Monday, 30 January 2017

TUGAS PLKH PIDANA


NOTA PEMBELAAN
No. Reg Perkara: 941/Pid.B/2015/PN.JKT.Sel
Atas Nama Terdakwa SYAFI’U NIZAR bin Piuk

Kepada Yth.
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Pembunuhan
No. Perkara 941/Pid.B/2015/PN.JKT.Sel
Di tempat


Yang bertandatangan dibawah ini:
1.      Panji Patriatama, S.H.
2.      Bimo Prasetyo, S.H.
Adalah advokat pada kantor pengacara Panji Bimo’s & Rekan, yang berkantor di Perumahan Menteng blok H Jakarta, dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Juni 2015 bertindak sebagai Penasihat Hukum untuk dan atas nama Terdakwa:
1.      Nama                           : Syafi’u Nizar
2.      Tempat lahir                : Purbalingga
3.      Umur/Tanggal lahir     : 19 tahun
4.      Jenis kelamin               : Laki-laki
5.      Kebangsaan                 : Indonesia
6.      Tempat tinggal            : Desa Ajibarang Wetan, RT 01 RW 11, kec. Ajibarang,                                            Kab. Banyumas
7.      Agama                         : Islam
8.      Pendidikan                  : SLTP
9.      Pekerjaan                     : Buruh
Dalam Perkara ini Terdakwa didakwa dengan dakwaan yang berbentuk Subsidair, dengan uraian sebagai berikut:
Primair                        : pasal 340 KUHP
subsidair                      : pasal 338 KUHP
lebih subsidair             : pasal 351 ayat (3) KUHP
Setelah membaca dan mempelajari Surat Dakwaan dan juga Surat Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa, sesuai dengan ketentuan Pasal 182 Ayat (1) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan mengajukan nota pembelaan dengan resume sebagai berikut.

PRIMAIR
1.      Unsur “Barangsiapa”
Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan unsur “barang siapa” hanya dengan argumentasi bahwa Terdakwa Syafi’u Nizar dalam persidangan dalam keadaan sehat dan tidak ada satupun alasan yang ditemukan dalam diri terdakwa untuk meniadakan atau menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tentunya argumentasi seperti ini kurang pantas untuk disampaikan dalam pengadilan untuk membuktikan unsur dalam suatu tindak pidana. Tentunya Jaksa Penuntut Umum sebagai seorang sarjana hukum, dapat memikirkan argumentasi yang lebih cerdas untuk membuktikan unsur tersebut.
Berdasarkan Pasal 340 KUHP, unsur “barangsiapa” bukan merupakan delik inti, tetapi hanya sebagai elemen delik yang menunjukan subjek hukum yang didakwa melakukan tindak pidana yang pembuktiannya bergantung kepada pembuktian unsur delik lainnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 951-K/Pid/1982 tertanggal 10 Agustus 1983 dengan nama Terdakwa Yojiro Kitajima, yang antara lain menerangkan bahwa unsur “barangsiapa” hanya merupakan kata ganti orang di mana unsur ini harus mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya. Oleh karena itu, haruslah unsur “barangsiapa” dibuktikan dengan unsur-unsur delik lainnya dalam delik yang didakwakan.
Dengan demikian, hadirnya terdakwa dalam persidangan tidaklah berarti unsur “barangsiapa” langsung terbukti, tanpa dibuktikannya juga unsur-unsur delik lainnya.Setelah terbukti unsur-unsur lainnya barulah Jaksa Penuntut Umum dapat menyatakan bahwa unsur “barangsiapa” telah terbukti.
Dengan demikian unsur “barangsiapa” TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
2.      Unsur “Dengan Sengaja Dan Direncanakan Terlebih Dahulu”
Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana merupakan salah satu unsur yang terpenting. Berkaitan dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila dalam rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja  atau biasa disebut opzettelijk, maka unsur kesengajaan ini meliputi semua unsur lain yang dibelakangnya harus dibuktikan.
Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukanya itu dilakukan “dengan sengaja,” terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau menurut penjelasan MvT (Memorie van Toelechting) bisa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan “dengan sengaja” itu haruslah memenuhi rumusan willens yaitu harus menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens yaitu harus mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Jika dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai “dengan sengaja” adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari pebuatanya tersebut yang menjadi maksud dari dilakukanya perbuatan itu. Maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatanya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Mengenai unsur “direncanakan terlebih dahulu” dalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud sebagai direncakan terlebih dahulu. Namun, penjelasan tentang unsur direncanakan terlebih dahulu dapat dilihat dalam MvT (Memorie van Toelichting) yang menyatakan bahwa istilah met voorbedachte rade atau “dengan rencana terlebih dahulu” menunjuk pada suatu saat untuk menimbang dengan tenang. Istilah tersebut merupakan kebalikan dari pertumbuhan kehendak yang dengan tiba-tiba.Bahwa tidak ada ketentuan berapa lamanya harus berlaku diantara saat timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan itu dengan saat dilaksanakanya. Akan tetapi, nyatalah harus ada suatu antara dimana ia dapat menggunakan pikiranya tentang guna merencanakan segala sesuatunya. Begitupula menurut R. Soesilo dalam bukunya Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penegak Hukum), halaman 203, menyatakan, bahwa saat antara timbulnya kehendak dengan pelaksanaanya tidak boleh terlalu sempit, tetapi juga sebaliknya tidak perlu terlalu lama, yang terpenting adalah apakah di dalam tempo itu pelaku sudah memiliki kesempatan untuk berubah pikiran dan tidak jadi melanjutkan perbuatanya.
Dalam konteks Pasal 340 KUHP, untuk lebih jelasnya lagi, terkandung tiga syarat yaitu, memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak itu, dan  pelaksanaan kehendak tersebut dalam suasana tenang. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang mengandung maksud bahwa memutuskan kehendak dengan tenang. Artinya pada saat pelaku memutuskan kehendaknya untuk membunuh, keadaan batin orang tersebut dalam keadaan tenang, tidak berada dalam keadaan tergesa-gesa, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak berada dalam keadaan emosi tinggi. Maka dari itu kehendak yang diputuskan oleh pelaku merupakan kehendak yang dilakukan dalam suasana batin yang tenang.
Tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak itu. Merupakan syarat yang bersifat relatif. Persoalanya adalah bukan lamanya waktu.Tersedianya waktu yang cukup mengandung pengertian bahwa dalam tempo waktu yang tersedia itu, pelaku masih dapat berpikir dengan tenang.Jadi persoalanya tidak pada masalah lamanya waktu, tetapi persoalan lamanya waktu yang cukup itu lebih mengarah pada penggunaan waktu yang tersedia itu. Artinya, apakah dalam waktu yang tersedia itu benar-benar telah dapat untuk berpikir dengan tenang atau tidak. Sekalipun masalah tersedianya waktu yang cukup itu tidak menunjuk pada persoalan lamanya waktu, tetapi tersedianya waktu yang cukup tersebut, tidak boleh menunjuk pada suatu waktu yang terlalu singkat. Sebab apabila terlalu singkat kesempatan untuk berfikir dengan tenang tersebut mungkin tidak terjadi.
Tidak mungkin rasanya seseorang dapat berpikir dengan tenang dalam waktu yang singkat, biasanya dalam waktu yang sangat singkat itu orang justru berfikir secara tergesa-gesa, panik dan tidak terencana.Apabila waktu yang tersedia itu tidak cukup dan diikuti pula dengan perasaan takut, khawatir dan sebagainya. Dalam waktu yang demikian, jelas sama sekali tidak menggambarkan suasana batin yang tenang.
Berdasarkan uraian tersebut terkait dengan “dengan sengaja”, bisa dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatanya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan sebab antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukum pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu. Sebab pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya secara jelas dapat ditimpakan kepada pelaku. Tetapi jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya itu.
Terkait konteks “dengan rencana terlebih dahulu”, maka apabila pikiran-pikiran untuk membunuh tersebut dalam keadaan marah, tidak tenang, waktu yang terlalu singkat, yang berakibat akan berfikir secara tergesa-gesa, panik, dan tidak terencana, dan dalam suatu suasana kejiwaan yang tidak memungkinkan untuk berfikir dengan tenang, maka disitu tidak ada unsur perencanaan. 
Dengan demikian, unsur “Dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
3.      Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu haruslah merupakan perbuatan yang positif atau aktif walaupun dengan perbuatan sekecil apapun. Jadi perbuatan tersebut haruslah diwujudkan secara aktif dengan gerakan sebagian anggota tubuh. Oleh karenanya perbuatanya dapat berupa bermacam-macam perbuatan. Dimana perbuatan tersebut berujung dengan timbulnya suatu akibat hilangnya nyawa orang sebagai persyaratan mutlak.
Dalam unsur “merampas nyawa orang lain” terdapat sifat obyektif dan subyektif, sifat obyektif yaitu dilihat dari perbuatanya yang menghilangkan nyawa dengan obyek orang lain. Sifat subyektif yaitu dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat syarat-syarat yang harus dipatuhi, yaitu adanya wujud perbuatan, adanya suatu kematian orang lain, dan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat kematian orang lain.
Terhadap unsur ini, Saudara Penuntut Umum menyatakan Terdakwa telah merampas nyawa orang lain yaitu korban Fahmi Cipta Pratama alias Mboy. Meskipun demikian konstruksi hukumnya, kami selaku Penasihat Hukum berbeda pendapat dengan Penuntut Umum.Hal ini berkaitan dengan perbuatan Terdakwa terhadap Korban yang tidak dapat dilakukan penuntutan hukuman lagi meskipun dalam faktanya terungkap dari keterangan terdakwa telah menghilangkan nyawa Korban, namun tanpa didukung saksi yang mengetahui kejadian secara langsung sehingga meyebabkan potensi terjadinya kesalahan terbuka lebar untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Dengan Demikian, Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

SUBSIDAIR
1.      Unsur “Barangsiapa”
Unsur “Barangsiapa” telah diuraikan dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.
2.      Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain” telah diuraikan dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.

PERMOHONAN
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan juga analisis yang telah kami paparkan, maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa dengan segala kerendahan hati kami, memohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara pembunuhan untuk menjatuhkan Putusan dengan amar sebagai berikut:
PRIMAIR
  1. Menyatakan nota pembelaan (pledoi) terdakwa diterima seluruhnya;
  2. Menyatakan hasil berita acara pemeriksaaan (BAP) oleh penyidik dari kepolisian sector setiabudi terhadap terdakwa melanggar ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dan BAP tersebut batal demi hukum dan/atau dibatalkan;
  3. Menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa dalam perkara pidana nomor: 941/PID.B/2015/PN.JKT.SEL, adalah batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan;
  4. Menyatakan surat tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, mengingat BAP kepolisian sector setiabudi dan dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum dan/atau dibatalkan karena melanggar ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP;
  5. Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh saudara jaksa penuntut umum dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan;
  6. Atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging)
  7. Memerintahkan saudara jaksa penuntut umum untuk segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan;
  8. Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat terdakwa kedalam kedudukan semula;
  9. Membebankan ongkos perkara kepada negara.
SUBSIDAIR
Apabila Majelis Hakim pemeriksa perkara pembunuhan berpendapat lain, maka kami memohon agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).
Demikianlah Nota Pembelaan ini kami bacakan dan serahkan pada hari Senin, 20 Agustus 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan memberikan bimbingan kepada Majelis Hakim, agar dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan membawa manfaat bagi semua pihak.

Hormat Kami,
         Penasihat Hukum Terdakwa


  Panji Patriatama, S.H