelichting) yang menyatakan bahwa istilah met voorbedachte rade
atau “dengan rencana terlebih dahulu” menunjuk pada suatu saat untuk menimbang
dengan tenang. Istilah tersebut merupakan kebalikan dari pertumbuhan kehendak
yang dengan tiba-tiba.Bahwa tidak ada ketentuan berapa lamanya harus berlaku
diantara saat timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan itu dengan saat
dilaksanakanya. Akan
tetapi, nyatalah
harus ada suatu antara dimana ia dapat menggunakan pikiranya tentang guna
merencanakan segala sesuatunya. Begitupula menurut R. Soesilo dalam bukunya
Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penegak Hukum),
halaman 203, menyatakan, bahwa saat antara timbulnya kehendak dengan
pelaksanaanya tidak boleh terlalu sempit, tetapi juga sebaliknya tidak perlu
terlalu lama, yang terpenting adalah apakah di dalam tempo itu pelaku sudah
memiliki kesempatan untuk berubah pikiran dan tidak jadi melanjutkan
perbuatanya.
Dalam konteks Pasal 340 KUHP, untuk lebih jelasnya lagi, terkandung tiga syarat
yaitu, memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup
sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak itu, dan
pelaksanaan kehendak tersebut dalam suasana tenang. Memutuskan kehendak dalam
suasana tenang mengandung maksud bahwa memutuskan kehendak dengan tenang. Artinya pada saat pelaku memutuskan kehendaknya untuk
membunuh, keadaan batin orang tersebut dalam keadaan tenang, tidak berada dalam
keadaan tergesa-gesa, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak berada dalam
keadaan emosi tinggi. Maka
dari itu kehendak yang diputuskan oleh pelaku merupakan kehendak yang dilakukan
dalam suasana batin yang tenang.
Tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak
sampai dengan pelaksanaan kehendak itu. Merupakan syarat yang bersifat relatif. Persoalanya adalah bukan lamanya waktu.Tersedianya
waktu yang cukup mengandung pengertian bahwa dalam tempo waktu yang tersedia
itu, pelaku masih dapat berpikir dengan tenang.Jadi persoalanya tidak pada
masalah lamanya waktu, tetapi persoalan lamanya waktu yang cukup itu lebih
mengarah pada penggunaan waktu yang tersedia itu. Artinya, apakah dalam waktu yang tersedia itu
benar-benar telah dapat untuk berpikir dengan tenang atau tidak. Sekalipun masalah tersedianya waktu yang cukup itu
tidak menunjuk pada persoalan lamanya waktu, tetapi tersedianya waktu yang
cukup tersebut, tidak boleh menunjuk pada suatu waktu yang terlalu singkat. Sebab apabila terlalu singkat kesempatan untuk
berfikir dengan tenang tersebut mungkin tidak terjadi.
Tidak mungkin rasanya seseorang dapat berpikir dengan
tenang dalam waktu yang singkat, biasanya dalam waktu yang sangat singkat itu
orang justru berfikir secara tergesa-gesa, panik dan tidak terencana.Apabila
waktu yang tersedia itu tidak cukup dan diikuti pula dengan perasaan takut,
khawatir dan sebagainya. Dalam waktu yang demikian, jelas sama sekali tidak
menggambarkan suasana batin yang tenang.
Berdasarkan uraian tersebut terkait dengan “dengan
sengaja”, bisa dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan
akibat yang timbul karena perbuatanya itu atau ada hubungan lahir yang
merupakan hubungan sebab antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang
itu, maka hukum pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan
pidananya itu. Sebab pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya secara jelas
dapat ditimpakan kepada pelaku. Tetapi
jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga
hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya itu.
Terkait konteks “dengan rencana terlebih dahulu”, maka
apabila pikiran-pikiran untuk membunuh tersebut dalam keadaan marah, tidak
tenang, waktu yang terlalu singkat, yang berakibat akan berfikir secara
tergesa-gesa, panik, dan tidak terencana, dan dalam suatu suasana kejiwaan yang
tidak memungkinkan untuk berfikir dengan tenang, maka disitu tidak ada unsur
perencanaan.
Dengan demikian, unsur “Dengan sengaja dan
direncanakan terlebih dahulu”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
3.
Unsur
“Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain itu haruslah merupakan perbuatan yang positif
atau aktif walaupun dengan perbuatan sekecil apapun. Jadi perbuatan tersebut
haruslah diwujudkan secara aktif dengan gerakan sebagian anggota tubuh.
Oleh karenanya perbuatanya dapat berupa bermacam-macam
perbuatan. Dimana perbuatan tersebut berujung dengan timbulnya suatu akibat
hilangnya nyawa orang sebagai persyaratan mutlak.
Dalam unsur “merampas nyawa orang lain” terdapat sifat
obyektif dan subyektif, sifat obyektif yaitu dilihat dari perbuatanya yang
menghilangkan nyawa dengan obyek orang lain. Sifat subyektif yaitu dalam
perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat syarat-syarat yang harus
dipatuhi, yaitu adanya wujud perbuatan, adanya suatu kematian orang lain, dan
adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat kematian orang lain.
Terhadap unsur ini, Saudara Penuntut Umum menyatakan
Terdakwa telah merampas nyawa orang lain yaitu korban Fahmi Cipta Pratama alias
Mboy. Meskipun demikian konstruksi hukumnya, kami selaku Penasihat Hukum
berbeda pendapat dengan Penuntut Umum.Hal ini berkaitan dengan perbuatan
Terdakwa terhadap Korban yang tidak dapat dilakukan penuntutan hukuman lagi
meskipun dalam faktanya terungkap dari keterangan terdakwa telah menghilangkan
nyawa Korban, namun tanpa didukung saksi yang mengetahui kejadian secara
langsung sehingga meyebabkan potensi terjadinya kesalahan terbuka lebar untuk
mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Dengan Demikian, Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
SUBSIDAIR
1.
Unsur
“Barangsiapa”
Unsur “Barangsiapa” telah diuraikan dalam analisis
yuridis Dakwaan Primair diatas.
2.
Unsur
“Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain” telah diuraikan
dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.
PERMOHONAN
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan dan juga analisis yang telah kami paparkan, maka kami selaku
Penasihat Hukum Terdakwa dengan segala kerendahan hati kami, memohon kepada Majelis
Hakim Pemeriksa Perkara pembunuhan untuk menjatuhkan Putusan dengan amar
sebagai berikut:
PRIMAIR
- Menyatakan nota pembelaan (pledoi) terdakwa
diterima seluruhnya;
- Menyatakan hasil berita acara pemeriksaaan (BAP)
oleh penyidik dari kepolisian sector setiabudi terhadap terdakwa melanggar
ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dan BAP tersebut batal demi hukum
dan/atau dibatalkan;
- Menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum
terhadap terdakwa dalam perkara pidana nomor: 941/PID.B/2015/PN.JKT.SEL,
adalah batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan;
- Menyatakan surat tuntutan jaksa penuntut umum
tidak dapat diterima, mengingat BAP kepolisian sector setiabudi dan
dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum dan/atau dibatalkan karena
melanggar ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP;
- Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh saudara jaksa penuntut umum
dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan;
- Atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari
semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging)
- Memerintahkan saudara jaksa penuntut umum untuk
segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan;
- Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan
martabat terdakwa kedalam kedudukan semula;
- Membebankan ongkos perkara kepada negara.
SUBSIDAIR
Apabila Majelis Hakim pemeriksa perkara pembunuhan berpendapat
lain, maka kami memohon agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang
seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).
Demikianlah Nota Pembelaan ini kami bacakan dan
serahkan pada hari Senin, 20 Agustus 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan memberikan
bimbingan kepada Majelis Hakim, agar dapat menjatuhkan putusan yang
seadil-adilnya dan membawa manfaat bagi semua pihak.
Hormat Kami,
Penasihat Hukum Terdakwa
Panji
Patriatama, S.H