BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dalam
pembicaraan ini nanti akan dicoba menerangkan pertumbuhan serta perkembangan
demkrasi, yaitu mulai dari Demokrasi langsung, demokrasi kuno, yang mulai
timbul dan berkembang sejak pada zaman Yunani Kuno, sampai pada perkembangannya
mencapai demokrasi tidak langsung, demokrasi perwakilan, atau demokrasi modern.
Ini terjadi sekitar abad ke XVII dan abad ke XVIII, maka dalam hal ini nanti
akan erat hubungannya dengan ajaran-ajaran para sarjana hukum alam. Terutama
ajaran Montesquieu, yakni ajaran tentang pemisahan kekuasaan, yang kemudian
terkenal dengan nama Trias Politika,
karena ajaran inilah yang justru akan menentukan tipe daripada demokrasi modern, dan ajaran Rousseau, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, yang justru tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi.
karena ajaran inilah yang justru akan menentukan tipe daripada demokrasi modern, dan ajaran Rousseau, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, yang justru tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi.
Sekarang
kita akan membicarakan tentangtipe atau jenis-jenis demokrasi modern. Dan
menurut pendapat yang umum penjenisan terhadap negara-negara demokrasi ini
berdasarkan atas sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif.
Dalam hal ini Kranenburg bermaksud meninjau bagaimanakah sifat kekuasaan
penguasa itu. Sedangkan penjenisan yang akan dibicarakan di sini dimaksudkan
untuk meninjau negara dari segi sistem pemerintahannya.
Negara
Indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan, salah satunya adalah
sistem pemerintahan demokrasi, awalnya Indonesia menganut sistem pemerintahan
demokrasi parlementer pada tahun 1945 – 1959, dimana sistem pemerintahan ini menempatkan
kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala
pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan
menteri-menteri dalam cabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam
demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara. Kemudian sistem
pemerintahan tersebut mulai digantikan dengan sistem pemerintahan demokrasi
presidensiil, dimana sistem pemerintahan ini dipimpin oleh seorang presiden dan
wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa kerja dengan
jangka waktu yang telah ditentukan oleh konstitusi. Tentunya dalam sistem
pemerintahan ini, pemerintahan dikepalai oleh seorang presiden dan sekaligus
sebagai kepala negara. Sistem pemerintahan presidensial menganut aturan para
menteri merupakan pembantu presiden yang diangkat oleh presiden dan bertanggung
jawab juga kepada presiden. Itulah definisi dari sistem pemerintahan
presidensial. Sistem ini berlaku di Indonesia mulai tahun 1988 hingga sekarang.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah yang timbul
dari latar belakang tersebut adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan demokrasi?
2.
Bagaimana
perkembangan sejarah demokrasi di Barat dan di Indonesia?
3.
Apa sajakah tipe-tipe demokrasi modern yang pernah ada di Indonesia?
C.
TUJUAN
Tujuan yang hendak dicapai
dalam makalah ini adalah:
1.
Untuk
mendeskripsikan dari pengertian demokrasi.
2.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan demokrasi di Barat dan di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui
tipe-tipe demokrasi modern yang pernah ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DEMOKRASI
Demokrasi
merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi. Karena demokrasi
merupakan suatu sistem yang telah dijadikan alternatif dalam tatanan aktivitas
bermasyarakat dan bernegara. Dan
demokrasi merupakan asas yang fundamental dalam pemerintahan. Namun sebenarnya,
apa hakikat dari demokrasi itu sendiri.
Secara
etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani,
yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos yang
berarti kekuasaan. Jadi, secara
terminologis demokrasi berarti kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dengan
kata lain, kedulatan rakyat mengandung pengetian bahwa sistem kekuasaan
tertinggi dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat.[1]
Pengertian
demokrasi secara istilah menurut para ahli adalah sebagai berikut:[2]
Joseph
A. Shumpter
“Demokrasi
merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik
dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat”.
Sidney
Hook
“Demokrasi
adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting
secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”.
Henry
B. Mayo
“Demokrasi
sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil secara efektif oleh
rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.
Makna
demokrasi dalam sebuah ideologi adalah bahwa ketika sebuah Negara sebagai
sebuah organisasi tertinggi dalam wilayah tertentu menganut demokrasi, Negara
tersebut harus mau menyerahkan kekuasaan kepada rakyat, sehingga:
·
Rakyat yang membuat
aturan dasar
·
Rakyat yang membentuk
pemerintahan
·
Rakyat yang membuat
kebijakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan
·
Rakyat yang mengawasi dan
menilai pelaksanaan kebijakan tersebut atau kinerja pemerintah.[3]
Jadi,
dalam pelaksanaannya merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat, dalam pengorganisasian suatu Negara.
Dari
beberapa pendapat diatas dapat disimpulan bahwa, hakikat demokrasi
dalam sisitem pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di
tanagan rakyat, baikdalam pemeritahan maupun dalam penyelenggaraan Negara, yang
mencangkup tiga hal, yaitu:
1) Pemerintah
dari rakyat (government of the people);
2) Pemerintah
oleh rakyat (government by people);
3) Pemerintahan
untuk rakyat (government by people)[4].
Tak
lepas dari hakikatnya, demokrasi mempunyai norma-norma sebagai pandangan hidup,
menurut Nurcholis Madjid, yaitu:
1) Pentingnya
kesadaran akan pluralisme
2) Terdapatnya
musyawarah mufakat
3) Mempunyai
tujuan
4) Pemufakatan
yang jujur dan sehat
5) Terpenuhinya
keperluan pokok
6) Kerjasama
antarwarga masyarakat dan sikap saling mempercayai itikad yang baik
7) Pentingnya
pendidikan demokrasi.[5]
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN
DEMOKRASI
Sejarah
Perkembangan Demokrasi di Barat
Konsep
pemikiran demokrasi lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum di
Yunani kuno dan dipraktekan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai
abad ke-4 SM. Dengan bentuk demokrasi yang bersifat langsung, yaitu hak rakyat
untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara
berdasarkan prosedur mayoritas. Demokrasi berjalan efektif karena
semua kalangan dapat menikmatinya.
Gagasan
demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan. Dengan ciri masyarakat
yang foedal, yaitu kehidupan spiritual dikuasai oleh seorang Paus dan pejabat
agama dan kekuasaan oleh para bangsawan. Dan kehidupan sosial dikuasai oleh
bangasawan, sehingga demokrasi ini tidak muncul pada abad pertengahan (abad
kegelapan).
Namun,
menjelang akhir abad pertengahan tumbuh keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna
Charta sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan
dan Raja John merupakan tonggak kemunculan demokrasi empirik. Di dalam piagam tersebut
memuat dua prinsip yang sangat mendasar, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja
dan hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan raja.
Dan
momentum lain yang menandakan berdiinya sebuah demokrasi, yaitu adanya
gerakan Renaissance yang menghidupkan kembali minat pada
sastra dan budaya Yunani Kuno, karena adanya kontak dengan dunai Islam yang
ketika itu sedang pada masa kejayaan peradaban ilmu pengetahuan. Pada masa ini
orang mematahkan ikatan yang ada dan menggantikannya dengan bertindak
seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan yang dipikirkan.
Peristiwa
lain yang mendukung berdirinya demokrasi pada abad pertengahan yaitu adanya
gerakan reformasi yaitu suatu garakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada
abad ke-16 yang bertujuan memperbaiki keaadaan Gereja Katolik.[6]
Konsep
hukum Negara formal, mulai digugat menjelang petengahan abad ke-20 tepatnya
setelah perang dunia. Beberapa faktor lain yang mendorong berdirinya Negara
hukum formal yaitu pluralis liberal, seperti yang dikemukakan Miriam Budjiarjo,
antara lain akses dalam industrialiasasi dan sistem kapitalis, tersebar aham
sosialisme yang menginkan pembagian kekuasaan secara merata.
Sejarah
perkembangan demokrasi di Barat diawali dengan bentuk demokrasi langsung yang
berakhir pada abad pertengahan. Menjelang akhir abad pada saat pertengahan
lahir Piagam Magna Charta dan
dilajutkan munculnya gerakan Renaissance dan menekankan pada
adanya hak atas hidup, hak kebebebasan dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad
ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional yang melahirkan demokrasi welfare
state.
Sejarah Perkembangan
Demokrasi di Indonesia
Perkembangan
demokrasi di Indonesia mengalami fluktuasi dan masa kejaannya dari masa
kemerdekaan sampai saat ini. Dalam perjalanan demokrasi Negara Indonesia,
terdapat berbagai masalah yang muncul yang harus dihadapi, yaitu bagaimana
suatu demokrasi sebagai tonggak berkembangnya suatu Negara dapat menjadi peran
dalam mewujudkan berdirinya sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perkembangan demokrasi Indonesia, dalam kurunnya waktu terbagi menjadi menjadi
empat periode, yaitu:
a. Demokrsi
Parlementer (1945-1959)
b. Demokrasi
Terpimpin (1959-1965)
c. Demokrasi
Pancasila (1965-1998)
d. Demokrasi
dalam Orde Reformasi (1998-sampai sekarang)
1.
Demokrasi Parlementer
(1945-1959)
Demokrasi
pada masa ini dikenal dengan demokrasi parlementer. Dimana parlementer mulai
diberlakukan sesudah sebulan kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat
dalam UUD 1945 dan 1950. Namun dalam pelaksanaannya kurang sesuai untuk
Indonesia. Karena persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama
dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstuktif sesudah
kemerdekaan dicapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi demokrasi sistem
peluang untuk mendominasi partai-partai politik dan DPR.
Dimana
menurut UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer, dengan Badan
Eksekutif yang terdiri dari presiden sebagai kepala Negara beserta
menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik.
Karena
fragmentasi partai politik, usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan
cukup lama, juga ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak
memperoleh saluran dan tempat yang realistis, padahal merupakan kekuatan yang
paling penting, akhirnya koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah, hal
ini mengkibatkan, destabilisasi politik nasional.
Faktor-faktor
semacam ini ditambah dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang
tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsesus mengenai dasar Negara
untuk UUD baru, akhirnya mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, dengan memperlakukannya kembali UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar. Dengan peristiwa ini berakhirlah masa demokrasi
parlementer.[7]
2.
Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Pada
masa periode ini, ialah adanya dalam pendominasian presiden dalam kegiatan
pemerintahan, berkembangnya komunis, dan meluasnya peran ABRI dalam unsur
sosial politik. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk
bertahan sekurang-kurangnya 5 tahun.Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963
yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup, telah membatalkan
pembatasan dalam kurun waktu 5 tahun itu.Selain itu, banyak terjadi tindakan
penyimpangan lainnya yang terjadi terhadap ketentuan UUD 1945 yang eksplisit
ditentukan dan presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong juga mengganti Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
hasil pemilu, ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan
fungsi kontrol ditiadakan.Dan di dalam bidang perundang-undangan dimana segala
aktifitas pemerintahan dilaksanakan melalui Penetapan Presiden yang memakai
sumber Dekrit 5 Juli.
Dan
bagaimanakah rumusan demokrasi terpimpin dan apakah butir-butir pokok demokrasi
terpimpin? Seperti
yang dikemukakan Soekarno, dalam kutipan A.Syafi’I Ma’arif adalah demokrasi
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan
prinsip-prinsip demokrasi terpimpin yang dikemukakan oleh Soekarno adalah
sebagai berikut: pertama; tiap-tiap orang diwajibkan untuk
berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangasa, dan Negara; kedua; tiap-tiap
orangberhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan
Negara.[8]
3.
Demokrasi Pancasila
(1965-1998)
Dengan
landasan formil, yaitu pancasila, UUD 1945, dan Ketetapan MPRS. Dalam usah
untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945. Dan begitupula
meniadakan pasal yan memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan
permasalahan yang tidak dicapai mufakat antara badan legeslatif. Selain itu
beberapa hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih
penuh dengan memberi kebebasan kepada pers untuk menyatakan pendapat, dan
kepala partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama
menjelang pemilu 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan
dalam masyarakat disamping pembangunan secara teratur.
Namun
dalam pelaksanaanya, demokrasi pancasila pada masa Soeharto belum mencapai pada
tataran praksis. Karena dalam demokrasi ini, ditandai dengan adanya; dominan
para ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik;
pengebirian peran dan fungsi partai politik; adanya campur tangan pemerintah
dalam berbagai urusan partai politik; masa mengambang; monolitisasi ideologi
Negara; dan inkorporasi lembaga non pemerintah. Sehingga pelaksanaan demokrasi
pada masa ini belum secara penuh ditegakan berdasar nilai-nilai demokrasi
pancasila.[9]
4.
Demokrasi Reformasi
(1998-sampai sekarang)
Runtuhnya
rezim orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di
Indonesia. Bergulirnya reformasi menjadi masa tansisi di Indonesia, dimana pada
masa ini terjadi pembalikan arah perjalan bangsa dan Negara yang akan membawa
Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada orde
lama dan orde baru.
Sukses
atau gagalnya suatu demokrasi tergantung pada empat faktor, yaitu:
Ø Komposisi
elite politik
Ø Desain
institusi politik
Ø Kultur
politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non elite
Ø Peran
masyarakat madani.
Pentingnya
komposisi elite politik, dikarenakan dalam demokrasi modern dengan bentuknya
demokrasi perwakilan rakyat mendelegasikan kedaulatan dan kekuasaannya pada
elite politik. Dimana para elite politik mendesain institusi politik, yang
dimana saling bertanggungjawab dalam melakukan tawar menawar, memobilisasi
dukungan, dan opini publik.
Indikasi
kearah terwujudnya kehidupan demokratis dalam era transisi menuju demokrasi di
Indonesia antara adanya reposisi dan redefinisi TNI dalam kaitan dengan
keberadaannya pada sebuah Negara demokrasi, diamandemennya pasal-pasal dalam
konstitusi Negara RI, adanya kebebasan pers, dijalankannya kebijakan otonomi
daerah, dan sebagainya. Akan tetapi sampai saat inipun masih dijumpai
indikasi-indikasi kembalinya keuasaan yang masih memutar balikan arah demokrasi
di Indonesia kembali ke periode sebelum reformasi.Oleh sebab itu, kondisi
transisi demokrasi Indonesia untuk saat ini belum jelas kemana arahnya.
Perubahan sistem politik, melalui paket amandemen konstitusi (amandemen-IV) dan
pembuatan paket perundang-undangan politik (UU Partai Politik, UU
Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Susunan dan Kedudukan DPR,
DPRD, DPD), dimana dapat mengawasi transisi menuju demokrasi.[10]
Dan
pada pelaksanaan pemerintahan pada masa sekarang, masih terjadi tindakan di
luar nilai UUD 1945. Maraknya kasus korupsi dikalangan para pejabat
Negara yang masih belum terselesaikan.
C. TIPE-TIPE
DEMOKRASI MODERN DI INDONESIA
Demokrasi dengan sistem presidensial
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa yang
menjadi ciri, atau kriteria daripada penggolongan atau klasifikasi tipe
demokrasi modern ini adalah sifat hubungan antara badan-badan, atau organ-organ
yang kekuasaan daripada negara tersebut, terutama bagaimanakah sifat hubungan
antara badan legislatif, yaitu badan yang memegang kekuasaan perundang-undangan,
ini biasanya adalah badan perwakilan yang ingat sistem trias politika, dengan
badan eksekutif, yaitu badan memegang kekuasaan pemerintahan atau badan yang
melaksanakan peraturan-peraturan negara, atau disebut juga pemerintah.
Di dalam sistem ini sifat hubungan antara kedua badan
tersebut dapat dikatakan tidak ada, jadi secara prinsipil bebas. Di sini orang
menduga bahwa stelsel atau sistem inilah yang dikehendaki oleh Montesquieu.[11]
Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan
legislative di sini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu
badan atau organ yang di dalam menjalankan tugas eksekutifnya itu tidak
bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan perwakilan rakyat ini
menurut ide Trias Politika Montesquieu memegang kekuasan legislatif, jadi
bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian
sebagai juga halnya dengan anggota-anggota badan perwakilan rakyat, pimpinan
daripada badan eksekutif ini diserahkan kepada seseorang yang di dalam hal
pertanggungan jawabnya sifatnya sama dengan badan perwakilan rakyat, yaitu
bertanggung jawab langsung kepada rakyat, jadi tidak perlu melalui badan
perwakilan rakyat. Jadi dengan demikian kedudukan badan eksekutif adalah bebas
dari badan perwakilan rakyat.
Menteri-menteri itu sebagai pembantu presiden bertugas
memimpin departemen-departemen pemerintahan, dan bertanggung jawab kepada
presiden. Badan perwakilan rakyat tidak dapat memberhentikan seseorang atau
beberapa orang menteri yang turut bekerja di dalam badan eksekutif meskipun
badan perwakilan rakyat itu tidak dapat menyetujui kebijaksa naan dari pada para menteri tersebut para menteri ini tidak
mempunyai hubungan ke luar, dimaksudkan hubungan pertanggungan jawab dengan
badan perwakilan rakyat. Yang ber tanggung jawab pelaksanaan tugas yang
diberikan kepada mereka oleh kepala negara, adalah kepala negara sendiri.
Sedangkan kepala negara inipun tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan
rakyat, atas anaan penyelesaian daripada tugas-tugasnya. Maka mengingat akan
kedudukan para menteri ini, yang hanya merupakan pembantu pimpinan Presiden, di
mana presiden itu merupakan stelsel badan stelsel atau sistem yang demikian ini
disebut eksekutif, atau sistem presidensiil.
Demokrasi dengan sistem parlementer
Dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi di antara
badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif
dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling
mempengaruhi atau sistem parlementer.
Di dalam sistem ini ada hubungan yang erat antara
badan eksekutif dengan badan legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan
rakyat. Tugas atau kekuasaan eksekutif di sini diserahkan kepada suatu badan
yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini mempertanggungjawabkan
kebijaksanaannya, terutama dalam lapangan pemerintahan kepada badan perwakilan
rakyat, yang menurut ajaran trias politika Montesquieu diserahi tugas memegang
kekuasaan perundang-undangan, atau kekuasaan legislatif.[12]
Pertanggungan jawab ini tidak berarti bahwa badan
eksekutif harus mengikuti segala apa yang dikehendaki oleh badan perwakilan
rakyat saja dan menjalankan apa yang menjadi kemauan daripada badan perwakilan
tetapi kabinet masih mempunyai kebebasan dalam menentukan kebijaksanaannya
terutama mengenai langkah-langkah pemerintahannya. Jadi pokoknya kabinet masih
mempunyai kebebasan dalam inisiatif. Hanya saja dalam tindakan-tindakannya
mereka bertanggung-jawab kepada badan perwakilan rakyat atau parlemen, yang
berarti bahwa mereka setiap waktu atau setiap kali dapat dimintai
pertanggungan-jawab tentang kebijaksanaannya oleh badan perwakilan rakyat.
Jika terjadi hal yang demikian ini, artinya badan
perwakilan rakyat minta pertanggungan-jawab kepada kabinet tentang
kebijaksanaannya maka kabinet harus membela dan menjelaskan kebijaksanaannya
itu kepada badan perwakilan rakyat. Penjelasan ini mungkin hanya dilakukan oleh
salah seorang menteri yang bersangkutan, atau mungkin oleh kabinet sendiri,
jadi seluruh menteri-lah yang bertanggung-jawab. Jika demikian halnya maka
biasanya penjelasan diberikan oleh perdana menterinya.
Setelah itu tergantung kepada penilaian daripada badan
perwakilan rakyat itu, untuk dapat menerima baik pertanggungan jawab yang
diberikan oleh kabinet tersebut, ataukah tidak. Kalau badan perwakilan rakyat
dapat menerima pertanggungan jawab yang diberikan oleh kabinet tersebut, maka
dalam hal ini tidak akan terjadi sesuatu hal, akan tetapi kalau badan
perwakilan tidak dapat menerima, ada kemungkinan bahwa badan perwakilan rakyat
itu dengan suatu keputusan menyatakan tidak percaya terhadap kebijaksanaan
pemerintah atau kabinet tersebut. Jika terjadi hal yang demikian ini maka
menteri, atau para menteri yang bersangkutan, atau ternyata seluruh menteri
atau seluruh anggota kabinet harus mengundurkan diri. Inilah yang disebut
sebagai krisis kabinet.
Oleh karena kabinet itu bertanggung jawab kepada badan
perwakila rakyat, maka sudah barang tentu pertanggungan jawab itu kebanyakan
akan diterima baik oleh badan perwakilan rakyat, jika kebijaksanaan pada umum
nya dari kabinet itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh mayoritas di dalam
badan perwakilan rakyat. Dan kebijaksanaan yang demikian itu pada umumnya dapat
diharapkan akan mendapatkan penerimaan baik oleh mayoritas dalam badan
perwakilan rakyat, kalau dalam pembentukan cabinet itu telah diusahakan
terlebih dahulu duduknya orang-orang yang bersama-sama merupakan mayoritas di
dalam parlemen.
Untuk mencegah jangan sampai terjadi bahwa kabinet
yang mengambil suatu keputusan (kebijaksanaan) dan kemudian tidak dapat
diterima oleh badan perwakilan rakyat yang tidak representatif, maka sebagai
perimbangan daripada pertanggungan- jawab cabinet itu, yaitu yang berarti bahwa
kalau kebijaksanaan cabinet tidak dapat diterima oleh badan perwakilan rakyat,
kabinet, atau menteri yang bersangkutan harus mengundurkan diri, dengan melalui
kepala negara, mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan perwakilan rakyat
yang dianggapnya sudah tidak lagi bersifat representatif.
Di sinilah letak intisari pengertian daripada stelsel
parlementer, yaitu kabinet bertanggung-jawab kepada parlemen atau badan
perwakilan rakyat, artinya, kalau pertanggungan-jawab kabinet itu tidak dapat
diterima baik oleh badan perwakilan rakyat, pertanggungan-jawab tadi adalah
pertanggungan-jawab politis maka badan perwakilan rakyat dapat menyatakan tidak
percaya (mosi tidak percaya) terhadap kebijaksanaan kabinet, dan sebagai akibat
daripada pertanggungan-jawab politis tadi, kabinet harus mengundurkan diri.
Tetapi kalau ada keragu-raguan dari pihak kabinet, dan menganggap bahwa badan
perwakilan rakyat itu tidak lagi bersifat representatif, maka sebagai imbangan
daripada kekuasaan badan perwakilan rakyat untuk membubarkan kabinet tadi,
kabinet mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan perwakilan rakyat (yang
tidak representatif itu).[13]
Pembubaran badan perwakilan rakyat ini kemudian
disusul dengan pemilihan atau pembentukan badan perwakilan rakyat yang baru,
dan badan perwakilan rakyat yang baru inilah nanti yang akan menentukan apakah
tindakan kabinet tadi benar atau tidak. Artinya kalau badan perwakilan rakyat
yang baru ini juga tidak dapat menerima kebijaksanaan kabinet, maka ini berarti
bahwa tindakan kabinet yang berupa pembubaran badan perwakilan rakyat yang
dianggapnya tidak representatif tidak benar, dan kabinet itulah yang harus
membubarkan dirinya, dan kemudian disusun kabinet yang baru. Tetapi kalau badan
perwakilan rakyat yang baru tadi menerima baik pertanggungan-jawab
kebijaksanaan kabinet berarti bahwa tindakan kabinet yang berupa pembubaran
badan perwakilan rakyat yang dianggapnya tidak representatif tadi benar.
Kalau kita perhatikan stelsel parlementer ini lebih
jauh lagi kita akan mendapatkan di dalam inti stelsel ini dua segi, yaitu:
1
Segi positif,
yaitu yang berarti bahwa para menteri harus diangkat oleh, atau sesuai dengan
mayoritas dalam badan perwakilan rakyat.
2
Segi negatif,
yaitu yang berarti bahwa para menteri harus mengundurkan diri bila
kebijaksanaannya tidak dapat disetujui atau didukung oleh mayorita badan
perwakilan rakyat.
Di dalam sistem parlementer ini, kepala negara tidak
merupakan pimpinan yang nyata dari pada pemerintahan, Jadi yang memikul segala
pertanggungan-jawab adalah cabinet, termasuk juga di sini pertanggungan-jawab
atas kebijaksanaan atau tindakan kepala negara, artinya segala akibat daripada
perbuatannya atau tindakannya itu dipikul oleh kabinet. Karena itu, yang
menentukan sifat kebijaksanaan pemerintah adalah harus kabinet sendiri. Tetapi
oleh karena tidaklah mungkin bahwa dalam hal-hal yang mengenai masalah
pemerintahan, sesuatu keputusan atau peraturan itu dikeluarkan sebagai
keputusan atau peraturan Menteri atau Kabinet, maka keputusan atau peraturan
yang dikeluarkan, yang mengenai masalah kenegaraan pada umumnya, harus
merupakan keputusan atau peraturan dari pada negara. Jadi dalam hal ini keputusan atau
peraturan itu harus dikeluarkan oleh pucuk pimpinan negara, yaitu kepala
negara, dan merupakan keputusan atau peraturan negara. Hal yang demikian ini
dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan dari pada seluruh negara.
Tetapi oleh karena dalam kenyataannya bahwa yang
bertanggung jawab atas keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan itu adalah
cabinet atau menteri yang bersangkutan, maka harus dapat dibuktikan bahwa di
dalam keputusan atau peraturan-peraturan itu ada persetujuan dari cabinet, atau
salah seorang menteri yang bersangkutan, untuk menyatakan persetujuan ini, maka
anggota kabinet yang bersangkutan, atau menteri yang bersangkutan, atau perdana
menteri untuk atas nama seluruh anggota turut serta menandatangani keputusan
atau peraturan itu, turut serta penandatanganan yang demikian ini disebut
contrasign.
Dengan demikian maka yang bertanggungawab atas
keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan itu adalah menteri yang
bersangkutan, yaitu menteri yang turut serta menandatangani keputusan atau
peraturan tadi. Maka di dalam sistem atau stelsel parlementer ini kepala negara
diberi kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe-tipe demokrasi yang
pernah ada di Indonesia ada 2 (dua), yaitu:
(1). Demokrasi
dengan sistem presidensial
(2). Demokrasi
dengan sistem parlementer.
Demokrasi
dengan sistem presidensial Pemisahan
antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislative di sini diartikan bahwa
kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang di dalam
menjalankan tugas eksekutifnya itu tidak bertanggungjawab kepada badan
perwakilan rakyat. Badan perwakilan rakyat ini menurut ide Trias Politika
Montesquieu memegang kekuasan legislatif, jadi bertugas membuat dan menentukan
peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian sebagai juga halnya dengan
anggota-anggota badan perwakilan rakyat, pimpinan daripada badan eksekutif ini
diserahkan kepada seseorang yang di dalam hal pertanggungan jawabnya sifatnya
sama dengan badan perwakilan rakyat, yaitu bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, jadi tidak perlu melalui badan perwakilan rakyat. Jadi dengan demikian
kedudukan badan eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan rakyat.
Demokrasi
dengan sistem parlementer Di dalam
sistem ini ada hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan
legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan rakyat. Tugas atau kekuasaan
eksekutif di sini diserahkan kepada suatu badan yang
mana dapat disebut kabinet atau dewan
menteri. Kabinet ini mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, terutama dalam
lapangan pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat, yang menurut ajaran trias
politika Montesquieu diserahi tugas memegang kekuasaan perundang-undangan, atau
kekuasaan legislatif.
Saran
Saran
dari penulis adalah seharusnya dalam memilih sistem demokrasi, pemerintah harus
mempertimbangkan berbagai aspek, seperti masyarakat, wilayah, sejarah,
kebudayaan dan lain-lain supaya sistem yang dipilih tepat dan berguna bagi
kehidupan bangsa dan negara tanpa memrntingkan salah satu pihak. Selain itu
masyarakat sebagai warga negara harus tau apa yang dimaksud dengan demokrasi,
apa kekurangan demokrasi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Soehin. 2008. Ilmu
negara. Yogyakarta: Liberty.
Huda, Ni’matu. 2005. Negara Hukum,
Demokrasi, dan Judicial Review, Yogyakarta: UII
Press.