tradisi tujuh bulanan/keba |
TRADISI ADAT TUJUH BULANAN DI
MASYARAKAT PEKIRINGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap masyarakat memiliki tradisi
(adat) tertentu yang berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain. Seperti pada
masyarakat di Desa Pekiringan yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa dan
beragama Islam memiliki tradisi (adat) Jawa yang masih cukup kental, baik dalam
persoalan tatacara perkawinan, tradisi kematian, tujuh bulanan (keba/mitoni)
dalam masa kehamilan, tradisi kelahiran dan lain-lain. Dalam penelitian ini,
penulis khusus mengkaji proses tradisi (adat) Jawa di Desa Pekiringan mengenai
tujuh bulanan (tingkeban/mitoni).
Bagi masyarakat
Jawa di Desa Pekiringan, aturan adat masih dipegang dan menjadi acuan dalam bersikap
atau berprilaku sehingga disebut sebagai budi pekerti Jawa. Budi pekerti Jawa
adalah fenomena hati atau bathin secara sadar orang Jawa yang terpantul ke
dalam tindakan. Dengan demikian, budi pekerti Jawa berarti kesadaran total
tentang dunia bathin kejawaan dan praktek kejawaan. Dari makna semacam ini,
dapat dikemukakan bahwa budi pekerti Jawa merupakan watak dan perbuatan orang
Jawa sebagai perwujudan hasil pemikirannya.
Makna semacam itu, tidak jauh
berbeda dengan pandangan Ki Hajar Dewantara bahwa budi pekerti adalah merupakan
prilaku seseorang yang didasarkan kepada kematangan jiwanya. Kematangan jiwa
akan melahirkan budi pekerti yang luhur. Budi pekerti luhur artinya sikap dan
prilaku seseorang di samping di dasarkan kematangan jiwa (internal/daridalam)
juga diselaraskan dengan qaedah social yang berlaku di masyarakat sekitarnya
(eksternal/dari luar). Pendek kata orang yang berbudi pekerti luhur dalam
bertindak akan menggunakan perasaan, pemikiran dan dasar pertimbangan yang
jelas. Jelas, artinya ada bingkai yang mengatur dan tidak ngawur semaunya
sendiri serta berdasarkan akal sehat.
Jadi, budi pekerti Jawa dengan
sendirinya merupakan akumulasi dari cipta rasa karsa orang-orang Jawa yang
diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi
pekerti Jawa ini akan menggambarkan tabiat, watak, akhlak, dan moral, sekaligus
mencerminkan sikap bathin seseorang. Sikap bathin ini yang akan tercermin dalam
tingkah laku seseorang. Pencerminan bathin tersebut dalam wawasan religius
disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan yang mulia), sedangkan dalam
budaya Jawa disebut budi pekerti luhur. Orang Jawa yang berbudi pekerti luhur,
pada dasarnya sikap dan prilakunya akan dilandasi pertimbangan baik dan buruk,
kemudian memilih ke hal baik untuk dijalankannya.
Sebagaimana wawancara penulis dengan
narasumber di Desa Pekiringan, salah seorangnya adalah Bapak Mulyanto yang
mengatakan bahwa dalam setiap tradisi (adat) Jawa mengandung filosofis yang
berkesesuaian dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Seperti dalam tradisi
tujuh bulanan (keba/mitoni), mengandung nilai pengajaran hidup yang luar biasa
dan tradisi ritual masyarakat Jawa ini tidak bertentangan dengan ajaran agama
Islam.Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk menelitinya lebih lanjut
bagaimana proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yang dilakukan masyarakat
Jawa Muslim di Desa Pekiringan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Tradisi Tujuh Bulanan/ Keba
2. Proses Tradisi Tujuh Bulanan/ Keba
3. Kandungan Filosofis
C.
TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini
diharapkan mahasiswa mampu mendeskripsikan dan memahami bagaimana tradisi tujuh
bulanan, proses-proses tradisi tujuh bulanan dan kandungan filosofis yang ada
dalam tradisi tujuh bulanan ini. Selain itu juga bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah hukum adat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TRADISI TUJUH BULANAN / KEBA
Pekiringan adalah sebuh Desa yang
berada dalam wilayah kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, menempuh
jarak sekitar 45 menit dari pusat Kota Purbalingga. Warga Desa Pekiringan, menggunakan bahasa Jawa tapi kasar
(ngoko), sangat sedikit sekali yang bisa berbahasa Jawa halus. Hal ini
menunjukkan sudah terjadi pergeseran nilai-nilai pada masyarakat sehingga
tradisi (adat) Jawa mulai terpinggirkan atau dinomor duakan. Namun, bukan dalam
artian tradisi (adat) Jawa di Desa Pekiringan telah
hilang. Masih ada orang-orang Jawa yang concern dengan tradisi Jawa itu sendiri
walaupun jumlahnya sangat sedikit.
Rendahnya pengamalan masyarakat Jawa
terhadap tradisinya ini juga membawa rendahnya pengamalan orang Jawa yang
notabene beragama Islam terhadap ajaran agamanya tersebut. Hal ini, diakui oleh
tokoh masyarakat Jawa di Desa Pekiringan. Akhirnya, saat sekarang ini kondisi
Desa Pekiringan tidak lagi seperti dahulu. Hal ini disebabkan salah satu
faktornya adalah seiring hilangnya kesadaran masyarakat Jawa di Desa Pekiringan
akan falsafah hidup dalam budi pekerti Jawa. Selain itu masuknya
kebudayaan-kebudayaan dari luar yang notabene sekarang lebih di gandrungi oleh
masyarakat setempat.
Tradisi tujuh bulanan atau keba atau
disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang
masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika
pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken
Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan
anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya
segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja,
keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu :
1. Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta
mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong
Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing
jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampura dadi
manungsa.”Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian
dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan
Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di brojolkan ke bawah.
2. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun
tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi
di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
3. Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar
masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak
saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini
merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian
atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda,
karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu
apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan keba atau mitoni.
Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.
Batas tujuh bulan,
sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi
dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput)
dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini
menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.
Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin. Pada
saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung
yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa
terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya
lahir selamat.
Beberapa pantangan yang
patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga mengarah pada budi pekerti
Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah yang melintang
(misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang.
Jika posisi melintang akan menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada
kaitannya dengan kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan,
sehingga bila terlalu banyak akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang
hamil, misalkan tidak boleh duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk
padi, sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil
tak dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan memalukan dan
tidak enak dipandang.
Seorang suami yang
dilarang menyembelih hewan, sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar tidak
menganiaya makhluk lain. penganiayaan juga merupakan tindakan yang tak baik. Di
samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau meyembelih hewan, ini
dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak dan perilaku yang
dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih berhati-hati. Di
samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak mencacat atau
membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat, adalah langkah
hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar pasangan tersebut tidak
semena-mena kepada orang lain yang cacat.
Proses selamatan mitoni
dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu krobongan. Krobongan adalah
bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya menghadap ke timur,
dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu
hamil dan suami ketika melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat.
Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun maksud pintu
krobongan menghadap ke timur, dapat dikaitkan dengan asal kata timur dari
bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah permulaan hidup (sangkan
pararing dumadi).
B.
PROSES TRADISI TUJUH BULANAN/KEBA
Khusus yang dilaksanakan oleh masyarakat
Jawa di Desa Pekiringan, tentunya sudah kombinasi dari berbagai macam tradisi
dan ajaran. Melihat landasan historis tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni)
yaitu berasal dari ajaran agama Hindu bukan berarti apa yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa yang notabene muslim di Pekiringan adalah salah satu bentuk
dari pengamalan ajaran agama Hindu. Hal ini, hanya bentuk keterpengaruhan dan
warisan dari pendahulu (Seperti Sunan Kalijaga) yang berdakwah di tanah leluhur
(pulau Jawa) dengan melakukan transformasi ajaran Islam melalui budaya dan
tradisi yang berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut
masyarakat Jawa.
Hal ini diakui oleh tokoh adat di
Pekiringan bahwa tradisi adat Jawa adalah warisan dari para leluhur, seperti
apa yang dilakukan oleh kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau kita lihat pola dakwah
yang dikembangkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga adalah melalui tradisi atau
budaya yang dianut oleh masyarakat kala itu. Hal ini yang menjadi salah satu
factor keberhasilan dakwah Islam khususnya yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan
Kalijaga. Makanya, dalam ritual tradisi adat Jawa, seperti tujuh bulanan (keba/mitoni)
dalam pembukaan yang dipimpin oleh tokoh adat yang disebut ngujutne (pembukaan
ritual) selalu diterakan nama kanjeng Sunan Kalijaga.
Adapun kandungan dari “ngujutne” ini
adalah proses tradisi ritual adat dari tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang
paling penting terkandung dalam prosesi tujuh bulanan (keba/mitoni) sebagaimana
terdapat dan diulang berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang bayi lahir
sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo” (Bayinya lahir
dengan selamat, tidak ada halangan sedikitpun, semuanya lancar dan sehat
wal’afiat). Secara rinci proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, proses tujuh bulanan ini
dilaksanakan setiap kandungan sedang memasuki masa tujuh bulan yaitu pada
tanggal 7 dan 17. Sebelum pelaksanaan malam harinya diadakan selamatan dan doa
bersama, dalam selamatan ini tidak boleh menggunakan doa kubur tetapi doa-doa
khusus tujuh bulanan.
Kedua, siraman yang dilakukan oleh
dukun bayi dan Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita
hamil menggunakan sekar setaman oleh dukun bayi. Sekar setaman adalah air suci
yang diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti
kanthil, mawar, kenanga, dan daun pandan wangi. Dukun bayi yang bertugas
menyiram sebanyak tujuh (pitu) kali. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran
bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur
kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti
pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan
mendapat pertolongan Tuhan.
Kedua, setelah siraman selesai,
dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh
sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini
sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan,
seperti menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi
dari kandungan ibu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas
dari sebuah telur, bayi pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu
lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur,
diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai
lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan.
Ketiga, wanita hamil lalu
berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan diakhiri dengan kain bermotif
sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini, dapat dirunut dari makna kata
sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Hal ini sekaligus terkandung
harapan agar kelak anak yang dilahirkan akan mendapatkan kemuliaan dan
kesenangan hidupnya.
Keempat, kain sidamukti yang
dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau
diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan
atau janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris.
Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari
halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka,
yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap
berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah.
Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa
suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan
mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan
atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur.
Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan.
Kelima, seorang suami memegang
kelapa gading muda, kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita
hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu
diterima suaminya. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading
yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol
harapan agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan
jika lahir laki-laki seperti Kamajaya.
Keenam, seusai acara siraman di
krobongan (luar rumah), ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera
berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang
bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng.
Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang
tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak
bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki.
Ketujuh, setelah acara siraman di
krobongan ( luar rumah) mulailah acara utra utri begitulah masyarakat setempat
menyebutnya. Dalam proses ini, banyak anak-anak yang berkumpul, kemudian mereka
semua pergi ke sungai untuk mandi dan setelah mereka semua mandi, mereka
membawa batu kali yang kemudian di lempar kerumah yang melakukan upacara adat
tujuh bulanan itu dengan sama-sama berteriak “ utra utri sing lanang dadi
santri sing wadon dadi putri”. Setelah itu mereka semua berkumpul lagi dan
berdoa bersama mengitari ubarampe (sesaji) yang sudah disediakan. Sebelaum itu
di pilih dua orang anak perempuan dan laki-laki yang cantik dan bagus untuk di
kasih boreh di kedua kening anak laki-laki dan perempuan tersebut. Boreh
merupakan campuran antara tepung dan kunyit. Kemudian mulai lah tokoh agama
memimpin doa bersama-sama yang bermaksud memberikan rasa syukur kepada Allah
SWT dan doa agar diberi keselamatan untuk si ibu yang di tujuh bulani tersebut.
Setelah selesai uberampe tersebut di bagikan kepada masyarakat yang hadir dalam
acara tujuh bulanan tersebut.
Kedelapan, kenduri sebagai syukuran.
Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan yaitu :
Tumpeng kuat, berisi lauk pauk dari
sayuran, ikan laut, srundeng, petai jengkol, kacang ijo, gorengan-gorengan dan
jajan pasar. Makna dari tumpeng kuat, yaitu sebagai lambang agar bayi yang lahir
sehat walafiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin. Keleman, yaitu
sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela, gembili, kentang,
wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang lahir kelak
mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup sederhana.
Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk,
mentimun, belimbing, pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan. Sega
megana, yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk dan
sayuran. Yang membuat uberampe ini adalah dari pihak keluarga laki-laki.
Ini merupakan simbol bahwa bayi
dalam kandungan tujuh bulan telah berbentuk (gumana) sebagai manusia yang siap
lahir. Bayi tersebut secara fisik dan nonfisik diharapkan telah lengkap.Ketan
procot, yaitu ketan yang diaduk dengan santan dan setelah dimasukkan dalam daun
pisang memang dihidangkan. Yang perlu diketahui, daun pisang tersebut harus
berlubang kanan kirinya, tidak boleh ditusuk dengan biting. Hal ini merupakan lambing
agar kelak bayi lahir dengan mudah.
Pada acara kenduri ini, sebagaimana biasanya dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an dan ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh agama (ustadz). Hal ini, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Mulyanto sebagai narasumber tokoh adat setempat.
C.
KANDUNGAN FILOSOFIS
Dari berbagai simbol tindakan dan
sesaji ritual keba/mitoni demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa
memiliki harapan-harapan keselamatan. Masyarakat Jawa menganggap mitoni sebagai
ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa makna dan fungsi cultural selamatan mitoni adalah: (1) untuk mewariskan
tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan (2) untuk menjaga
keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono
apo-apo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau
alam sekitar. Selain itu, tradisi tujuh bulanan (keba/mitoni) menunjukkan
karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif.
Hakikatnya, tradisi ini adalah
memohon keselamatan kepada Allah SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa). Sebagaimana
ungkapan: “ jabang bayi lahir sageto elujeng slamet ampunenten alangan sak
tunggal penopo “. Anak yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah),
sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya
menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun
nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud
pengabdian diri kepa Alloh SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa).
D.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
HUKUM ADAT
Tradisi
tujuh bulanan atau keba atau mitoni merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi proses perkembangan hukum adat yaitu masuk dalam factor agama,
karena Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji
ritual keba/mitoni demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki
harapan-harapan keselamatan kepada Alloh SWT. Masyarakat Jawa menganggap mitoni
sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus.
Hakikatnya, tradisi ini adalah
memohon keselamatan kepada Allah SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa). Sebagaimana
ungkapan: “jabang bayi lahir sageto elujeng slamet ampunenten alangan sak
tunggal penopo“. Anak yang dikandung akan terlahir dengan gangsar (mudah),
sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya
menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui tazkiyatun
nafsi (penyucian diri) untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud
pengabdian diri kepa Alloh SWT. (Tuhan Yang Maha Kuasa).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tradisi adat Jawa tujuh bulanan
(tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna
filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini memang merupakan kombinasi ajaran baik
dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas suku
Jawa di Desa Pekiringan. Namun, sebagaimana hasil penelitian penulis, tradisi
ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan
kepada Alloh SWT. Dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan melalui laku suci (proses
penyucian diri) dari berbagai kotoran dan noda dosa yang selama ini telah
dilakukan.
Paling tidak, dari tradisi ini
terkandung nilai-nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain: pertama,
melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan. Hal ini tentunya
memiliki nilai yang istimewa karena melestarikan budaya yang baik merupakan
kekayaan khazanah dalam kehidupan. Dalam qaedah ushul fikh disebutkan “al-muhafazhah
‘ala qadim ash-shalih, wal ahdzu bil jadidi al-ashlih” (Melestarikan tradisi
lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, menjaga
keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono
apo-apo). Ketiga, karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat,
proses penyucian diri (tazkiyatun nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt.
(Tuhan Yang Maha Kuasa).
B.
SARAN
Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan
nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat
mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai
kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal
atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari
kepribadian bangsa. Maka jagalah dengan baik serta melestarikannya dengan
sungguh-sungguh agar tidak dimiliki atau pindah tangan budaya tersebut kepada suku, bangsa atau negara lain.
TINJAUAN PUSTAKA
Observasi
langsung di Desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah
Alam S, Henry
Hidayat, 2006. Ilmu PengetahuanSosial untuk SMK dan MAK kelas XI. Jakarta,
Erlangga
W. Juhana
Wijaya, 2006, Ilmu Pengetahuan Sosialuntuk SMK kelas XI, Bandung : Armico
Nugroho Trirus
Brata, Antropologi untuk SMA dan MAkelas XI, ESIS UUD 1945
Koencoro
Ningrat, 1974, Pengantar Antropologi,Aksara Baru, Jakarta