BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Setiap negara selalu berusaha meningkatkan
pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan
dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak
mungkin investasi asing masuk ke negaranya.[1]
Menarik investasi masuk sebanyak mungkin ke dalam
suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi
suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang
industri. Untuk mengarah kesana, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan
kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar
dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah
tersebut adalah mengundang masuknya modal asing dari negara-negara maju ke
dalam negeri.[2]
Masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia
merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik Indonesia. Alternatif
penghimpunan dana pembagunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal
secara langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan penarikan dana
international lainnya seperti pinjaman luar negeri.[3]
Penanaman modal harus menjadi bagian dari
penyelengaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu
sistem perekonomian yang berdaya saing.[4]
Modal asing yang dibawa oleh investor merupakan hal
yang sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Selain
itu, kegiatan investasi akan memberikan dampak positif bagi negara penerima
modal, seperti mendorong pertumbuhan bisnis, adanya supply teknologi dari
investor baik dalam bentuk proses produksi maupun teknologi permesinan, dan
menciptakan lapangan kerja.[5]
Penanaman modal asing merupakan salah satu bentuk
utama transaksi bisnis internasional, di banyak negara, peraturan pemerintah
tentang penanaman modal asing mensyaratkan adanya joint venture, yaitu
ketentuan bahwa penanaman modal asing harus membentuk joint venture dengan
perusahaan lokal untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang mereka inginkan.[6]
Dibukanya peluang bagi investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia, maka dengan sendirinya dibutuhkan perangkat
hukum untuk mengatur pelaksanaannya, agar investasi yang diharapkan memberikan
keuntungan yang besar dan meningkatkan perekonomian Indonesia.
Landasan hukum penanaman modal di Indonesia diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikutinya.
Diantaranya adalah Undang-undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
jo Undang-undang No. 11 tahun 1970, Undang-undang N0. 6 Tahun 1968 jo
Undang-undang No. 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian
diubah dengan Undang-undang Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal.
Joint venture merupakan suatu kerangka perjanjian antara dua
pihak (perusahaan) atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Perjanjian ini
biasanya bermuara pada terbentuknya suatu perusahaan yaitu joint venture. Dalam
perkembangannya, tidak dibedakan apakah joint venture itu dianggap sebagai penanaman modal asing
ataupun penanaman modal dalam negeri.
Mengingat joint
venture pada dasarnya merupakan upaya patungan modal, maka
dimungkinkan bagi dua perusahaan dalam negeri untuk membentuk suatu joint venture company.
Kemudian mengenai kantor cabang, kantor cabang perusahaan
adalah perusahaan yang merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang
dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan dapat berdiri sendiri atau
bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas dari perusahaan induknya. Ada
beberapa syarat untuk mendirikan kantor cabang.
B. RUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah yang dapat diambil dari latar
belakang diatas adalah:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan joint venture company?
2.
Apa
syarat-syarat untuk menjadi joint venture company?
3.
Apakah
dua perusahaan dalam negeri bisa membuat perusahaan joint venture?
4.
Bagaimana
persyaratan untuk membuat cabang perusahaan?
C. TUJUAN
Tujuan yang dapat diambil dari dibuatnya makalah ini
adalah:
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan joint venture company.
2.
Untuk
mengetahui syarat menjadi joint venture company.
3.
Untuk
mengetahui apakah dua perusahaan dalam negeri dapat membuat perusahaan joint
venture.
4.
Untuk
mengetahui syarat membuat cabang perusahaan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
PERJANJIAN JOINT VENTURE
Istilah kontrak patungan merupakan terjemahan dari
kata joint venture contract atau joint venture agreement. Joint
venture secara umum dapat diartikan persetujuan[7] diantara
dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerja sama.
Inti dari kedua definisi tersebut adalah bahwa untuk
kontrak joint venture merupakan:
1.
Kerja
sama antara pemodal asing dan nasional (umumnya)
2.
Membentuk
perusahaan baru, antara pengusahaa asing dengan pengusaha nasional
3.
Didasarkan
pada kontraktual (perjanjian).
Perusahaan baru merupakan perusahaan yang dibentuk antara
pengusaha asing dengan pengusaha nasional (pada umumnya). Semula pengusaha
asing mempunyai nama perusahaannya sendiri dan pengusaha nasional juga
mempunyai nama perusahaannnya sendiri. Namun, dengan adanya perjanjian yang
dibuat para pihak, mereka sepakat membentuk perusahaan baru. Pada dasarnya,
tidak semua bidang usaha diwajibkan untuk mendirikan perusahaan joint venture
antara perusahaan penanaman modal asing dengan warga negara Indonesia atau
badan hukum Indonesia.
Dasar terjadinya konrak joint venture adalah
kehendak untuk bekerja sama diantara perusahaan. Raaysmaker mengemukakan faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam menjajaki kerja sama joint venture, yaitu:
1.
Masing-masing pihak dibutuhkan sikap meneliti atau
mengenal kondisi dari patner yang diajak kerja sama
2.
Untuk memperoleh tujuan yang dapat berlangsung dalam
tenggang waktu yang lama,
untuk
masing-masing pihak tersebut harus dapat memikirkan pengetahuan atau know-how dalam berbagai bidang. Seperti mengenal metode kerja, pembiayaan, pemasaran
dan pelayanan.
Peter Mahmud juga mengemukakan ada 10 hal
yang harus diperhatikan oleh para pihak sebelum kontrak joint venture
ditandatangani, antara lain:
·
jangka waktu perusahaan joint venture
·
permodalan
·
alokasi saham
·
berakhirnya kontrak
·
kepengurusan perusahaan joint venture
·
distribusi keuangan
·
risiko
·
pengelolaan perusahaan sehari-hari
·
adanya pihak pengganti apabila salah satu
pihak ada yang keluar dari perusahaan joint
venture
·
nonkompetisi dengan salah satu perusahaan joint
venture tersebut.
Pentingnya dibuat sebuah kontrak atau perjanjian
pada pembentukan joint venture adalah sebagaimana fungsi adanya perjanjian
tersebut, yaitu:
1)
sebagai
peraturan mengenai hubungan hukum antara sesama pihak.
2)
menjadi
dasar untuk melaksanakan pimpinan yang dibutuhkan untuk kepentingan
bekerjasama, semuanya harus mengacu pada perjanjian yang telah disepakati
bersama.
3)
sebagai
dasar peraturan yang memungkinkan para pihak secara individual mempunyai hak
melakuakan perbuatan tertentu, tidak tergantung atau terpisah dari joint
venture.
Kontrak joint venture yang telah dibuat, biasanya
bahasa yang digunakan adalah dedgan menggunakan bahasa inggris, karena hal ini
akan memudahkan para pihak, mengingat kontrak joint venture pada umumnya adalah
bentuk kerja sama dengan perusahaan asing. Dan isi kontrak tersebut dibuat oleh
para pihak yang ikut terlibat.[8]
Raaysmaker[9] mengemukakan unsur-unsur
pokok yang perlu dimuat dalam kontrak joint venture, yaitu sebagai berikut:
1.
Uraian tentang pihak-pihak di dalam kontrak
Didalamnya dijelaskan kepada siapakah para pihak
tersebut mengikatkan diri, dan diuraikan batas-batas yang menjadi hak dan
kewajiban oleh para pihak.
2.
Pertimbangan atau Konsiderans
Diuraikan pertimbangan-pertimbangan oleh para pihak
untuk mengadakan kerja sama.
3.
Uraian tentang tujuan
Tujuan itu secara teliti diuraikan, dan dijelaskan
bidang usaha juga aktivitas mana yang berada dibawah pimpinan perusahaan
bersama, dan hal mana yang masih tetap menjadi wewenang perusahaan secara
mandiri.
4.
Waktu
Jangka waktu kontrak joint venture ditentukan oleh
para pihak. Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai kontrak joint venture
yang telah dibuat oleh para pihak maka jangka waktu yang ditentukanya adalah
selama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang. Akan tetapi dalam PP no. 20
tahun 1994 ditentukan bahwa perusahaan yang didirikan dalam rangkan penanaman
modal asing diberikan izin usaha untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
5.
Ketentuan-ketentuan perselisihan
Perbedaan pendapat atau perselisihan seharunsya
sudah dibahas terlebih dahulu sebelum kontrak joint venture itu secara nyata
telah terjadi. Dengan dilakukanya penguraian-penguraian permasalahan yang mana
nantinya akan timbul dalam sela berjalanya kontrak, dan sekaligus di berikan
bagaimana pemecahan permasalahn tersebut.
6.
Organisasi dari kerjasama
Adanya kejelasan tentang struktur organisasi dalam
hal kerjasama.
7.
Pembiayaan
Diuraikan bahwa setiap pihak akan memikul pembiayaan
yang sebanding dengan partisipasinya pada kontrak joint venture.
8.
Dasar penilaian
Dasar penetapan keuntungan dan perhitungan kerugian,
yang digambarkan berdasarkan besarnya modal masing-masing.
9.
Hubungan Khusus antara Patner dan Perusahaan joint
venture
Dijelaskan apakah ada hubungan antara partner dnegan
perusahaan joint venture untuk saling mengamankan berjalanya kontrak.
10. Peralihan saham
Peralihan saham harus dijelaskan di muka dengan
serentetan syarat yang telah disepakati bersama, apakah harus dengan menawarkan
terlebih dahulu kepada partner yang ikut dalam kontrak, atau langsung diberikan
kepada salah satu partner yang ada.
11. Bentuk hukum dan Pilihan Hukum
Harus dijelaskan di awal apakah hukum dari bentuk
kerjasama tersebut adalah perseroan terbatas atau persekutuan dengan firma.
12. Pemasukan oleh patner
Hal ini berkaitan dengan permodalan pada waktu pendirian
adanya kontrak perusahaan joint venture.[10]
Dalam memutuskan untuk membuat suatu joint venture diperlukan perlu
juga diperhatikan beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan untung ruginya
suatu kerjasama. Dengan melihat segi-segi kepentingan dari masing-masing pihak,
suatu joint venture akan memberikan manfaat walaupun disamping itu
juga kerugiannya.
B. JENIS
PERJANJIAN JOINT VENTURE
Kontrak joint venture dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1)
Joint
venture domestic, terjadi antara perusahaan domestic, yaitu perusahaan yang
terdapat di dalam negeri
2)
Joint venture internasional, apabila salah satu dari
perusahaan itu adalah perusahaan asing.
Sebenarnya cara penulisan surat kontrak joint
venture intetnasional maupun domestik tidaklah jauh berbeda. karena isi dari
surat tersebut pada umumnya meliputi aspek yang sama, seperti: Daftar Isi Pasal
1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 2 tentang Para Pihak Dalam Perjanjian, Pasal 3
tentang Perusahaan Joint Venture, Pasal 4 Tujuan dan Ruang Lingkup, Pasal 5
Nilai Investasi Keseluruhan Dan Modal Yang Ditempatkan, dll.
Perusahaan baru merupakan perusahaan yang dibentuk
antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional. Semula pengusaha asing
mempunyai nama perusahaannya sendiri dan pengusaha nasional juga mempunyai nama
perusahaannnya sendiri. Namun, dengan adanya perjanjian yang dibuat para pihak,
mereka sepakat membentuk perusahaan baru. Pada dasarnya, tidak semua bidang
usaha diwajibkan untuk mendirikan perusahaan joint venture antara perusahaan
penanaman modal asing dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Bidang usaha yang wajib mendirikan perusahaan joint
venture antara perusahaan penanaman modal asing dengan warga negara Indonesia
atau badan hukum indonesia, dianut dalam pasal 8 ayat 1 surat keputusan
Menteri Negara Penggerak Dana Investasi atau ketua badan koordinasi
penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang ketentuan pelaksanaan pemilikan saham
dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing. Bidang
usaha wajib mendirikan perusahaan joint venture adalah sebagai berikut:
a.
Pelabuhan
b.
Produksi,
tranmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum
c.
Telekomunikasi
d.
Pelayanan
e.
Penerbangan
f.
Air
minum
g.
Kereta
api
h.
Pembangkit
tenaga atom
i.
Mass
media
Yang menjadi faktor penyebab wajib mengadakan
usaha patungan adalah karena usaha-usaha tersbut tergolong penting bagi negara
yang diperuntukkan warganegaranya.[11]
C.
SYARAT
DUA PERUSAHAAN DALAM NEGERI MEMBUAT JOINT VENTURE
Pengertian
dari istilah joint venture sebenarnya
tidak secara tegas diatur dalam Undang-Undang, namun itu dijelaskan pada Pasal 5 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
yang menyatakan:
“Penanam
modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk
perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat pendirian
perseroan terbatas.”
Dari
pengertian di atas, kita dapat melihat bahwa joint venture merupakan suatu kerangka perjanjian antara
dua pihak (perusahaan) atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Perjanjian
ini biasanya bermuara pada terbentuknya suatu perusahaan joint venture. Dengan skema joint venture ini, para pihak
mendapatkan beberapa manfaat seperti:
1. Mengurangi
kebutuhan modal dan sumber daya lainnya karena adanya unsur pembagian
kebutuhan;
2. Transfer
teknologi antar pihak;
3. Meminimalisasi
resiko usaha;
4. Memungkinkan
untuk mengembangkan usaha sampai ke skala global.
Dalam
perkembangannya, joint venture
yang ada sering dikaitkan dengan kemampuan modal nasional yang
sudah dapat melakukan usaha kerja sama dengan penanam modal asing melalui
bentuk Penanaman Modal Asing (“PMA”) secara langsung di Indonesia. Bahkan Sunaryati Hartono dalam
bukunya Beberapa Masalah adalah
Transnasional yang ada Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia mengemukakan
batasan joint venture sebagai setiap
usaha bersama antara modal Indonesia dan modal asing, baik ia merupakan usaha
bersama antara swasta dan swasta, pemerintah dan swasta, ataupun pemerintah dan
pemerintah. Juga tidak dibedakan apakah joint venture itu dianggap sebagai penanaman modal asing
ataupun penanaman modal dalam negeri.
Huala Adolf yang menurut dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional menyebutkan
bahwa joint venture dipilih
oleh pemilik modal asing biasanya karena kekhawatiran terhadap adanya
pengambilalihan secara sewenang-wenang tanpa melalui suatu prosedur hukum oleh
negara penerima modal (nasionalisasi).
Isu
nasionalisasi ini masih eksis di beberapa komunitas. Namun secara hukum
saat ini, nasionalisasi sudah tidak dimungkinkan, kecuali dengan Undang-Undang[12],
misalnya melalui mekanisme divestasi. Oleh karena itu, joint venture menjadi salah satu
model aktivitas investasi (penanaman modal) yang dilakukan oleh PMA selaku
investor melalui perusahaan patungan yang melakukan usahanya di wilayah
Republik Indonesia.
Disini
terlihat bahwa joint venture merupakan
salah satu sarana menarik modal asing yang dalam pelaksanaannya berdasarkan
persetujuan para pihak. Persetujuan dimaksud harus memenuhi kaidah perjanjian
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
1. Para
pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya;
2. Para
pihak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum;
3. Perbuatan
hukum tersebut harus mengenai suatu hal tertentu; dan
4. Persetujuan
tersebut harus mengenai suatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
Menyusun
perjanjian joint venture (joint venture agreement) merupakan
langkah awal dalam membentuk perusahaan joint venture. Joint
venture agreement sendiri berisikan kesepakatan para pihak dalam
hal, antara lain kepemilikan modal, saham, peningkatan kepemilikan saham
penyertaan, keuangan, kepengurusan, teknologi dan tenaga ahli, penyelesaian
sengketa yang mungkin terjadi, dan berakhirnya perjanjian.
Perusahaan joint venture yang modalnya
diperoleh dari campuran modal dalam negeri dan modal asing dikategorikan
sebagai PMA. Di Indonesia sendiri, mengenai pendirian PT PMA diatur
dalam Pasal 1 angka 3 UU
25/2007 yang berbunyi:
“Penanaman
Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman
modal dalam negeri.”
Syarat-syarat
menjadi joint venture company sendiri
antara lain:
2. Untuk joint venture yang PMA, modal
dalam negeri minimal 51% dari total modal perusahan patungan (joint venture company) tersebut.
Namun prosentase kepemilikan ini bisa lebih besar atau lebih kecil, tergantung
pada bidang usaha yang akan dimasuki oleh perusahaan joint venture tersebut mengingat
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Daftar Negatif Investasi (Negative Investment List) yang di
dalamnya disebutkan prosentase maksimal modal asing yang boleh masuk pada
bidang usaha tertentu.
Untuk
detail bidang usaha, Saudara dapat melihat pada Peraturan Presiden Nomor 39
Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
3. Ada
sejumlah bidang usaha yang tertutup untuk perusahaan joint venture[14],
sehingga calon investor harus melihat Daftar Negatif Investasi yang terbaru.
4. Perusahaan joint venture PMA wajib
mengajukan izin prinsip dan izin usaha tetap (IUT) ke Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM).
5. Perusahaan joint venture PMA secara berkala
menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) ke BKPM.
Selanjutnya,
mengenai perusahaan dalam negeri sendiri, kami menafsirkan yang Saudara maksud
adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Oleh karena itu, kami berpegangan
pada Pasal 5 ayat (1) UU 25/2007 yang
menyatakan bahwa:
“PMDN
dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak
berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Dengan
melihat pada aturan di atas, kami mengasumsikan bahwa perusahaan dalam negeri
adalah PMDN yang termanifestasi dalam bentuk suatu badan usaha, baik badan
usaha berbadan hukum maupun badan usaha tidak berbadan hukum, yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan permodalan badan usahanya berasal dari modal
yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan Warga Negara Indonesia,
atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.[15]
Dengan
demikian, PMDN merupakan perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Negara
Indonesia yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia dan
saham beserta hak-hak yang melekat pada saham tersebut (Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)
dimiliki oleh perseorangan warga negara Indonesia, BUMN, BUMD, pemerintah
daerah atau pemerintah Republik Indonesia. Mengingat joint venture pada dasarnya merupakan upaya patungan
modal, maka dimungkinkan bagi dua perusahaan dalam negeri untuk membentuk
suatu joint venture company.
Selanjutnya
mengenai cabang perusahaan, dalam Pasal
1 angka 5 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007
tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag 37/2007”) disebutkan:
“Kantor
cabang perusahaan adalah perusahaan yang merupakan unit atau bagian dari
perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan dapat
berdiri sendiri atau bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas dari perusahaan
induknya.”
Untuk
membuat kantor cabang, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi:
1. Ada
kantor pusatnya yang dibuktikan dengan adanya:
a. akta
notaris dan SK Kemenhukham yang menjelaskan pendirian perusahaan yang akan
menjadi kantor pusat.
b. fotocopy
seluruh pengurus perusahaan kantor pusat yang namanya tercantum dalam akta
pendirian perusahaan kantor pusat.
c. SIUP
dan TDP dari perusahaan kantor pusat.
2. Bentuk
badan usaha kantor cabang sama dengan kantor pusatnya.
3. Pembuatan
akta pendirian kantor cabang dan penerbitan SK Kemenhukham yang dalam prosesnya
membutuhkan adanya dokumen:
a. surat
kuasa dari salah satu pengurus kantor pusat dalam hal pendirian kantor cabang.
b. salinan
surat pengangkatan/penunjukan personal yang menjadi kepala cabang nantinya
beserta fotocopi identitas/KTP dan foto kepala cabang.
c. susunan
bakal pengurus kantor cabang.
4. Pembuatan
Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) kantor cabang yang dalam prosesnya
membutuhkan adanya dokumen:
a. denah
lokasi/kantor dari kantor cabang.
b. bukti
pelunasan PBB tempat kantor cabang.
5. Pembuatan
Tanda Daftar Perusahaan (TDP) kantor cabang.
6. Pembuatan
izin lain yang terkait, misalnya persetujuan prinsip untuk perusahaan asing.
7. Pemenuhan
syarat minimum modal untuk kantor cabang tertentu, misalnya kantor cabang
pialang berjangka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Joint venture adalah
Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam
bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat
pendirian perseroan terbatas.
Syarat-syarat menjadi joint venture company sendiri antara lain:
- Wajib dalam bentuk Perseroan
Terbatas (PT) jika ada unsur modal asing.
- Untuk joint venture yang PMA, modal dalam negeri minimal 51%
dari total modal perusahan patungan (joint venture company) tersebut. Namun prosentase
kepemilikan ini bisa lebih besar atau lebih kecil, tergantung pada bidang
usaha yang akan dimasuki oleh perusahaan joint venture tersebut mengingat Pemerintah Indonesia
telah menerbitkan Daftar Negatif Investasi (Negative Investment List) yang di dalamnya disebutkan
prosentase maksimal modal asing yang boleh masuk pada bidang usaha
tertentu.
Untuk detail bidang usaha, Saudara dapat melihat
pada Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal.
- Ada sejumlah bidang usaha yang tertutup untuk
perusahaan joint venture,
sehingga calon investor harus melihat Daftar Negatif
Investasi yang terbaru.
- Perusahaan joint venture PMA wajib mengajukan izin prinsip dan
izin usaha tetap (IUT) ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
- Perusahaan joint venture PMA secara berkala menyampaikan Laporan
Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) ke BKPM.
PMDN merupakan perusahaan yang didirikan berdasarkan
hukum Negara Indonesia yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik
Indonesia dan saham beserta hak-hak yang melekat pada saham tersebut (Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) dimiliki oleh
perseorangan warga negara Indonesia, BUMN, BUMD, pemerintah daerah atau
pemerintah Republik Indonesia. Mengingat joint
venture pada dasarnya merupakan upaya patungan modal, maka dimungkinkan
bagi dua perusahaan dalam negeri untuk membentuk suatu joint venture company.
Saran
Aspek hukum sangat penting ditegakkan dalam dunia
investasi. Perkembangan investasi yang bergerak dengan cepat seiring lajunya
perkembangan teknologi dewasa ini menuntut hukum juga masih tetap dapat
memberikan perlindungan yang sama. Sehingga pada akhirnya aspek hukum selaku
memberikan payung hukum terhadap setiap kegiatan pelaku usaha dalam
berinvestasi. Hukum juga hendaknya senatiasa bergerak dinamis mengimbangi
pergerakan dunia investasi. Agar senatiasa memberikan perlindungan hukum,
terkhususnya pada akhirnya tidak akan merugikan masyarakat akibat persaingan
usaha yang tidak sehat dalam berinvestasi.
DAFTAR PUSTAKA
Salim H. S. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak
Innominat Di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika;. Cet 1.
Asyhadie, Zaeny. 2006. Hukum Bisnis (Prinsip
dan Pelaksanaanya Di Indonesia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;
Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan
Pendaftaran Perusahaan;
[1] Ahmad Yulianto, “Peranan Multilateral Investment Guarantee
Agency (MIGA) dalam Kegiatan Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No.
5, Tahun 2003, hlm 39.
[2] Ridwan Khairandy,”Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Joint
Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22,
No. 5, Tahun 2003, hlm 51.
[3] Yulianto Syahyu,”Pertumbuhan Investasi Asing Di Kepulauan
Batam: Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum”, Jurnal Hukum
Bisnis, Vol 22, No. 5, Tahun 2003, hlm 46.
[4] Indonesia, Undang-undang
Nomor. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penjelasan umum alenia ke 2.
Lembar Negara Nomor 67. Tahun 2007.
[5] Delisa A. Ridgway dan
Mariya A.Talib, ”Globalization and
Development: Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule of Law”,
California Western International Law Journal, Vol 33, Spring 2003, hal. 335.
[6] Jonh W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta:
Proyek Elips, 1997, hal 71.
[7] Persetujuan disini diartikan bahwa suatu perjanjian
itu harus tetap berpedoman pada syarat syahnya suatu perjanjian sebagaimana
diatur dalam pasal 1320 KUHPer.
[8] Salim H. S. Perkembangan Hukum Kontrak
Innominat Di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika; 2003. Cet 1. Hlm 51-57
[10] Salim H. S. Perkembangan Hukum Kontrak
Innominat Di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika; 2003. Cet 1. Hlm 58.
[11] Salim H. S. Perkembangan Hukum Kontrak
Innominat Di Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika; 2003. Cet 1. Hlm 54.
[13] Pasal 5 ayat (2) UU
25/2007
[14] Pasal 12 ayat (1) UU
25/2007