Saturday 15 October 2016

MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM


HUBUNGAN KEADILAN DENGAN HUKUM BESERTA JENIS-JENIS KEADILAN DALAM HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum dan moral merupakan dua entitas yang memiliki tujuan yang sama untuk mencapai keadilan. Tetapi persoalannya adalah baik hukum, moral maupun keadilan adalah sesuatu yang abstrak.[1] Hanya kaum positivistik dapat mengkonkretkan hukum, moral dan keadilan melalui sekumpulan peraturan perundang-undangan.

Sementara kaum Sofis, terutama mazhab hukum alam klasik hanya sampai pada pemahaman bahwa hukum dan moral memiliki nilai, yaitu nilai kebaikan, nilai kemanfaatan, dan nilai kebahagian demi pencapaian keadilan.
Hal itu memang terbukti dengan telaah histori aliran pemikiran dalam ilmu. Hukum pada fase pertamanya semata-mata selalu dinarasikan sebagai keadilan. Pemahaman hukum yakni sesuatu yang abstrak. Titik tautnya hanya mampu diketemukan melalui penggalian pada hakikat dan makna segala dimensi kebaikan dan keburukan yang terpatri dalam rasio, baru kemudian diwujudkan dalam tindakan, perbuatan, hingga pada pergaualan sosial.
Kendatipun hukum sudah dianggap konkret dengan peraturan peundangan-undangan. Utang budi yang belum terbayar oleh penganut hukum positivistik; seperti Hans Kelsen, John Austin dan Hart terhadap mazhab hukum alam yang selalu membincangkan keadilan. Bahwa sekuat apapun hukum positif membersihkan segala anasir nonhukum[2] terhadap kepastian hukum, terutama anasir hukum moral. Hukum sebagai peraturan perundang-undangan tidak akan terbentuk tanpa penalaran awal teori hukum yang digali dari seperangkat moral keabadian dan keadilan yang terdapat di alam rasio manusia.
Pertautan hukum dan keadilan dibangun berdasarkan maxim, principat, postulat, principle sehingga hukum lahir secaraconcreto. Segala penyebutan medium tersebut sebagaimana apa yang disebut asas-asas hukum merupakan “beginsel”. Beginsel sendiri diartikan awal untuk memulai sesuatu. Sedangkan sesuatu di sini yang dicakup adalah hukum. Sehingga asas hukum yang mengikat daya keberlakukan hukum itulah wujudnya dalam norm in concreto pada tujuannya untuk mencapai keadilan.
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-olah hanya menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi kelesatarian sebagai relafansi antara hukum dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran dalam ilmu hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari sudut pandang manapun caranya memandang hukum, baik hukum dipdang sebagai objek, maupun hukum dipandang sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam diri personal. Harus diakui segala analisis, pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif semuanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam tujuannya untuk mencapai keadilan.
Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang mengenai apa yang telah menjadi haknya. Terdapat tiga ciri khas yang senantiasa menandai keadilan: keadilan tertuju kepada orang lain, keadilan mesti ditegakkan dan keadilan mesti menuntut sebuah persamaan. Tiga unsur yang hakiki ni terkandung didalam pengertian keadian yang ada dibawah ini.
Pertama, keadilan senantiasa tertuju kepada orang lain atau keadilan senantiasa ditandai dengan other-directedness (J. Finnis). Tentunya mustahil buat saya berlaku adil atau tidak adil terhadap diri asya sendiri. Jika orang berbicara mengenai keadilan atau ketidak adilah terhadap dirinya sendiri, ia hanay sekedar menggunakan kata tersebut dalam arti kiasan, bukan dalam arti yang sebenarnya. Masalah keadilan atau ketidakadilan hanya dapat muncul pada konteks antar manusia. Untuk itu maka dibutuhkan sekurang-kurangnya dua orang manusia. Jika pada suatu saat hanya ada satu manusia di bumi maka masalah keadilan ataupun ketidakadilan itu tidak akan berperan lagi.
Kedua, keadilan mesti ditegakkan atau dijalankan. Jadi, keadilan tak diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan telah mengikat kita, sehingga kita memiliki kewajiban. Ciri yang kedua ini telah disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan apa yang menjadi hak yang mesti dipenuhi. Kalau dari ciri yang pertama tadi telah menyatakan bahwa dalam konteks keadilan kita selalu berurusan dengan orang lain, maka ciri yang kedua ini akan menekankan bahwa didalam konteks keadilan kita akan selalu berurusan dengan hak orang lain. Kita dapat memberikan sesuatu untuk orang lain karena adanya rupa-rupa alasan. Jika kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena adanya alasan keadilan maka kita akan senantiasa harus atau wajib untuk memberikannya. Sedangkan jika kita memberikan sesuatu dengan memiliki alsan lain maka kita tidak wajib untuk memberikannya. Misalnya, kita memberikan minuman kepada tamu untuk bisa menghormati dia. Kita tak wajib memberikannya. Atau kita memberi derma kepada pengemis karena adanya kemurahan hati. Satu kali kita berikan maka lain kali tidak kita berikan. Kita tidak memiliki kewajiban untuk memberikan sesuatu karena alasan Cinta. Orang muda akan memberikan hadiah untuk kekasihnya karena dengan alasan tersebut. Dalam hal ini tidak akan mungkin dikatakan kekasih itu memiliki hak atas hadiah tersebut. Akan tetapi, jika kita memberikan sesuatu dengan alasan keadilan maka kita mesti memberikannya. Majika mesti memberikan gaji yang adil untuk karyawan. Apa yang dipinjamkan mesti dikembalikan untuk pemiliknya.
Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality). Atas dasar keadilan, kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang telah menjadi haknya, tanpa kecuali. Kalau majikan memberikan gaji yang adil kepada 3000 karyawannya, kecuali kepada satu orang, ia tidak pantas disebut orang adil. Mungkin ada orang yang akan bertanya apakah artinya satu dibanding tiga ribu. Tetapi jika ditinjau dari segi etika, perbedaan itu justru menjadi penentu. Majikan itu baru dikatakan pantas disebut sebagai orang yang adil, jika ia berlaku adil kepad semua orang. Dewi justitia yang memegang timbangan dalam tangannya, dalam mitologi Romawi digambarkan ciri ketiga. Keadilan mesti dilaksanakan terhadap semua orang yang tanpa melihat siapa orangnya.
  

B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang timbul dari latarbelakang tersebt adalah:
1.      Bagaimanakah hubungan hukum dengan keadilan?
2.      Apa saja jenis-jenis keadilan dalam hukum?

C.    TUJUAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui bagaimana hubungan hukum dengan keadilan.
2.      Untuk mengetahui jenis-jenis keadilan dalam hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KEADILAN
Keadilan asal katanya adalah adil, berasal dari bahasa Arab yang berarti insyaf, berjiwa lururs,. Dalam Bahasa Prancis adil adalah justice, sedangkan dalam Bahasa Prancis adil adalah Justica.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak (putusan yang adil, sepatutnya atau sepantasnya, tidak sewenang-wenang). Menurut Kahar Mashur adil adalah:
·         Meletakkan sesuatu pada tempatnya
·         Menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang
·         Memberikan hak setiap yang berhak tanpa lebih kurang antara sesame yang berhak atau dalam pelajaran yang sama dan penghukuman orang jahat (yang melanggar hukum) sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.
Pengertian Keadilan Menurut Definisi Para Ahli adalah sebagai berikut:
a.       Aristoteles, keadilan ialah tindakan yang berada pada antara memberikan terlalu sedikit dan banyak yang bisa diartikan untuk memberikan sesuatu hal kepada setiap orang cocok dengan apa yang telah menjadi haknya.
b.      Frans Magnis Suseno, keadilan adalah suatu keadaan dimana antarmanusia yang diperlakukan secara sama sesuai dengan apa yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.
c.       Notonegoro, keadilan ialah suatu keadaan dikatakan adil jika ada kesesuaian dengan ketentuan hukum yang telah berlaku.
d.      Thomas Hubbes, keadilan adalah sesuatu perbuatan itu dikatakan adil jika telah mengacu pada perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.
e.       Plato, keadilan adalah sesuatu diluar kemampuan dari manusia biasa dimana keadilan hanya bisa terdapat di dalam hukum dan perundang-undangan yang telah dibuat oleh para ahli yang secara khusus memikirkan hal itu.
f.        W.J.S Poerwadarminto, keadilan adalah sesuatu yang tidak berat sebelah, sepatutnya tidak berlaku sewenang-wenang.
g.      Imam Al-Khasim keadilan adalah tindakan mengambil hak dari orang yang tentunya wajib untuk memberikannya dan memberikannya kepada setiap orang yang berhak untuk menerimanya.

B.     HUBUNGAN HUKUM DAN KEADILAN
Summum Ius Summa Injuria/Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencita-citakan keadilan maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan terhenti untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
Hal ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja menyisakan ada ketidakadilan di sana. Masih terdapat bebarapa orang yang merasakan bahwa putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa oleh komunitas tertentu, ada kalanya menganggap putusan hakim tidaklah memenuhi rasa keadilan bagi dirinya.
Tetapi tidak berarti bahwa timbulnya respon atau reaksi dari partisipan hukum yang dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta merta mengambil kesimpulan bahwa antara hukum dan keadilan tidak ada gunanya, bahkan tidak ada hubungannya. Oleh karena keadilan memang hanya sesuatu yang dicita-citakan. Ibarat penilaian baik dan benar tidak ada yang bisa menggambarkan sejelas-jelas mungkin. Sebab apa? Karena lagi-lagi keadilan sudah dikatakan dari awal adalah sifatnya abtrak dan memang keadilan hanyalah tujuan akhir. Niscaya manusia terbatas untuk menggapainya.
Kalau ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan dengan hati nurani. Itu juga hanya dalam wilayah tingakatan rasa sekaligus naluri yang diusahakan sepadan dengan naluri orang lainnya.
Kalau demikian, bukankah hukum yang didentikan sebagai perundang-undangan tidak lain dari rasa kebaikan, rasa kebenaran, kejahatan, dan keburukan yang kemudian diberlakukan secara imperatif. Maka terdapatlah bangunan rasa dan naluri sepadan, universal melalui konsensus moral sejawat kesepahaman.
Maka bersandar, berdasarkan seluruh analogi tersebut, dari situlah hukum dan keadilan terjadi keterakaitan yang tidak dapat dipsahkan satu dengan lainnya. Bagi penganut mazhab hukum positivistik ketika memandang hukum hanya seperangkat perundang-undangan semata, maka pertanyaan yang harus dijawab oleh kaum ini: Lantas berasal dari manakah hukum itu sehingga lahir menjadi sekumpulan kaidah, norma, ketentuan, hingga menjadi sekumpulan perundang-undangan? Apakah cukup lahir dari rasionya saja? Apakah lahir dari rasio Tuhan yang diturunkan melalui rasio manusia (lex humana) ataukah lahir dari alam kebatinan yang dipahami sebagai pengalaman kebatinan berkat kemampuannya memilah kebaikan dan keburukan.
Semua pertanyaan tersebut terjawab dengan mengatakan bahwa “itu moral” dan apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. Kebaikan otomotasi satu haluan dengan keadilan. Segala pekerjaan untuk mengkonkretisasi hukum identik dengan moral, hukum identik dengan keadilan akan terejawantakan dalam prinsip-prinsip hukum.
Dalam konteks ini, dalil ketiga hukum dalam pengembanan sebagaimana yang dikemukakan oleh Mewissen akan menjadi satu kesatuan terhadap seluruh abstraksi teoritikal atas gejala hukum tersebut. Baik ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum merupakan “sentral” untuk melahirkan banyaknya jumlah keadilan melalui banyaknya jumlah asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu hukum.
Antara filsafat hukum yang terpusat pada keadilan kemudian melahirkan sekumpulan teori hukum, maka dalam tataran itulah teori hukum dan keadilan akan menurunkan asas hukum, lalu menciptakan sejumlah ketentuan yang dipahami sebagai kaidah hukum.
Asas hukum dalam “pemainan” moral dan keadilan ini dapat dikatakan wadah yang berada di tengah-tengah untuk mencari konsesensus publik sehingga hukum benar-benar imparsial, integral, hingga tercapai sisi keadilannya.
Hubungan hukum dan keadilan pula dapat diamati pada setiap tujuan hukum. Mulai dari tujuan hukum ajaran etis, ajaran prioritas baku hingga ajaran kasusistis. Satupun dari ajaran tersebut tidak ada yang dapat melepaskan diri dari tujuan hukum pada sisi keadilannya. Hanya saja dilengkapi dengan tujuan hukum lain seperi kepastian, kemanfaatan dan predictibility.
Termasuk pula bagi pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk melepaskan diri dari sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, pada hakikatnya masih dituntut untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran menimbang, mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam konsideran menimbang tersebut, terdapat pertimbangan filsufis yang mencatat tujuan hukum sebagai keadilan atas pembentukan Undang-Undang itu.
Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam melahirkan putusan-putusannya. Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan.
Upaya hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tak kala perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam posisi demikian dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Ingat! pekerjaaan hakim di sini untuk melakukan penafsiran atas ketentuan hukum yang kabur, pada dasarnya menjadi pekerjaan untuk mengakomodasi kaidah-kaidah tidak tertulis yang diakui keberadaannya dalam masyarakat, agar pencapaian keadilan untuk masyarakat, diharapakan hakim dapat mewujudkannya.
Atas dasar itu kemudian menjadi pembenaran saat Roland Dworkin mempopulerkan teori hukumnya sebagai “moral reading”. Moral reading yang dimaksud oleh Dworkin, gugatan terhadap perundang-undangan yang tidak lengkap. Perundang-undangan yang belum mampu mengakomodasi segala kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu menjadi pekerjaan hakim kosnstitusi dalam kasus ini, untuk kembali menciptakan hukum dari hukum yang terpencar di luar, dengan menyesuaikannya dalam ground norm sekaligus dengan constitutional norm.
C.    JENIS-JENIS KEADILAN
Didalam memahami keadilan perlu di ketahui bahwa keadilan itu terbagi kedalam beberapa kelompak yang dikaji dari berbagai sudut ilmu pengetahuan yaitu:
1.      Jenis-jenis keadilan menurut Teori Aristoteles adalah sebagai berikut:
Ø  Keadilan Komunikatif: Pengertian keadilan komunikatif adalah suatu perlakuan kepada seseorang yang tanpa melihat apa jasa-jasanya. Contoh keadilan komunikatif ialah seseorang yang telah dijatuhi sanksi akibat adanya pelanggaran yang telah dibuatnya tanpa melihat apa jasa dan kedudukannya.
Ø  Keadilan Distributif: Pengertian keadilan distributif adalah adanya perlakuan kepada seseorang sesuai dengan seperti apa jasa-jasa yang sudah dilakukan. Contoh keadilan distributif ialah seorang pekerja bangunan yang diberikan gajinya sesuai dengan hasil yang sudah dikerjakan.
Ø  Keadilan Kodrat Alam: Pengertian keadilan kodrat alam adalah suatu perlakuan kepada seseorang dimana itu sesuai dengan hukum alam. Contoh keadilan kodrat alam adalah seseorang akan memberikan balasan dengan baik ketika seseorang tersebut telah melakukan hal yang baik pula untuknya.
Ø  Keadilan Konvensional: Pengertian keadilan konvensional adalah keadilan yang terjadi dimana seseorang bisa mematuhi berupa peraturan perundang-undangan. Contoh keadilan konvensional adalah kepada seluruh warga negara wajib untuk mematuhi segala bentuk peraturan yang berlaku yang ada di negara tersebut.
Ø  Keadilan Perbaikan: Pengertian keadilan perbaikan adalah suatu keadilan yang terjadi dimana seseorang tersebut sudah mencemarkan nama baik orang lain. Contoh keadilan perbaikan adalah seseorang yang meminta maaf kepada media disebabkan telah mencemarkan nama baik orang lain.
2.      Jenis-jenis keadilan menurut Teori Plato adalah sebagai berikut:
·         Keadilan Moral: Pengertian keadilan moral adalah suatu keadilan yang terjadi apabila kita mampu memberikan suatu perlakuan seimbang kepada hak dan kewajibannya.
·         Keadilan Prosedural: Pengertian keadilan prosedural adalah suatu keadilan yang terjadi jika seseorang telah melaksanakan perbuatan sesuai dengan apa yang menjadi tata cara yang sudah diharapkan
  1. Jenis-jenis Keadilan Secara Umum adalah sebagai berikut:
ü  Keadilan Komutatif (Iustitia Commutativa)
Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi bagiannya, di mana yang diutamakan adalah objek tertentu yang merupakan hak dari seseorang. Keadilan komutatif berkenaan dengan hubungan antarorang/antarindividu. Di sini ditekankan agar prestasi sama nilainya dengan kontra prestasi.
ü  Keadilan Distributif (Iustitia Distributiva)
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi haknya, di mana yang menjadi subjek hak adalah individu, sedangkan subjek kewajiban adalah masyarakat. Keadilan distributif berkenaan dengan hubungan antara individu dan masyarakat/negara. Di sini yang ditekankan bukan asas kesamaan/kesetaraan (prestasi sama dengan kontra prestasi). Melainkan, yang ditekankan adalah asas proporsionalitas atau kesebandingan berdasarkan kecakapan, jasa, atau kebutuhan. Keadilan jenis ini berkenaan dengan benda kemasyarakatan seperti jabatan, barang, kehormatan, kebebasan, dan hak-hak.
ü  Keadilan legal (Iustitia Legalis)
Keadilan legal adalah keadilan berdasarkan undang-undang. Yang menjadi objek dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang. Tujuan keadilan legal adalah terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune). Keadilan legal terwujud ketika warga masyarakat melaksanakan undang-undang, dan penguasa pun setia melaksanakan undang-undang itu.
ü  Keadilan Vindikatif (Iustitia Vindicativa)
Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang hukuman atau denda sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya. Setiap warga masyarakat berkewajiban untuk turut serta dalam mewujudkan tujuan hidup bermasyarakat, yaitu kedamaian, dan kesejahteraan bersama. Apabila seseorang berusaha mewujudkannya, maka ia bersikap adil. Tetapi sebaliknya, bila orang justru mempersulit atau menghalangi terwujudnya tujuan bersama tersebut, maka ia patut menerima sanksi sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.
ü  Keadilan Kreatif (Iustitia Creativa)
Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang bagiannya, yaitu berupa kebebasan untuk mencipta sesuai dengan kreativitas yang dimilikinya. Keadilan ini memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengungkapkan kreativitasnya di berbagai bidang kehidupan.
ü  Keadilan Protektif (Iustitia Protectiva)
Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan proteksi atau perlindungan kepada pribadi-pribadi. Dalam masyarakat, keamanan dan kehidupan pribadi-pribadi warga masyarakat wajib dilindungi  dari tindak sewenang-wenang pihak lain. Menurut Montesquieu, untuk mewujudkan keadilan protektif diperlukan adanya tiga hal, yaitu: tujuan sosial yang harus diwujudkan bersama, jaminan terhadap hak asasi manusia, dan konsistensi negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Studi-studi tentang keadilan harus dikesampingkan. Untuk kalangan hukum, studi keadilan merupakan hal yang utama, sebab keadilan adalah salah satu tujuan hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai tujuan utamanya.
Mempelajari hukum tanpa mempelajari keadilan sama dengan mempelajari tubuh tanpa nyawa. Hal ini berarti menerima perkembangan hukum sebagai fenomena fisik tanpa melihat desain rohnya. Akibatnya bisa dilihat bahwa studi hukum kemudian tidak berbeda dengan studi ilmu pasti rancang bangun yang kering dengan sentuhan keadilan.
Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam melahirkan putusan-putusannya. Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan.
Jenis keadilan menurut para ahli berbeda-beda, seperti menurut aristoteles yang membedakan jenis keadilan dalam bentuk keadilan komunikatif, kodrat alam, distributif, konvensional dan perbaikan. Sedangkan menurut plato membedakan jenis keadilan kedalam bentuk keadilan moral dan keadilan prosedural. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pandangan mereka yang berbeda menganai keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Beilharz, Peter. Ed. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers). Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2008.
Kanter, E.Y, Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio-Religius Storia, Jakarta : Grafika, tanggal Juli 2001.




[1] Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. 2014. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm. 11 s/d 16.
[2] Hans Kelsen. 1978. Pure Theory of Law. Calivornia: Berkley University. Page 67.