BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Hukum dan moral merupakan dua entitas yang memiliki
tujuan yang sama untuk mencapai keadilan. Tetapi persoalannya adalah baik
hukum, moral maupun keadilan adalah sesuatu yang abstrak.[1] Hanya kaum positivistik
dapat mengkonkretkan hukum, moral dan keadilan melalui sekumpulan peraturan
perundang-undangan.
Sementara kaum Sofis, terutama mazhab hukum alam
klasik hanya sampai pada pemahaman bahwa hukum dan moral memiliki nilai, yaitu
nilai kebaikan, nilai kemanfaatan, dan nilai kebahagian demi pencapaian
keadilan.
Hal itu memang terbukti dengan telaah histori aliran
pemikiran dalam ilmu. Hukum pada fase pertamanya semata-mata selalu dinarasikan
sebagai keadilan. Pemahaman hukum yakni sesuatu yang abstrak. Titik tautnya
hanya mampu diketemukan melalui penggalian pada hakikat dan makna segala
dimensi kebaikan dan keburukan yang terpatri dalam rasio, baru kemudian
diwujudkan dalam tindakan, perbuatan, hingga pada pergaualan sosial.
Kendatipun hukum sudah dianggap konkret dengan
peraturan peundangan-undangan. Utang budi yang belum terbayar oleh penganut
hukum positivistik; seperti Hans Kelsen, John Austin dan Hart terhadap mazhab
hukum alam yang selalu membincangkan keadilan. Bahwa sekuat apapun hukum
positif membersihkan segala anasir nonhukum[2] terhadap kepastian hukum,
terutama anasir hukum moral. Hukum sebagai peraturan perundang-undangan tidak
akan terbentuk tanpa penalaran awal teori hukum yang digali dari seperangkat
moral keabadian dan keadilan yang terdapat di alam rasio manusia.
Pertautan hukum dan keadilan dibangun berdasarkan
maxim, principat, postulat, principle sehingga hukum lahir secaraconcreto.
Segala penyebutan medium tersebut sebagaimana apa yang disebut asas-asas hukum
merupakan “beginsel”. Beginsel sendiri diartikan awal untuk memulai sesuatu.
Sedangkan sesuatu di sini yang dicakup adalah hukum. Sehingga asas hukum yang
mengikat daya keberlakukan hukum itulah wujudnya dalam norm in concreto pada
tujuannya untuk mencapai keadilan.
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya
abstrak, seolah-olah hanya menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi
kelesatarian sebagai relafansi antara hukum dan keadilan selalu terjaga.
Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran dalam ilmu hukum senantiasa
memperjuangkan keadilan, entah dari sudut pandang manapun caranya memandang
hukum, baik hukum dipdang sebagai objek, maupun hukum dipandang sebagai bagian
dari subjek yang melekat dalam diri personal. Harus diakui segala analisis,
pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran
implementatif semuanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam
tujuannya untuk mencapai keadilan.
Keadilan
adalah memberikan kepada setiap orang mengenai apa yang telah menjadi haknya. Terdapat tiga ciri khas
yang senantiasa menandai keadilan: keadilan tertuju kepada orang lain, keadilan
mesti ditegakkan dan keadilan mesti menuntut sebuah persamaan. Tiga unsur yang
hakiki ni terkandung didalam pengertian keadian yang ada dibawah ini.
Pertama,
keadilan senantiasa tertuju kepada orang lain atau keadilan senantiasa ditandai
dengan other-directedness (J. Finnis). Tentunya mustahil buat saya berlaku adil
atau tidak adil terhadap diri asya sendiri. Jika orang berbicara mengenai
keadilan atau ketidak adilah terhadap dirinya sendiri, ia hanay sekedar
menggunakan kata tersebut dalam arti kiasan, bukan dalam arti yang sebenarnya.
Masalah keadilan atau ketidakadilan hanya dapat muncul pada konteks antar
manusia. Untuk itu maka dibutuhkan sekurang-kurangnya dua orang manusia. Jika
pada suatu saat hanya ada satu manusia di bumi maka masalah keadilan ataupun
ketidakadilan itu tidak akan berperan lagi.
Kedua,
keadilan mesti ditegakkan atau dijalankan. Jadi, keadilan tak diharapkan saja
atau dianjurkan saja. Keadilan telah mengikat kita, sehingga kita memiliki
kewajiban. Ciri yang kedua ini telah disebabkan karena keadilan selalu
berkaitan dengan apa yang menjadi hak yang mesti dipenuhi. Kalau dari ciri yang
pertama tadi telah menyatakan bahwa dalam konteks keadilan kita selalu
berurusan dengan orang lain, maka ciri yang kedua ini akan menekankan bahwa
didalam konteks keadilan kita akan selalu berurusan dengan hak orang lain. Kita
dapat memberikan sesuatu untuk orang lain karena adanya rupa-rupa alasan. Jika
kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena adanya alasan keadilan maka
kita akan senantiasa harus atau wajib untuk memberikannya. Sedangkan jika kita
memberikan sesuatu dengan memiliki alsan lain maka kita tidak wajib untuk
memberikannya. Misalnya, kita memberikan minuman kepada tamu untuk bisa
menghormati dia. Kita tak wajib memberikannya. Atau kita memberi derma kepada
pengemis karena adanya kemurahan hati. Satu kali kita berikan maka lain kali
tidak kita berikan. Kita tidak memiliki kewajiban untuk memberikan sesuatu
karena alasan Cinta. Orang muda akan memberikan hadiah untuk kekasihnya karena
dengan alasan tersebut. Dalam hal ini tidak akan mungkin dikatakan kekasih itu
memiliki hak atas hadiah tersebut. Akan tetapi, jika kita memberikan sesuatu
dengan alasan keadilan maka kita mesti memberikannya. Majika mesti memberikan
gaji yang adil untuk karyawan. Apa yang dipinjamkan mesti dikembalikan untuk
pemiliknya.
Ketiga,
keadilan menuntut persamaan (equality). Atas dasar keadilan, kita harus memberikan
kepada setiap
orang apa yang telah menjadi haknya, tanpa kecuali. Kalau majikan memberikan
gaji yang adil kepada
3000 karyawannya, kecuali kepada satu orang, ia tidak pantas disebut orang
adil. Mungkin ada orang yang akan bertanya apakah artinya satu dibanding tiga
ribu. Tetapi jika ditinjau dari segi etika, perbedaan itu justru menjadi
penentu. Majikan itu baru dikatakan pantas disebut sebagai orang yang adil,
jika ia berlaku adil kepad semua orang. Dewi justitia yang memegang timbangan
dalam tangannya, dalam mitologi Romawi digambarkan ciri ketiga. Keadilan mesti
dilaksanakan terhadap semua orang yang tanpa melihat siapa orangnya.
B. RUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah yang timbul dari latarbelakang tersebt
adalah:
1.
Bagaimanakah
hubungan hukum dengan keadilan?
2.
Apa saja
jenis-jenis keadilan dalam hukum?
C. TUJUAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui
bagaimana hubungan hukum dengan keadilan.
2.
Untuk mengetahui
jenis-jenis keadilan dalam hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
KEADILAN
Keadilan asal katanya adalah adil, berasal dari
bahasa Arab yang berarti insyaf, berjiwa lururs,. Dalam Bahasa Prancis adil
adalah justice, sedangkan dalam Bahasa Prancis adil adalah Justica.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adil berarti tidak berat sebelah atau tidak
memihak (putusan yang adil, sepatutnya atau sepantasnya, tidak
sewenang-wenang). Menurut Kahar Mashur adil adalah:
·
Meletakkan
sesuatu pada tempatnya
·
Menerima
hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang
·
Memberikan
hak setiap yang berhak tanpa lebih kurang antara sesame yang berhak atau dalam
pelajaran yang sama dan penghukuman orang jahat (yang melanggar hukum) sesuai
dengan kesalahan dan pelanggarannya.
Pengertian Keadilan Menurut Definisi Para Ahli adalah
sebagai berikut:
a. Aristoteles, keadilan ialah tindakan
yang berada pada antara memberikan terlalu sedikit dan banyak yang bisa
diartikan untuk memberikan sesuatu hal kepada setiap orang cocok dengan apa
yang telah menjadi haknya.
b. Frans
Magnis Suseno, keadilan adalah suatu keadaan dimana
antarmanusia yang diperlakukan secara sama sesuai dengan apa yang menjadi hak dan
kewajibannya masing-masing.
c. Notonegoro,
keadilan ialah suatu keadaan dikatakan adil jika ada kesesuaian dengan
ketentuan hukum yang telah berlaku.
d. Thomas
Hubbes, keadilan adalah sesuatu perbuatan itu
dikatakan adil jika telah mengacu pada perjanjian yang sudah disepakati
sebelumnya.
e. Plato,
keadilan adalah sesuatu diluar kemampuan dari manusia biasa dimana keadilan
hanya bisa terdapat di dalam hukum dan perundang-undangan yang telah dibuat
oleh para ahli yang secara khusus memikirkan hal itu.
f.
W.J.S Poerwadarminto,
keadilan adalah sesuatu yang tidak berat sebelah, sepatutnya tidak berlaku
sewenang-wenang.
g. Imam
Al-Khasim keadilan adalah
tindakan mengambil hak dari orang yang tentunya wajib untuk memberikannya dan
memberikannya kepada setiap orang yang berhak untuk menerimanya.
B.
HUBUNGAN
HUKUM DAN KEADILAN
Summum
Ius Summa Injuria/Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat berarti
ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencita-citakan keadilan
maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan terhenti untuk mewujudkan
keadilan yang sesungguhnya.
Hal
ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja menyisakan ada
ketidakadilan di sana. Masih terdapat bebarapa orang yang merasakan bahwa
putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa oleh komunitas tertentu, ada kalanya menganggap putusan hakim
tidaklah memenuhi rasa keadilan bagi dirinya.
Tetapi
tidak berarti bahwa timbulnya respon atau reaksi dari partisipan hukum yang
dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta merta mengambil kesimpulan bahwa
antara hukum dan keadilan tidak ada gunanya, bahkan tidak ada hubungannya. Oleh
karena keadilan memang hanya sesuatu yang dicita-citakan. Ibarat penilaian baik
dan benar tidak ada yang bisa menggambarkan sejelas-jelas mungkin. Sebab apa?
Karena lagi-lagi keadilan sudah dikatakan dari awal adalah sifatnya abtrak dan
memang keadilan hanyalah tujuan akhir. Niscaya manusia terbatas untuk
menggapainya.
Kalau
ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan dengan hati nurani. Itu juga hanya
dalam wilayah tingakatan rasa sekaligus naluri yang diusahakan sepadan dengan
naluri orang lainnya.
Kalau
demikian, bukankah hukum yang didentikan sebagai perundang-undangan tidak lain
dari rasa kebaikan, rasa kebenaran, kejahatan, dan keburukan yang kemudian
diberlakukan secara imperatif. Maka terdapatlah bangunan rasa dan naluri
sepadan, universal melalui konsensus moral sejawat kesepahaman.
Maka
bersandar, berdasarkan seluruh analogi tersebut, dari situlah hukum dan
keadilan terjadi keterakaitan yang tidak dapat dipsahkan satu dengan lainnya.
Bagi penganut mazhab hukum positivistik ketika memandang hukum hanya
seperangkat perundang-undangan semata, maka pertanyaan yang harus dijawab oleh
kaum ini: Lantas berasal dari manakah hukum itu sehingga lahir menjadi
sekumpulan kaidah, norma, ketentuan, hingga menjadi sekumpulan
perundang-undangan? Apakah cukup lahir dari rasionya saja? Apakah lahir dari
rasio Tuhan yang diturunkan melalui rasio manusia (lex humana) ataukah lahir
dari alam kebatinan yang dipahami sebagai pengalaman kebatinan berkat
kemampuannya memilah kebaikan dan keburukan.
Semua
pertanyaan tersebut terjawab dengan mengatakan bahwa “itu moral” dan apa yang
dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. Kebaikan otomotasi satu haluan
dengan keadilan. Segala pekerjaan untuk mengkonkretisasi hukum identik dengan
moral, hukum identik dengan keadilan akan terejawantakan dalam prinsip-prinsip
hukum.
Dalam
konteks ini, dalil ketiga hukum dalam pengembanan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mewissen akan menjadi satu kesatuan terhadap seluruh abstraksi teoritikal
atas gejala hukum tersebut. Baik ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum
merupakan “sentral” untuk melahirkan banyaknya jumlah keadilan melalui
banyaknya jumlah asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu hukum.
Antara
filsafat hukum yang terpusat pada keadilan kemudian melahirkan sekumpulan teori
hukum, maka dalam tataran itulah teori hukum dan keadilan akan menurunkan asas
hukum, lalu menciptakan sejumlah ketentuan yang dipahami sebagai kaidah hukum.
Asas
hukum dalam “pemainan” moral dan keadilan ini dapat dikatakan wadah yang berada
di tengah-tengah untuk mencari konsesensus publik sehingga hukum benar-benar
imparsial, integral, hingga tercapai sisi keadilannya.
Hubungan
hukum dan keadilan pula dapat diamati pada setiap tujuan hukum. Mulai dari
tujuan hukum ajaran etis, ajaran prioritas baku hingga ajaran kasusistis. Satupun
dari ajaran tersebut tidak ada yang dapat melepaskan diri dari tujuan hukum
pada sisi keadilannya. Hanya saja dilengkapi dengan tujuan hukum lain seperi
kepastian, kemanfaatan dan predictibility.
Termasuk
pula bagi pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk melepaskan
diri dari sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, pada hakikatnya masih
dituntut untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung
pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa
dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran menimbang,
mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam konsideran menimbang tersebut,
terdapat pertimbangan filsufis yang mencatat tujuan hukum sebagai keadilan atas
pembentukan Undang-Undang itu.
Hingga
sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai
aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga
sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam melahirkan
putusan-putusannya. Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di
dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan
keadilan.
Upaya
hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tak kala perkara-perkara
hukum hendak dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu perundang-undangan
ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam posisi demikian dapat
melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Ingat! pekerjaaan hakim di sini
untuk melakukan penafsiran atas ketentuan hukum yang kabur, pada dasarnya
menjadi pekerjaan untuk mengakomodasi kaidah-kaidah tidak tertulis yang diakui
keberadaannya dalam masyarakat, agar pencapaian keadilan untuk masyarakat,
diharapakan hakim dapat mewujudkannya.
Atas
dasar itu kemudian menjadi pembenaran saat Roland Dworkin mempopulerkan teori
hukumnya sebagai “moral reading”. Moral reading yang dimaksud oleh Dworkin,
gugatan terhadap perundang-undangan yang tidak lengkap. Perundang-undangan yang
belum mampu mengakomodasi segala kepentingan hukum primer yang terdapat dalam
masyarakat. Oleh karena itu menjadi pekerjaan hakim kosnstitusi dalam kasus
ini, untuk kembali menciptakan hukum dari hukum yang terpencar di luar, dengan
menyesuaikannya dalam ground norm sekaligus dengan constitutional norm.
C.
JENIS-JENIS KEADILAN
Didalam
memahami keadilan perlu di ketahui bahwa keadilan itu terbagi kedalam beberapa
kelompak yang dikaji dari berbagai sudut ilmu pengetahuan yaitu:
1. Jenis-jenis
keadilan menurut Teori Aristoteles adalah sebagai berikut:
Ø Keadilan
Komunikatif: Pengertian keadilan komunikatif adalah suatu perlakuan kepada
seseorang yang tanpa melihat apa jasa-jasanya. Contoh keadilan komunikatif
ialah seseorang yang telah dijatuhi sanksi akibat adanya pelanggaran yang telah
dibuatnya tanpa melihat apa jasa dan kedudukannya.
Ø Keadilan
Distributif: Pengertian keadilan distributif adalah adanya perlakuan kepada
seseorang sesuai dengan seperti apa jasa-jasa yang sudah dilakukan. Contoh
keadilan distributif ialah seorang pekerja bangunan yang diberikan gajinya
sesuai dengan hasil yang sudah dikerjakan.
Ø Keadilan
Kodrat Alam: Pengertian keadilan kodrat alam adalah suatu perlakuan kepada
seseorang dimana itu sesuai dengan hukum alam. Contoh keadilan kodrat alam
adalah seseorang akan memberikan balasan dengan baik ketika seseorang tersebut
telah melakukan hal yang baik pula untuknya.
Ø Keadilan
Konvensional: Pengertian keadilan konvensional adalah keadilan yang terjadi
dimana seseorang bisa mematuhi berupa peraturan perundang-undangan. Contoh
keadilan konvensional adalah kepada seluruh warga negara wajib untuk mematuhi
segala bentuk peraturan yang berlaku yang ada di negara tersebut.
Ø Keadilan
Perbaikan: Pengertian keadilan perbaikan adalah suatu keadilan yang terjadi
dimana seseorang tersebut sudah mencemarkan nama baik orang lain. Contoh
keadilan perbaikan adalah seseorang yang meminta maaf kepada media disebabkan
telah mencemarkan nama baik orang lain.
2. Jenis-jenis
keadilan menurut Teori Plato adalah sebagai berikut:
·
Keadilan Moral: Pengertian
keadilan moral adalah suatu keadilan yang terjadi apabila kita mampu memberikan
suatu perlakuan seimbang kepada hak dan kewajibannya.
·
Keadilan Prosedural:
Pengertian keadilan prosedural adalah suatu keadilan yang terjadi jika
seseorang telah melaksanakan perbuatan sesuai dengan apa yang menjadi tata cara
yang sudah diharapkan
- Jenis-jenis Keadilan Secara
Umum adalah sebagai berikut:
ü Keadilan
Komutatif (Iustitia Commutativa)
Keadilan komutatif adalah
keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi bagiannya,
di mana yang diutamakan adalah objek tertentu yang merupakan hak dari
seseorang. Keadilan komutatif berkenaan dengan hubungan
antarorang/antarindividu. Di sini ditekankan agar prestasi sama nilainya dengan
kontra prestasi.
ü Keadilan
Distributif (Iustitia Distributiva)
Keadilan distributif
adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi
haknya, di mana yang menjadi subjek hak adalah individu, sedangkan subjek
kewajiban adalah masyarakat. Keadilan distributif berkenaan dengan hubungan
antara individu dan masyarakat/negara. Di sini yang ditekankan bukan asas
kesamaan/kesetaraan (prestasi sama dengan kontra prestasi). Melainkan, yang
ditekankan adalah asas proporsionalitas atau kesebandingan berdasarkan
kecakapan, jasa, atau kebutuhan. Keadilan jenis ini berkenaan dengan benda
kemasyarakatan seperti jabatan, barang, kehormatan, kebebasan, dan hak-hak.
ü Keadilan
legal (Iustitia Legalis)
Keadilan legal adalah
keadilan berdasarkan undang-undang. Yang menjadi objek dari keadilan legal
adalah tata masyarakat. Tata masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang.
Tujuan keadilan legal adalah terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune).
Keadilan legal terwujud ketika warga masyarakat melaksanakan undang-undang, dan
penguasa pun setia melaksanakan undang-undang itu.
ü Keadilan
Vindikatif (Iustitia Vindicativa)
Keadilan vindikatif
adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang hukuman atau denda
sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya. Setiap warga
masyarakat berkewajiban untuk turut serta dalam mewujudkan tujuan hidup
bermasyarakat, yaitu kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Apabila seseorang
berusaha mewujudkannya, maka ia bersikap adil. Tetapi sebaliknya, bila orang
justru mempersulit atau menghalangi terwujudnya tujuan bersama tersebut, maka
ia patut menerima sanksi sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukannya.
ü Keadilan
Kreatif (Iustitia Creativa)
Keadilan kreatif adalah
keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang bagiannya, yaitu berupa
kebebasan untuk mencipta sesuai dengan kreativitas yang dimilikinya. Keadilan
ini memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengungkapkan kreativitasnya
di berbagai bidang kehidupan.
ü Keadilan
Protektif (Iustitia Protectiva)
Keadilan protektif adalah
keadilan yang memberikan proteksi atau perlindungan kepada pribadi-pribadi.
Dalam masyarakat, keamanan dan kehidupan pribadi-pribadi warga masyarakat wajib
dilindungi dari tindak sewenang-wenang pihak lain. Menurut Montesquieu,
untuk mewujudkan keadilan protektif diperlukan adanya tiga hal, yaitu: tujuan
sosial yang harus diwujudkan bersama, jaminan terhadap hak asasi manusia, dan
konsistensi negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Studi-studi
tentang keadilan harus dikesampingkan. Untuk kalangan hukum, studi keadilan
merupakan hal yang utama, sebab keadilan adalah salah satu tujuan hukum, bahkan
ada yang menyatakan sebagai tujuan utamanya.
Mempelajari
hukum tanpa mempelajari keadilan sama dengan mempelajari tubuh tanpa nyawa. Hal
ini berarti menerima perkembangan hukum sebagai fenomena fisik tanpa melihat
desain rohnya. Akibatnya bisa dilihat bahwa studi hukum kemudian tidak berbeda
dengan studi ilmu pasti rancang bangun yang kering dengan sentuhan keadilan.
Hingga
sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai
aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga
sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam
melahirkan putusan-putusannya. Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang
hidup di dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu
memperjuangkan keadilan.
Jenis keadilan menurut para ahli berbeda-beda, seperti
menurut aristoteles yang membedakan jenis keadilan dalam bentuk keadilan
komunikatif, kodrat alam, distributif, konvensional dan perbaikan. Sedangkan
menurut plato membedakan jenis keadilan kedalam bentuk keadilan moral dan
keadilan prosedural. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pandangan mereka yang
berbeda menganai keadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
Beilharz,
Peter. Ed. Teori-Teori Sosial.
(Social Theory: A Guide to Central Thinkers). Diterjemahkan oleh: Sigit
Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Achmad
Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung.
Soekanto,
Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta
: Rajawali Pers, 2008.
Kanter,
E.Y, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio-Religius Storia,
Jakarta : Grafika, tanggal Juli 2001.