Friday 22 May 2015

MAKALAH HUKUM KELUARGA DAN PERKAWINAN

hukum keluarga dan perkawinan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah, keinginan untuk membangun keluarga inilah yang menghindarkan kaum muda dari fantasi ter-hadap mimpi-mimpi yang tak masuk akal dan segala kecemasan bathin. Pernikahan dapat membuat mereka menemukan pasangan yang baik serta yang mau berbagi rasa dalam masa-masa susah dan bahagia.

Bila pasangan-pasangan itu sadar akan hak dan kewajiban serta tugas masing-masing dan mengerjakannya sesuai dengan kemampuannya, maka rumah tangga akan menjadi tempat menjalin persahabatan, tetapi jika ada konflik dalam keluarga, rumah tangga akan berubah jadi penjara, itu semua akibat lalainya akan hak dan kewajiban antara suami dan istri dan juga sebagai faktor utamanya adalah ketidakpedulian suami dan istri atas tugas masing-masing dan ketidaksiapan mereka memasuki jenjang kehidupan dalam pernikahan biasanya untuk melaksanakan suatu tugas. Keahlian dan kesiapan melaksanakannya merupakan suatu syarat, jika seseorang kurang berpenga-laman dan kurang siap maka tidak akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Apabila dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing terlaksana secara terarah dan baik maka dapat dihindari permasalahan rumah tangga, namun jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi secara baik maka dapat terjadi keretakan dalam rumah tangga yaitu seperti halnya perceraian yang mana dapat menelantarkan status anak yang menjadi kewajiban suami atau istri.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian perkawinan?
2.      Bagaimana putusnya perkawinan?
3.      Apa akibat perceraian menurut hukum adat?


C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian perkawinan.
2.      Untuk mengetahui tentang putusnya perkawinan.
3.      Untuk mengetahui akibat dari perceraian menurut hukum adat.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERKAWINAN
Perkawinan secara ta’rif adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.           
Perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkankebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta rasa kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.  
Menurut Undang-undang perkawinan (undang-undang no. 1 tahun 1974) pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  
Arti Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat          
Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut hubungan antara kedua belah pihak mempelai seperti saudara-saudara atau keluarga kedua mempelai.
Menurut M.M. Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu paguyuban.           
Hukum Adat Perkawinan   
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.4 Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu juga sudah mengalami pergeser dan juga telah terjadi perkawinan campuran antar suku, adat istiadat. Misalnya perkawinan antara Edhie Baskoro Yudhoyono dengan Aliya yang merupakan perkawinan campuran antara adat Palembang dengan adat Jawa.Walaupun sudah berlaku undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku di seluruh Indonesia, namun di berbagai daerah dan berbagai golongan masih berlaku hukum perkawinan adat. Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di dalam undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan, upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu sendiri.

B.     PUTUSNYA PERKAWINAN
a.       Alasan-alasan putusnya perkawinan
Menurut Pasal 199 KUHPdt, perkawinan putus (perkawinan bubar) karena:
1)      Kematian.
2)      Kepergian suami atau isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain.
3)      Putusan hakim setelah adanya perpisahan mejamakan dan tempat tidur selama 5 tahun.
4)      Perceraian.
b.      Perpisahan meja dan tempat tidur
1)      Pengertian perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan isteri yang tidak mengakhiri pernikahan. Akibat yang terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi suami-isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian. Dengan demikian, perkawinan belum menjadi bubar dengan adanya perpisahan meja dan tempat tidur.
2)      Cara-cara pengajuan perpisahan meja dan tempat tidur Alasan-alasan suami-isteri mengajukan permohonan per­pisahan meja dan tempat tidur adalah:
a)      Semua alasan untuk perceraian, seperti: zinah, ditinggalkan dengan sengaja, penghukuman, penganiayaan berat, cacad badan/penyakit pada salah satu pihak, suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal -233 ayat 1);
b)      Berdasarkan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar, yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain (Pasal 233 ayat 2).
Cara pengajuan permohonan, pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap perpisahan meja dan tempat tidur adalah dengan cara yang sama dengan seperti dalam hal perceraian (Pasal 234). Di samping itu, perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat diajukan tanpa alasan, dengan syarat:
a)      Perkawinan harus telah berjalan 2 tahun atau lebih (Pasal 236 ayat 2);
b)      Suami dan isteri harus membuat perjanjian dengan akta otentik mengenai perpisahan diri mereka, mengenai penunaian kekuasaan orang tua, dan mengenai usaha pemeliharaan serta pendidikan anak-anak mereka (Pa­sal 237 ayat 1).
3)      Pengumuman keputusan perpisahan meja dan tempat tidur                                               
Keputusan mengenai perpisahan meja dan tempat tidur harus diumumkan dalam Berita Negara. Selama pengumuman itu belum berlangsung, keputusan tidak berlaku bagi pihak ketiga (Pasal 245). Setelah men-dengar dari keluarga suami-isteri dan keputusan perpisahan meja dan tempat tidur diucapkan oleh Hakim, maka ditetapkanlah siapa dari kedua orang tua itu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua. Penetapan ini berlaku setelah keputusan perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal 246).
4)      Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur
Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur ini adalah:
a)      Suami-isteri dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila perpisahan meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan tanpa adanya perdamaian (Pasal 200);
b)      Pembebasan dari kewajiban bertempat-tinggal bersama (Pasal 242);
c)      Berakhirnya persatuan harta kekayaan (Pasal 243);
d)     Berakhirnya kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan isteri (Pasal 244).
5)      Batalnya perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur demi hukum menjadi batal apabila suami-isteri rujuk kembali dan semua akibat dari perkawinan antara suami-isteri hidup kembali, namun semua perbuatan perdata dengan pihak ketiga selama perpisahan tetap berlaku (Pasal 248 KUHPdt).
c.       Perceraian
1)      Pengertian perceraian
Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan. Menurut Pasal 208 KUHPdt, perceraian atas persetujuan suami-isteri tidak diperkenankan.
2)      Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 209 KUHPdt, alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah:
a)      Zinah.
b)      Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c)      Mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d)     Penganiayaan berat, yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.
3)      Tata cara perceraian
a)      Gugatan perceraian: Tuntutan untuk perceraian per­kawinan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri sebenar­nya. Jika suami pada saat tersebut tidak mempunyai tem­pat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indo­nesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207);
b)      Gugatan perceraian gugur demikian juga hak untuk menuntut gugur apabila:
1.      Antara suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216);
2.      Suami atau isteri meninggal dunia sebelum ada ke-putusan (Pasal 220);
c)      Pemeriksaan di pengadilan: Si isteri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh meninggalkan rumah si suami dengan izin hakim (Pasal 212 ayat 1). Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya (Pasal 215 ayat 1). Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada orang tua yang lain, atau kepada seorang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan, atau pun kepada Dewan Perwalian. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh dimohonkan banding (Pasal 214);
d)     Putusan Pengadilan: Perkawinan bubar karena kepu-tusan perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register Pegawai Catatan Sipil (Pasal 221 ayat 1)
4)      Akibat perceraian
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUHPdt adalah:
a)      Kewajiban suami atau isteri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau isteri yang menang dalam tuntut­an perceraian (Pasal 222). Kewajiban mem­berikan tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri (Pasal 227).
b)      Pengadilan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian terhadap anak-anak mereka (Pasal 229).
c)      Apabila suami dan isteri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang, maka demi hukum segala akibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah tak pernah ada perceraian (Pasal 232 KUHPer).

C.    AKIBAT HUKUM PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.
Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Adanya putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya.
Seperti yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut:
a.       Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
Terhadap Hubungan Suami-Istri
Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan.
Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a). Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah.
Terhadap Anak
Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.
Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.
Terhadap Harta Bersama
Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian:
1.      Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
2.      Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
3.      Atau hukum-hukum lainnya.
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.
Terhadap Nafkah
Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi. Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumah suaminya andaikata ia masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya.
Jadi baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya penghidupan. Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut.
Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi :
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Dan apabila bekas istri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Untukmangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusiabisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dansaling menjaga satu sama lainnya.
Dalam hubungannya antara manusia yang satudan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harusdipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain.Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dankemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebutmemperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum. Namun suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalantidak sesuai dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan halitu disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain.
Perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu kematian, perceraian dan atas Keputusan Pengadilan. Meskipun dalam suatu perkawinan kelak akan terjadi banyakmasalah, tetapi alangkah lebih baiknya kalau permasalahan itu masih bisadiselesaikan dengan cara baik-baik, jangan pernah berfikiran Pemutusanperkawinan adalah jalan satu-satunya. Kecuali memang perkawinan ituputus disebabkan oleh kematian. kita tidak bisa menolaknya. Karenakematian adalah hak prerogatif Tuhan.
Saran-Saran
            Pembinaan mental agama yang lebih baik dan sesuai dengan kemajuan zaman hendaknya harus lebih ditingkatkan, baik ditengah-tengah masyarakat maupun disekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang berhubungan dengan kesadaran atau tanggung jawab mengenai hidup bahagia dalam rumah tangga untuk memperoleh keturunan yang baik  terhindar dari segala dosa dan dari perceraian yang dibenci Allah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001
Ko Tjay Sing, S.H.    Hukum Perdata, Jilid I Hukum Keluarga

H.M. Djamil Latif, S.H.    Aneka hukum Perceraian di Indonesia