hukum keluarga dan perkawinan |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pernikahan
dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri.
Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah, keinginan untuk
membangun keluarga inilah yang menghindarkan kaum muda dari fantasi ter-hadap
mimpi-mimpi yang tak masuk akal dan segala kecemasan bathin. Pernikahan dapat
membuat mereka menemukan pasangan yang baik serta yang mau berbagi rasa dalam
masa-masa susah dan bahagia.
Bila
pasangan-pasangan itu sadar akan hak dan kewajiban serta tugas masing-masing
dan mengerjakannya sesuai dengan kemampuannya, maka rumah tangga akan menjadi
tempat menjalin persahabatan, tetapi jika ada konflik dalam keluarga, rumah
tangga akan berubah jadi penjara, itu semua akibat lalainya akan hak dan kewajiban
antara suami dan istri dan juga sebagai faktor utamanya adalah ketidakpedulian
suami dan istri atas tugas masing-masing dan ketidaksiapan mereka memasuki
jenjang kehidupan dalam pernikahan biasanya untuk melaksanakan suatu tugas.
Keahlian dan kesiapan melaksanakannya merupakan suatu syarat, jika seseorang
kurang berpenga-laman dan kurang siap maka tidak akan dapat mencapai tujuan
yang dicita-citakan.
Apabila
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing terlaksana secara terarah dan
baik maka dapat dihindari permasalahan rumah tangga, namun jika hak dan
kewajiban tidak dapat terpenuhi secara baik maka dapat terjadi keretakan dalam
rumah tangga yaitu seperti halnya perceraian yang mana dapat menelantarkan
status anak yang menjadi kewajiban suami atau istri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian perkawinan?
2. Bagaimana
putusnya perkawinan?
3. Apa
akibat perceraian menurut hukum adat?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian perkawinan.
2. Untuk
mengetahui tentang putusnya perkawinan.
3. Untuk
mengetahui akibat dari perceraian menurut hukum adat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERKAWINAN
Perkawinan
secara ta’rif adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.
Perkawinan
menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkankebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta rasa
kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.
Menurut
Undang-undang perkawinan (undang-undang no. 1 tahun 1974) pengertian perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Arti Perkawinan dalam Hukum
Perkawinan Adat
Arti
perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut hubungan
antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah
pihak mempelai seperti saudara-saudara atau keluarga kedua mempelai.
Menurut
M.M. Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan
suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga
merupakan suatu paguyuban.
Hukum Adat Perkawinan
Hukum
adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bentuk-bentuk
perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di
Indonesia.4 Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama
dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan
kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu juga sudah mengalami pergeser dan juga
telah terjadi perkawinan campuran antar suku, adat istiadat. Misalnya
perkawinan antara Edhie Baskoro Yudhoyono dengan Aliya yang merupakan
perkawinan campuran antara adat Palembang dengan adat Jawa.Walaupun sudah
berlaku undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku di seluruh
Indonesia, namun di berbagai daerah dan berbagai golongan masih berlaku hukum
perkawinan adat. Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan
67 pasal mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan
kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan,
kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di dalam
undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan,
upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada dalam lingkup hukum
adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang perkawinan yang berkaitan
dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh diberlakukan di Indonesia asal
tidak menyimpang dari makna perkawinan itu sendiri.
B.
PUTUSNYA
PERKAWINAN
a. Alasan-alasan
putusnya perkawinan
Menurut
Pasal 199 KUHPdt, perkawinan putus (perkawinan bubar) karena:
1) Kematian.
2) Kepergian
suami atau isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan
orang lain.
3) Putusan
hakim setelah adanya perpisahan mejamakan dan tempat tidur selama 5 tahun.
4) Perceraian.
b. Perpisahan
meja dan tempat tidur
1) Pengertian
perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan
tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan isteri yang tidak mengakhiri
pernikahan. Akibat yang terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi
suami-isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta
benda adalah sama dengan perceraian. Dengan demikian, perkawinan belum menjadi
bubar dengan adanya perpisahan meja dan tempat tidur.
2) Cara-cara
pengajuan perpisahan meja dan tempat tidur Alasan-alasan suami-isteri
mengajukan permohonan perpisahan meja dan tempat tidur adalah:
a) Semua
alasan untuk perceraian, seperti: zinah, ditinggalkan dengan sengaja,
penghukuman, penganiayaan berat, cacad badan/penyakit pada salah satu pihak,
suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal -233 ayat 1);
b) Berdasarkan
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar,
yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain (Pasal 233 ayat
2).
Cara
pengajuan permohonan, pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap perpisahan meja
dan tempat tidur adalah dengan cara yang sama dengan seperti dalam hal
perceraian (Pasal 234). Di samping itu, perpisahan meja dan tempat tidur ini
dapat diajukan tanpa alasan, dengan syarat:
a) Perkawinan
harus telah berjalan 2 tahun atau lebih (Pasal 236 ayat 2);
b) Suami
dan isteri harus membuat perjanjian dengan akta otentik mengenai perpisahan
diri mereka, mengenai penunaian kekuasaan orang tua, dan mengenai usaha
pemeliharaan serta pendidikan anak-anak mereka (Pasal 237 ayat 1).
3) Pengumuman
keputusan perpisahan meja dan tempat tidur
Keputusan
mengenai perpisahan meja dan tempat tidur harus diumumkan dalam Berita Negara.
Selama pengumuman itu belum berlangsung, keputusan tidak berlaku bagi pihak
ketiga (Pasal 245). Setelah men-dengar dari keluarga suami-isteri dan keputusan
perpisahan meja dan tempat tidur diucapkan oleh Hakim, maka ditetapkanlah siapa
dari kedua orang tua itu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua. Penetapan
ini berlaku setelah keputusan perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai
kekuatan hukum (Pasal 246).
4) Akibat
dari perpisahan meja dan tempat tidur
Akibat dari perpisahan meja dan tempat
tidur ini adalah:
a) Suami-isteri
dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila perpisahan
meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan tanpa
adanya perdamaian (Pasal 200);
b) Pembebasan
dari kewajiban bertempat-tinggal bersama (Pasal 242);
c) Berakhirnya
persatuan harta kekayaan (Pasal 243);
d) Berakhirnya
kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan isteri (Pasal 244).
5) Batalnya
perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan
meja dan tempat tidur demi hukum menjadi batal apabila suami-isteri rujuk
kembali dan semua akibat dari perkawinan antara suami-isteri hidup kembali,
namun semua perbuatan perdata dengan pihak ketiga selama perpisahan tetap
berlaku (Pasal 248 KUHPdt).
c. Perceraian
1) Pengertian
perceraian
Perceraian adalah
pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas
tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan. Menurut
Pasal 208 KUHPdt, perceraian atas persetujuan suami-isteri tidak diperkenankan.
2) Alasan-alasan
perceraian
Menurut Pasal 209
KUHPdt, alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah:
a) Zinah.
b) Meninggalkan
tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c) Mendapat
hukuman penjara 5 tahun atau lebih karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan.
d) Penganiayaan
berat, yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya, sehingga
membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.
3) Tata
cara perceraian
a) Gugatan
perceraian: Tuntutan untuk perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan
Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat
tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus
diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri sebenarnya. Jika suami
pada saat tersebut tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman
sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri
tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207);
b) Gugatan
perceraian gugur demikian juga hak untuk menuntut gugur apabila:
1. Antara
suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216);
2. Suami
atau isteri meninggal dunia sebelum ada ke-putusan (Pasal 220);
c) Pemeriksaan
di pengadilan: Si isteri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat
maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh meninggalkan rumah si
suami dengan izin hakim (Pasal 212 ayat 1). Selama perkara berjalan, hak-hak si
suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak
mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya (Pasal 215 ayat 1).
Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan
pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada
orang tua yang lain, atau kepada seorang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan,
atau pun kepada Dewan Perwalian. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh
dimohonkan banding (Pasal 214);
d) Putusan
Pengadilan: Perkawinan bubar karena kepu-tusan perceraian dan pembukuan
perceraian itu dalam register Pegawai Catatan Sipil (Pasal 221 ayat 1)
4) Akibat
perceraian
Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian menurut KUHPdt adalah:
a) Kewajiban
suami atau isteri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau isteri yang
menang dalam tuntutan perceraian (Pasal 222). Kewajiban memberikan tunjangan
nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri (Pasal 227).
b) Pengadilan
menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian
terhadap anak-anak mereka (Pasal 229).
c) Apabila
suami dan isteri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang, maka demi
hukum segala akibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah tak pernah
ada perceraian (Pasal 232 KUHPer).
C.
AKIBAT
HUKUM PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT
Perceraian
mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun
dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.
Akibat
pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup
sendiri-sendiri secara terpisah.
Dalam
pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan
akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak
serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua
selama perkawinan. Adanya putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka
akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri
masing-masing terhadapnya.
Seperti
yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat
hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut:
a. Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut.
c. Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Oleh
karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian,
telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
Terhadap Hubungan Suami-Istri
Meskipun
diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan
ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut
mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga.
Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan.
Seorang
istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau
melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni
selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari
(Pasal 39 ayat (1) huruf a). Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabila
ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk
dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1)
huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal
tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau
tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi
dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai
masa iddah.
Terhadap Anak
Suami
yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya,
yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu,
sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus
terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta
mempunyai penghasilan sendiri.
Baik
bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung
jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami
tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya
anak-anak.
Terhadap Harta Bersama
Akibat
lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya
mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang
Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut,
yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum lain-lainnya.
Memperhatikan
pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak
memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila
terjadi perceraian. Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada
lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai
dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup”
dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada.
Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan
pembagian:
1. Dilakukan
berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup
dalam mengatur tata cara perceraian;
2. Aturan
pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
3. Atau
hukum-hukum lainnya.
Harta
bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak
masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal
tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat
kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
Mengenai
penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam
menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum
Perdata.
Terhadap Nafkah
Menurut
pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya
tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri
yang bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya
mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah
yang lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah,
suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi. Bahkan sesudah masa
iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumah suaminya andaikata ia masih
hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya.
Jadi
baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal
dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak
menerima atas biaya penghidupan. Ketentuan itu bisa dengan damai atas
persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya hidupnya atau dapat
pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak dengan sukarela
menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut.
Ketentuan
kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang Perkawinan
diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi :
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Dan
apabila bekas istri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah
sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas
istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada
hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran.
Untukmangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini
manusiabisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi
dansaling menjaga satu sama lainnya.
Dalam
hubungannya antara manusia yang satudan manusia yang lain tentu harus ada
norma-norma atau nilai-nilai yang harusdipatuhi. Manusia tidak lantas bebas
berbuat apa saja dengan manusia yang lain.Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan
atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus
mensahkannya dengan perkawinan. Dankemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut
sehingga perkawinan tersebutmemperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama
maupun dari segi hukum. Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja
yang berjalantidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah
jalan. Dan halitu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain.
Perkawinan
dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu kematian, perceraian dan atas Keputusan
Pengadilan. Meskipun dalam suatu perkawinan kelak akan terjadi banyakmasalah,
tetapi alangkah lebih baiknya kalau permasalahan itu masih bisadiselesaikan
dengan cara baik-baik, jangan pernah berfikiran Pemutusanperkawinan adalah jalan
satu-satunya. Kecuali memang perkawinan ituputus disebabkan oleh kematian. kita
tidak bisa menolaknya. Karenakematian adalah hak prerogatif Tuhan.
Saran-Saran
Pembinaan mental agama yang lebih baik dan sesuai dengan kemajuan zaman
hendaknya harus lebih ditingkatkan, baik ditengah-tengah masyarakat maupun
disekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang berhubungan dengan kesadaran atau
tanggung jawab mengenai hidup bahagia dalam rumah tangga untuk memperoleh
keturunan yang baik terhindar dari segala dosa dan dari perceraian yang
dibenci Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara
di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001
Ko Tjay Sing, S.H. Hukum Perdata, Jilid
I Hukum Keluarga
H.M. Djamil Latif, S.H. Aneka hukum
Perceraian di Indonesia