PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA (PHK)
A.
PENGERTIAN PHK
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara perusahaan dengan
pekerja yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha.
Sedangkan
menurut Halim (1990: 136) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu
langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal
tertentu. Menurut Pasal 1 ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
KEP-15A/MEN/1994, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ialah pengakhiran hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia
Pusat.
B.
KETENTUAN PHK MENURUT UNDANG-UNDANG
NO. 13 TAHUN 2003
Pasal
153 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan Pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
- Pekerja/buruh berhalangan masuk
kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui
12 (dua belas) bulan secara terus-menerus,
- Pekerja/buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
- Pekerja/buruh menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya,
- Pekerja/buruh menikah,
- Pekerja/buruh perempuan hamil,
melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya,
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian
darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam
satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi
anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh
melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau
di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau bedasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama,
- Pekerja/buruh yang mengadukan
pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan,
- Karena perbedaan paham, agama, aliran
politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau
status perkawinan,
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat
tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja
yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya
belum dapat dipastikan.
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal
demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.
C.
JENIS-JENIS PHK
Dalam
literatur Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK
yaitu:
·
Pemutusan hubungan kerja oleh
pengusaha
Pengusaha
dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a. Melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. Memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. Mabuk,
meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. Melakukan
perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang,
menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di
lingkungan kerja;
f. Menbujuk
teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
g. Dengan
ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;
h. Dengan
ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan
bahaya di tempat kerja;
i.
Membongkar atau membocorkan rahasia
perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.
Melakukan perbuatan lainnya di
lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
(Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kesalahan
berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a) Pekerja/buruh
tertangkap tangan;
b) Ada
pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
c) Bukti
lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
·
Pemutusan hubungan kerja oleh
buruh/pekerja
Pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan sebagai berikut:
1) Menganiaya,
menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
2) Membujuk
dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
3) Tidak
membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
4) Tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5) Memerintahkan
pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6) Memberikan
pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian
kerja (Pasal 169 ayat 1).
Pekerja/buruh
dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan
sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud
di atas harus memenuhi syarat:
a. Mengajukan
permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. Tidak
terikat dalam ikatan dinas;
c. Tetap
melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
·
Hubungan kerja putus demi hukum
Selain
pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan kerja juga dapat
putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan
sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan
penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
a) Pekerja/buruh
masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya;
b) Pekerja/buruh
mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri
tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama
kali;
c) Pekerja/buruh
mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam peerjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan; atau
d) Pekerja/buruh
meninggal dunia.
·
Pemutusan hubungan kerja oleh
pengadilan
Yang
dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan
(majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan yang penting adalah
disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan
pemohon atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa
sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.
D.
MEKANISME PELAKSANAAN PHK
Pemberhentian
Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai
dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang
pemberhentian terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar
(2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
1. Musyawarah
karyawan dengan pemimpin perusahaan.
2. Musyawarah
pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3. Musyawarah
pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.
4. Musyawarah
pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.
5. Pemutusan
hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri. (Rahardjo, 2013)
Berikut
adalah prosedur PHK menurut UU No 13 Th 2003:
§ Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal
151 Ayat 1)
§ Dalam
hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh. (Pasal 151 Ayat 1)
§ Jika
perundingan berhasil, buat persetujuan bersama
§ Jika
tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis
disertai dasar dan alasan- alasannya kepada pengadilan hubungan industrial
(Pasal 151 ayat 3 dan Pasal 152 Ayat 1)
§ Selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya (Pasal 155 ayat 2)
§ Pengusaha
dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berupa tindakan skorsingkepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 ayat 3).
Pasal
16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001
tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Kep-150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan
menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu
perusahaan.
Adapun
prosedur untuk Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :
- Sebelum ijin pemutusan hubungan
kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pengusaha dapat
melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan skorsing telah
diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
- Dalam hal pengusaha melakukan
skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha wajib membayar upah
selama skorsing paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus)
dari upah yang diterima pekerja/buruh.
- Skorsing sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas, dan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela diri.
- Pemberian upah selama
skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.
- Setelah masa skorsing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban
membayar upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah atau Panitia
Pusat.
Pasal
17A Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001
menyatakan :
a. Dalam
hal pengusaha mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja
belum diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus
tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama
proses 100% (seratus perseratus).
b. Dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan
permohonan ijin, pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka
sebelum ada putusan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh
selama proses dibayar 100% (seratus persen). (anonim, 2009)
E.
KOMPENSASI BAGI PEKERJA YANG DI PHK
Bila
seorang pekerja di PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu
:
1) Uang
Pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
2) Uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK), adalah pemberian uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai penghargaanberdasarkan masa kerja akibat adanya PHK.
3) Uang
Ganti Kerugian, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja/buruh sebagai ganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan,
dan fasilitas perumahan.
4) Uang
Pisah, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh atas
pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu
ditujukan secara tertulis 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang besar
nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.(Adisu, 2008)
Perhitungan
uang pesangon diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai berikut:
- Masa kerja kurang dari 1 (satu)
tahun, 1 (satu) bulan upah;
- Masa kerja 1 (satu) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 2(dua) tahun, 2 (bulan) upah;
- Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- Masa kerja 3 (tiga) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- Masa kerja 4 (empat) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- Masa kerja 5 (lima) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- Masa kerja 6 (enam) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- Masa kerja 8 (delapan) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan
uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
- Masa kerja 3 (tiga) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- Masa kerja 6 (enam) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- Masa kerja 12 (dua belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- Masa kerja 15 (lima belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
- Masa kerja 18 (delapan belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah;
- Masa kerja 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
- Masa kerja 24 (dua puluh empat)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 27 (dua puluh tujuh) tahun, 9
(sembilan) bulan upah;
Sedangkan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:
- Cuti tahunan yang belum diambil dan
belum gugur;
- Biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima
bekerja;
- Penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
(Pasal 154 ayat 4).
Komponen
upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda,
terdiri atas:
- Upah pokok;
- Segala macam bentuk tunjangan yang
bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya,
termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh
secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan
subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan
harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Dalam
hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157
ayat 2). Sedangkan untuk upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan
satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah
sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota. Bagi pekerjaan yang tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya
didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah
rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
DAFTAR
PUSTAKA
Adisu, Edytus.2008. Hak
Karyawan atas Gaji dan Pedoman Menghitung: Gaji Pokok, Gaji
Lembur, Gaji Sundulan, Intensif-Bonus-THR, Pajak atas Gaji, Iuran
Pensiunan-Pesangon, Iuran Jamsostek/Dana Sehat. Jakarta: Niaga Swadaya.
Anonim. 2009. Prosedur
Pemutusan Hubungan Kerja. http://advokatku.blogspot.com/2009/06/prosedur-pemutusan-hubungan-kerja.html.
Diakses pada tanggal 2 Januari 2014.
Husni, Lalu. 2010. Pengantar
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Khakim, Abdul. 2003. Pengantar
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Raharjo, Joko. 2013.
Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Platinum.
Zurnali, cut. 2011. PHK
dan Penerapan Hak-Hak Pekerja/Buruh.