Friday, 22 May 2015

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
A.    PENGERTIAN PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha.

Sedangkan menurut Halim (1990: 136) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu. Menurut Pasal 1 ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15A/MEN/1994, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ialah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.

B.     KETENTUAN PHK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003
Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
  1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus,
  2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
  3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya,
  4. Pekerja/buruh menikah,
  5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya,
  6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
  7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau bedasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
  8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan,
  9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan,
  10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

C.    JENIS-JENIS PHK
Dalam literatur Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK yaitu:
·         Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a.       Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b.      Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.       Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.      Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.       Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.       Menbujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.      Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;
h.      Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i.        Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.        Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kesalahan berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a)      Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b)      Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
c)      Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

·         Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1)      Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
2)      Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3)      Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
4)      Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5)      Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6)      Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169 ayat 1).
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat:
a.       Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.      Tidak terikat dalam ikatan dinas;
c.       Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

·         Hubungan kerja putus demi hukum
Selain pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
a)      Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b)      Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c)      Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam peerjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d)     Pekerja/buruh meninggal dunia.

·         Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan yang penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.

D.    MEKANISME PELAKSANAAN PHK
Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang pemberhentian terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar (2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
1.      Musyawarah karyawan dengan pemimpin perusahaan.
2.      Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3.      Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.
4.      Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.
5.      Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri. (Rahardjo, 2013)
Berikut adalah prosedur PHK menurut UU No 13 Th 2003:
§  Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 151 Ayat 1)
§  Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (Pasal 151 Ayat 1)
§  Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama
§  Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan- alasannya kepada pengadilan hubungan industrial (Pasal 151 ayat 3 dan Pasal 152 Ayat 1)
§  Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat 2)
§  Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsingkepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 ayat 3).
Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.
Adapun prosedur untuk Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :
  1. Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan skorsing telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  2. Dalam hal pengusaha melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib membayar upah selama skorsing paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah yang diterima pekerja/buruh.
  3. Skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri.
  4.  Pemberian upah selama skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.
  5. Setelah masa skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban membayar upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Pasal 17A Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001 menyatakan :
a.       Dalam hal pengusaha mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja belum diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama proses 100% (seratus perseratus).
b.      Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan permohonan ijin, pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka sebelum ada putusan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh selama proses dibayar 100% (seratus persen). (anonim, 2009)

E.     KOMPENSASI BAGI PEKERJA YANG DI PHK
Bila seorang pekerja di PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu :
1)      Uang Pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
2)      Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), adalah pemberian uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penghargaanberdasarkan masa kerja akibat adanya PHK.
3)      Uang Ganti Kerugian, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai ganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, dan fasilitas perumahan.
4)      Uang Pisah, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh atas pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu ditujukan secara tertulis 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.(Adisu, 2008)
Perhitungan uang pesangon diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
  1. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  2. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2(dua) tahun, 2 (bulan) upah;
  3. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  4. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  5. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  6. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  7. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  8. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  9. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
  1. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 27 (dua puluh tujuh) tahun, 9 (sembilan) bulan upah;
Sedangkan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 154 ayat 4).
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:
  1. Upah pokok;
  2. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157 ayat 2). Sedangkan untuk upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. Bagi pekerjaan yang tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.



DAFTAR PUSTAKA
Adisu, Edytus.2008. Hak Karyawan atas Gaji dan Pedoman Menghitung: Gaji Pokok, Gaji    Lembur, Gaji Sundulan, Intensif-Bonus-THR, Pajak atas Gaji, Iuran Pensiunan-Pesangon, Iuran Jamsostek/Dana Sehat. Jakarta: Niaga Swadaya.
Anonim. 2009. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja. http://advokatku.blogspot.com/2009/06/prosedur-pemutusan-hubungan-kerja.html. Diakses pada tanggal 2 Januari 2014.
Husni, Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Khakim, Abdul. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Raharjo, Joko. 2013. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Platinum.

Zurnali, cut. 2011. PHK dan Penerapan Hak-Hak Pekerja/Buruh.