Friday, 22 May 2015

MAKALAH HUKUM ADAT

tradisi tujuh bulanan/keba
TRADISI ADAT TUJUH BULANAN DI MASYARAKAT PEKIRINGAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap masyarakat memiliki tradisi (adat) tertentu yang berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain. Seperti pada masyarakat di Desa Pekiringan yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa dan beragama Islam memiliki tradisi (adat) Jawa yang masih cukup kental, baik dalam persoalan tatacara perkawinan, tradisi kematian, tujuh bulanan (keba/mitoni) dalam masa kehamilan, tradisi kelahiran dan lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis khusus mengkaji proses tradisi (adat) Jawa di Desa Pekiringan mengenai tujuh bulanan (tingkeban/mitoni).
Bagi masyarakat Jawa di Desa Pekiringan, aturan adat masih dipegang dan menjadi acuan dalam bersikap atau berprilaku sehingga disebut sebagai budi pekerti Jawa. Budi pekerti Jawa adalah fenomena hati atau bathin secara sadar orang Jawa yang terpantul ke dalam tindakan. Dengan demikian, budi pekerti Jawa berarti kesadaran total tentang dunia bathin kejawaan dan praktek kejawaan. Dari makna semacam ini, dapat dikemukakan bahwa budi pekerti Jawa merupakan watak dan perbuatan orang Jawa sebagai perwujudan hasil pemikirannya.
Makna semacam itu, tidak jauh berbeda dengan pandangan Ki Hajar Dewantara bahwa budi pekerti adalah merupakan prilaku seseorang yang didasarkan kepada kematangan jiwanya. Kematangan jiwa akan melahirkan budi pekerti yang luhur. Budi pekerti luhur artinya sikap dan prilaku seseorang di samping di dasarkan kematangan jiwa (internal/daridalam) juga diselaraskan dengan qaedah social yang berlaku di masyarakat sekitarnya (eksternal/dari luar). Pendek kata orang yang berbudi pekerti luhur dalam bertindak akan menggunakan perasaan, pemikiran dan dasar pertimbangan yang jelas. Jelas, artinya ada bingkai yang mengatur dan tidak ngawur semaunya sendiri serta berdasarkan akal sehat.

Jadi, budi pekerti Jawa dengan sendirinya merupakan akumulasi dari cipta rasa karsa orang-orang Jawa yang diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi pekerti Jawa ini akan menggambarkan tabiat, watak, akhlak, dan moral, sekaligus mencerminkan sikap bathin seseorang. Sikap bathin ini yang akan tercermin dalam tingkah laku seseorang. Pencerminan bathin tersebut dalam wawasan religius disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan yang mulia), sedangkan dalam budaya Jawa disebut budi pekerti luhur. Orang Jawa yang berbudi pekerti luhur, pada dasarnya sikap dan prilakunya akan dilandasi pertimbangan baik dan buruk, kemudian memilih ke hal baik untuk dijalankannya.

Sebagaimana wawancara penulis dengan narasumber di Desa Pekiringan, salah seorangnya adalah Bapak Mulyanto yang mengatakan bahwa dalam setiap tradisi (adat) Jawa mengandung filosofis yang berkesesuaian dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Seperti dalam tradisi tujuh bulanan (keba/mitoni), mengandung nilai pengajaran hidup yang luar biasa dan tradisi ritual masyarakat Jawa ini tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk menelitinya lebih lanjut bagaimana proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yang dilakukan masyarakat Jawa Muslim di Desa Pekiringan.


B. RUMUSAN MASALAH

1.      Tradisi Tujuh Bulanan/ Keba
2.      Proses Tradisi Tujuh Bulanan/ Keba
3.      Kandungan Filosofis


C. TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu mendeskripsikan dan memahami bagaimana tradisi tujuh bulanan, proses-proses tradisi tujuh bulanan dan kandungan filosofis yang ada dalam tradisi tujuh bulanan ini. Selain itu juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum adat.

BAB II
PEMBAHASAN
  
A.    TRADISI TUJUH BULANAN / KEBA

Pekiringan adalah sebuh Desa yang berada dalam wilayah kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, menempuh jarak sekitar 45 menit dari pusat Kota Purbalingga. Warga Desa Pekiringan, menggunakan bahasa Jawa tapi kasar (ngoko), sangat sedikit sekali yang bisa berbahasa Jawa halus. Hal ini menunjukkan sudah terjadi pergeseran nilai-nilai pada masyarakat sehingga tradisi (adat) Jawa mulai terpinggirkan atau dinomor duakan. Namun, bukan dalam artian tradisi (adat) Jawa di Desa Pekiringan telah hilang. Masih ada orang-orang Jawa yang concern dengan tradisi Jawa itu sendiri walaupun jumlahnya sangat sedikit.

Rendahnya pengamalan masyarakat Jawa terhadap tradisinya ini juga membawa rendahnya pengamalan orang Jawa yang notabene beragama Islam terhadap ajaran agamanya tersebut. Hal ini, diakui oleh tokoh masyarakat Jawa di Desa Pekiringan. Akhirnya, saat sekarang ini kondisi Desa Pekiringan tidak lagi seperti dahulu. Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah seiring hilangnya kesadaran masyarakat Jawa di Desa Pekiringan akan falsafah hidup dalam budi pekerti Jawa. Selain itu masuknya kebudayaan-kebudayaan dari luar yang notabene sekarang lebih di gandrungi oleh masyarakat setempat.

Tradisi tujuh bulanan atau keba atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu :

1.      Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampura dadi manungsa.”Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di brojolkan ke bawah.
2.      Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
3.      Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan keba atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.

Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin. Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat.

Beberapa pantangan yang patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga mengarah pada budi pekerti Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah yang melintang (misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang. Jika posisi melintang akan menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila terlalu banyak akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak boleh duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk padi, sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan memalukan dan tidak enak dipandang.

Seorang suami yang dilarang menyembelih hewan, sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk lain. penganiayaan juga merupakan tindakan yang tak baik. Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau meyembelih hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak dan perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih berhati-hati. Di samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak mencacat atau membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat, adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar pasangan tersebut tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat.

Proses selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu krobongan. Krobongan adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya menghadap ke timur, dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami ketika melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun maksud pintu krobongan menghadap ke timur, dapat dikaitkan dengan asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah permulaan hidup (sangkan pararing dumadi).


B.     PROSES TRADISI TUJUH BULANAN/KEBA

Khusus yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di Desa Pekiringan, tentunya sudah kombinasi dari berbagai macam tradisi dan ajaran. Melihat landasan historis tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yaitu berasal dari ajaran agama Hindu bukan berarti apa yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang notabene muslim di Pekiringan adalah salah satu bentuk dari pengamalan ajaran agama Hindu. Hal ini, hanya bentuk keterpengaruhan dan warisan dari pendahulu (Seperti Sunan Kalijaga) yang berdakwah di tanah leluhur (pulau Jawa) dengan melakukan transformasi ajaran Islam melalui budaya dan tradisi yang berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut masyarakat Jawa.

Hal ini diakui oleh tokoh adat di Pekiringan bahwa tradisi adat Jawa adalah warisan dari para leluhur, seperti apa yang dilakukan oleh kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau kita lihat pola dakwah yang dikembangkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga adalah melalui tradisi atau budaya yang dianut oleh masyarakat kala itu. Hal ini yang menjadi salah satu factor keberhasilan dakwah Islam khususnya yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Makanya, dalam ritual tradisi adat Jawa, seperti tujuh bulanan (keba/mitoni) dalam pembukaan yang dipimpin oleh tokoh adat yang disebut ngujutne (pembukaan ritual) selalu diterakan nama kanjeng Sunan Kalijaga.

Adapun kandungan dari “ngujutne” ini adalah proses tradisi ritual adat dari tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang paling penting terkandung dalam prosesi tujuh bulanan (keba/mitoni) sebagaimana terdapat dan diulang berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo” (Bayinya lahir dengan selamat, tidak ada halangan sedikitpun, semuanya lancar dan sehat wal’afiat). Secara rinci proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, proses tujuh bulanan ini dilaksanakan setiap kandungan sedang memasuki masa tujuh bulan yaitu pada tanggal 7 dan 17. Sebelum pelaksanaan malam harinya diadakan selamatan dan doa bersama, dalam selamatan ini tidak boleh menggunakan doa kubur tetapi doa-doa khusus tujuh bulanan.

Kedua, siraman yang dilakukan oleh dukun bayi dan Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar setaman oleh dukun bayi. Sekar setaman adalah air suci yang diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi. Dukun bayi yang bertugas menyiram sebanyak tujuh (pitu) kali. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan.

Kedua, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan.


Ketiga, wanita hamil lalu berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan diakhiri dengan kain bermotif sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini, dapat dirunut dari makna kata sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Hal ini sekaligus terkandung harapan agar kelak anak yang dilahirkan akan mendapatkan kemuliaan dan kesenangan hidupnya.

Keempat, kain sidamukti yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan.

Kelima, seorang suami memegang kelapa gading muda, kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu diterima suaminya. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti Kamajaya.

Keenam, seusai acara siraman di krobongan (luar rumah), ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki.

Ketujuh, setelah acara siraman di krobongan ( luar rumah) mulailah acara utra utri begitulah masyarakat setempat menyebutnya. Dalam proses ini, banyak anak-anak yang berkumpul, kemudian mereka semua pergi ke sungai untuk mandi dan setelah mereka semua mandi, mereka membawa batu kali yang kemudian di lempar kerumah yang melakukan upacara adat tujuh bulanan itu dengan sama-sama berteriak “ utra utri sing lanang dadi santri sing wadon dadi putri”. Setelah itu mereka semua berkumpul lagi dan berdoa bersama mengitari ubarampe (sesaji) yang sudah disediakan. Sebelaum itu di pilih dua orang anak perempuan dan laki-laki yang cantik dan bagus untuk di kasih boreh di kedua kening anak laki-laki dan perempuan tersebut. Boreh merupakan campuran antara tepung dan kunyit. Kemudian mulai lah tokoh agama memimpin doa bersama-sama yang bermaksud memberikan rasa syukur kepada Allah SWT dan doa agar diberi keselamatan untuk si ibu yang di tujuh bulani tersebut. Setelah selesai uberampe tersebut di bagikan kepada masyarakat yang hadir dalam acara tujuh bulanan tersebut.

Kedelapan, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan yaitu :

Tumpeng kuat, berisi lauk pauk dari sayuran, ikan laut, srundeng, petai jengkol, kacang ijo, gorengan-gorengan dan jajan pasar. Makna dari tumpeng kuat,  yaitu sebagai lambang agar bayi yang lahir sehat walafiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin. Keleman, yaitu sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela, gembili, kentang, wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup sederhana. Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk, mentimun, belimbing, pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan. Sega megana, yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk dan sayuran. Yang membuat uberampe ini adalah dari pihak keluarga laki-laki.

Ini merupakan simbol bahwa bayi dalam kandungan tujuh bulan telah berbentuk (gumana) sebagai manusia yang siap lahir. Bayi tersebut secara fisik dan nonfisik diharapkan telah lengkap.Ketan procot, yaitu ketan yang diaduk dengan santan dan setelah dimasukkan dalam daun pisang memang dihidangkan. Yang perlu diketahui, daun pisang tersebut harus berlubang kanan kirinya, tidak boleh ditusuk dengan biting. Hal ini merupakan lambing agar kelak bayi lahir dengan mudah.

            Pada acara kenduri ini, sebagaimana biasanya dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an dan ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh agama (ustadz). Hal ini, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Mulyanto sebagai narasumber tokoh adat setempat.


C.    KANDUNGAN FILOSOFIS

Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual keba/mitoni demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan keselamatan. Masyarakat Jawa menganggap mitoni sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna dan fungsi cultural selamatan mitoni adalah: (1) untuk mewariskan tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan (2) untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alam sekitar. Selain itu, tradisi tujuh bulanan (keba/mitoni) menunjukkan karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif.

Hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa). Sebagaimana ungkapan: “ jabang bayi lahir sageto elujeng slamet ampunenten alangan sak tunggal penopo “. Anak yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepa Alloh SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa).


D.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Tradisi tujuh bulanan atau keba atau mitoni merupakan salah satu factor yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat yaitu masuk dalam factor agama, karena Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual keba/mitoni demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan keselamatan kepada Alloh SWT. Masyarakat Jawa menganggap mitoni sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus.
Hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa). Sebagaimana ungkapan: “jabang bayi lahir sageto elujeng slamet ampunenten alangan sak tunggal penopo“. Anak yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepa Alloh SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa).
  

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini memang merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas suku Jawa di Desa Pekiringan. Namun, sebagaimana hasil penelitian penulis, tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan kepada Alloh SWT. Dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan melalui laku suci (proses penyucian diri) dari berbagai kotoran dan noda dosa yang selama ini telah dilakukan.

Paling tidak, dari tradisi ini terkandung nilai-nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain: pertama, melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan. Hal ini tentunya memiliki nilai yang istimewa karena melestarikan budaya yang baik merupakan kekayaan khazanah dalam kehidupan. Dalam qaedah ushul fikh disebutkan “al-muhafazhah ‘ala qadim ash-shalih, wal ahdzu bil jadidi al-ashlih” (Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo). Ketiga, karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat, proses penyucian diri (tazkiyatun nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa).


B.     SARAN

Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa. Maka jagalah dengan baik serta melestarikannya dengan sungguh-sungguh agar tidak dimiliki atau pindah tangan budaya tersebut kepada suku, bangsa atau negara lain.


TINJAUAN PUSTAKA

Observasi langsung di Desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah
Alam S, Henry Hidayat, 2006. Ilmu PengetahuanSosial untuk SMK dan MAK kelas XI. Jakarta, Erlangga
W. Juhana Wijaya, 2006, Ilmu Pengetahuan Sosialuntuk SMK kelas XI, Bandung : Armico
Nugroho Trirus Brata, Antropologi untuk SMA dan MAkelas XI, ESIS UUD 1945
Koencoro Ningrat, 1974, Pengantar Antropologi,Aksara Baru, Jakarta