Saturday, 15 October 2016

MAKALAH ILMU NEGARA


TIPE-TIPE DEMOKRASI MODERN YANG PERNAH ADA DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dalam pembicaraan ini nanti akan dicoba menerangkan pertumbuhan serta perkembangan demkrasi, yaitu mulai dari Demokrasi langsung, demokrasi kuno, yang mulai timbul dan berkembang sejak pada zaman Yunani Kuno, sampai pada perkembangannya mencapai demokrasi tidak langsung, demokrasi perwakilan, atau demokrasi modern. Ini terjadi sekitar abad ke XVII dan abad ke XVIII, maka dalam hal ini nanti akan erat hubungannya dengan ajaran-ajaran para sarjana hukum alam. Terutama ajaran Montesquieu, yakni ajaran tentang pemisahan kekuasaan, yang kemudian terkenal dengan nama Trias Politika,
karena ajaran inilah yang justru akan menentukan tipe daripada demokrasi modern, dan ajaran Rousseau, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, yang justru tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi.
Sekarang kita akan membicarakan tentangtipe atau jenis-jenis demokrasi modern. Dan menurut pendapat yang umum penjenisan terhadap negara-negara demokrasi ini berdasarkan atas sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Dalam hal ini Kranenburg bermaksud meninjau bagaimanakah sifat kekuasaan penguasa itu. Sedangkan penjenisan yang akan dibicarakan di sini dimaksudkan untuk meninjau negara dari segi sistem pemerintahannya.
Negara Indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan, salah satunya adalah sistem pemerintahan demokrasi, awalnya Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi parlementer pada tahun 1945 – 1959, dimana sistem pemerintahan ini menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam cabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara. Kemudian sistem pemerintahan tersebut mulai digantikan dengan sistem pemerintahan demokrasi presidensiil, dimana sistem pemerintahan ini dipimpin oleh seorang presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa kerja dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh konstitusi. Tentunya dalam sistem pemerintahan ini, pemerintahan dikepalai oleh seorang presiden dan sekaligus sebagai kepala negara. Sistem pemerintahan presidensial menganut aturan para menteri merupakan pembantu presiden yang diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab juga kepada presiden. Itulah definisi dari sistem pemerintahan presidensial. Sistem ini berlaku di Indonesia mulai tahun 1988 hingga sekarang.

B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang timbul dari latar belakang tersebut adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan demokrasi?
2.      Bagaimana perkembangan sejarah demokrasi di Barat dan di Indonesia?
3.      Apa sajakah tipe-tipe demokrasi modern yang pernah ada di Indonesia?

C.    TUJUAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mendeskripsikan dari pengertian demokrasi.
2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan demokrasi di Barat dan di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui tipe-tipe demokrasi modern yang pernah ada di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DEMOKRASI
Demokrasi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi. Karena demokrasi merupakan suatu sistem yang telah dijadikan alternatif dalam tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara. Dan demokrasi merupakan asas yang fundamental dalam pemerintahan. Namun sebenarnya, apa hakikat dari demokrasi itu sendiri.
Secara etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan. Jadi, secara terminologis demokrasi berarti kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedulatan rakyat mengandung pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat.[1]
Pengertian demokrasi secara istilah menurut para ahli adalah sebagai berikut:[2]
Joseph A. Shumpter
“Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”.
Sidney Hook
“Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”.
Henry B. Mayo
“Demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.
Makna demokrasi dalam sebuah ideologi adalah bahwa ketika sebuah Negara sebagai sebuah organisasi tertinggi dalam wilayah tertentu menganut demokrasi, Negara tersebut harus mau menyerahkan kekuasaan kepada rakyat, sehingga:
·         Rakyat yang membuat aturan dasar
·         Rakyat yang membentuk pemerintahan
·         Rakyat yang membuat kebijakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan
·         Rakyat yang mengawasi dan menilai pelaksanaan kebijakan tersebut atau kinerja pemerintah.[3]
Jadi, dalam pelaksanaannya merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dalam pengorganisasian suatu Negara.
Dari beberapa pendapat diatas  dapat disimpulan bahwa, hakikat demokrasi dalam sisitem pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tanagan rakyat, baikdalam pemeritahan maupun dalam penyelenggaraan Negara, yang mencangkup tiga hal, yaitu:
1)      Pemerintah dari rakyat (government of the people);
2)      Pemerintah oleh rakyat (government by people);
3)      Pemerintahan untuk rakyat (government by people)[4].
Tak lepas dari hakikatnya, demokrasi mempunyai norma-norma sebagai pandangan hidup, menurut Nurcholis Madjid, yaitu:
1)      Pentingnya kesadaran akan pluralisme
2)      Terdapatnya musyawarah mufakat
3)      Mempunyai tujuan
4)      Pemufakatan yang jujur dan sehat
5)      Terpenuhinya keperluan pokok
6)      Kerjasama antarwarga masyarakat dan sikap saling mempercayai itikad yang baik
7)      Pentingnya pendidikan demokrasi.[5]

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI
Sejarah Perkembangan Demokrasi di Barat
Konsep pemikiran demokrasi lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum di Yunani kuno dan dipraktekan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 SM. Dengan bentuk demokrasi yang bersifat langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan prosedur mayoritas. Demokrasi  berjalan efektif karena semua kalangan dapat menikmatinya.
Gagasan demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan. Dengan ciri masyarakat yang foedal, yaitu kehidupan spiritual dikuasai oleh seorang Paus dan pejabat agama dan kekuasaan oleh para bangsawan. Dan kehidupan sosial dikuasai oleh bangasawan, sehingga demokrasi ini tidak muncul pada abad pertengahan (abad kegelapan).
Namun, menjelang akhir abad pertengahan tumbuh keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John merupakan tonggak kemunculan demokrasi empirik. Di dalam piagam tersebut memuat dua prinsip yang sangat mendasar, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan raja.
Dan momentum lain yang menandakan berdiinya sebuah demokrasi, yaitu adanya gerakan Renaissance yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, karena adanya kontak dengan dunai Islam yang ketika itu sedang pada masa kejayaan peradaban ilmu pengetahuan. Pada masa ini orang mematahkan ikatan yang ada dan menggantikannya dengan bertindak seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan yang dipikirkan.
Peristiwa lain yang mendukung berdirinya demokrasi pada abad pertengahan yaitu adanya gerakan reformasi yaitu suatu garakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan memperbaiki keaadaan Gereja Katolik.[6]
Konsep hukum Negara formal, mulai digugat menjelang petengahan abad ke-20 tepatnya setelah perang dunia. Beberapa faktor lain yang mendorong berdirinya Negara hukum formal yaitu pluralis liberal, seperti yang dikemukakan Miriam Budjiarjo, antara lain akses dalam industrialiasasi dan sistem kapitalis, tersebar aham sosialisme yang menginkan pembagian kekuasaan secara merata.
Sejarah perkembangan demokrasi di Barat diawali dengan bentuk demokrasi langsung yang berakhir pada abad pertengahan. Menjelang akhir abad pada saat pertengahan lahir Piagam Magna Charta dan dilajutkan munculnya gerakan Renaissance dan menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebebasan dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional yang melahirkan demokrasi welfare state.
Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami fluktuasi dan masa kejaannya dari masa kemerdekaan sampai saat ini. Dalam perjalanan demokrasi Negara Indonesia, terdapat berbagai masalah yang muncul yang harus dihadapi, yaitu bagaimana suatu demokrasi sebagai tonggak berkembangnya suatu Negara dapat menjadi peran dalam mewujudkan berdirinya sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi Indonesia, dalam kurunnya waktu terbagi menjadi menjadi empat periode, yaitu:
a.       Demokrsi Parlementer (1945-1959)
b.      Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
c.       Demokrasi Pancasila (1965-1998)
d.      Demokrasi dalam Orde Reformasi (1998-sampai sekarang)

1.      Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan demokrasi parlementer. Dimana parlementer mulai diberlakukan sesudah sebulan kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950. Namun dalam pelaksanaannya kurang sesuai untuk Indonesia. Karena persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama dan tidak dapat dibina  menjadi kekuatan-kekuatan konstuktif sesudah kemerdekaan dicapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi demokrasi sistem peluang untuk mendominasi partai-partai politik dan DPR.
Dimana menurut UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer, dengan Badan Eksekutif yang terdiri dari presiden sebagai kepala Negara beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik.
Karena fragmentasi partai politik, usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama, juga ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, akhirnya koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah, hal ini mengkibatkan,  destabilisasi politik nasional.
Faktor-faktor semacam ini ditambah dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsesus mengenai dasar Negara untuk UUD baru, akhirnya mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan memperlakukannya kembali UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar. Dengan peristiwa ini berakhirlah masa demokrasi parlementer.[7]


2.      Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada masa periode ini, ialah adanya dalam pendominasian presiden dalam kegiatan pemerintahan, berkembangnya komunis, dan meluasnya peran ABRI dalam unsur sosial politik. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya 5 tahun.Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup, telah membatalkan pembatasan dalam kurun waktu 5 tahun itu.Selain itu, banyak terjadi tindakan penyimpangan lainnya yang terjadi terhadap ketentuan UUD 1945 yang eksplisit ditentukan dan presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong juga mengganti Dewan Perwakilan Rakyat sebagai hasil pemilu, ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol ditiadakan.Dan di dalam bidang perundang-undangan dimana segala aktifitas pemerintahan dilaksanakan melalui Penetapan Presiden yang memakai sumber Dekrit 5 Juli.
Dan bagaimanakah rumusan demokrasi terpimpin dan apakah butir-butir pokok demokrasi terpimpin? Seperti yang dikemukakan Soekarno, dalam kutipan A.Syafi’I Ma’arif adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan prinsip-prinsip demokrasi terpimpin yang dikemukakan oleh Soekarno adalah sebagai berikut: pertama; tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangasa, dan Negara; kedua; tiap-tiap orangberhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara.[8]
3.      Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Dengan landasan formil, yaitu pancasila, UUD 1945, dan Ketetapan MPRS. Dalam usah untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945. Dan begitupula meniadakan pasal yan memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dicapai mufakat antara badan legeslatif. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan secara  lebih penuh dengan memberi kebebasan kepada pers untuk menyatakan pendapat, dan kepala partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilu 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat disamping pembangunan secara teratur.
Namun dalam pelaksanaanya, demokrasi pancasila pada masa Soeharto belum mencapai pada tataran praksis. Karena dalam demokrasi ini, ditandai dengan adanya; dominan para ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik; pengebirian peran dan fungsi partai politik; adanya campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik; masa mengambang; monolitisasi ideologi Negara; dan inkorporasi lembaga non pemerintah. Sehingga pelaksanaan demokrasi pada masa ini belum secara penuh ditegakan berdasar nilai-nilai demokrasi pancasila.[9]
4.      Demokrasi Reformasi (1998-sampai sekarang)
Runtuhnya rezim orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi menjadi masa tansisi di Indonesia, dimana pada masa ini terjadi pembalikan arah perjalan bangsa dan Negara yang akan membawa Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada orde lama dan orde baru.
Sukses atau gagalnya suatu demokrasi tergantung pada empat faktor, yaitu:
Ø  Komposisi elite politik
Ø  Desain institusi politik
Ø  Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non elite
Ø  Peran masyarakat madani.
Pentingnya komposisi elite politik, dikarenakan dalam demokrasi modern dengan bentuknya demokrasi perwakilan rakyat mendelegasikan kedaulatan dan kekuasaannya pada elite politik. Dimana para elite politik mendesain institusi politik, yang dimana saling bertanggungjawab dalam melakukan tawar menawar, memobilisasi dukungan, dan opini publik.
Indikasi kearah terwujudnya kehidupan demokratis dalam era transisi menuju demokrasi di Indonesia antara adanya reposisi dan redefinisi TNI dalam kaitan dengan keberadaannya pada sebuah Negara demokrasi, diamandemennya pasal-pasal dalam konstitusi Negara RI, adanya kebebasan pers, dijalankannya kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. Akan tetapi sampai saat inipun masih dijumpai indikasi-indikasi kembalinya keuasaan yang masih memutar balikan arah demokrasi di Indonesia kembali ke periode sebelum reformasi.Oleh sebab itu, kondisi transisi demokrasi Indonesia untuk saat ini belum jelas kemana arahnya. Perubahan sistem politik, melalui paket amandemen konstitusi (amandemen-IV) dan pembuatan  paket perundang-undangan politik (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD, DPD), dimana dapat mengawasi transisi menuju demokrasi.[10]
Dan pada pelaksanaan pemerintahan pada masa sekarang, masih terjadi tindakan di luar nilai UUD 1945. Maraknya kasus korupsi  dikalangan para pejabat Negara yang masih  belum terselesaikan.

C.    TIPE-TIPE DEMOKRASI MODERN DI INDONESIA
Demokrasi dengan sistem presidensial
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa yang menjadi ciri, atau kriteria daripada penggolongan atau klasifikasi tipe demokrasi modern ini adalah sifat hubungan antara badan-badan, atau organ-organ yang kekuasaan daripada negara tersebut, terutama bagaimanakah sifat hubungan antara badan legislatif, yaitu badan yang memegang kekuasaan perundang-undangan, ini biasanya adalah badan perwakilan yang ingat sistem trias politika, dengan badan eksekutif, yaitu badan memegang kekuasaan pemerintahan atau badan yang melaksanakan peraturan-peraturan negara, atau disebut juga pemerintah.
Di dalam sistem ini sifat hubungan antara kedua badan tersebut dapat dikatakan tidak ada, jadi secara prinsipil bebas. Di sini orang menduga bahwa stelsel atau sistem inilah yang dikehendaki oleh Montesquieu.[11]
Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislative di sini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang di dalam menjalankan tugas eksekutifnya itu tidak bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan perwakilan rakyat ini menurut ide Trias Politika Montesquieu memegang kekuasan legislatif, jadi bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian sebagai juga halnya dengan anggota-anggota badan perwakilan rakyat, pimpinan daripada badan eksekutif ini diserahkan kepada seseorang yang di dalam hal pertanggungan jawabnya sifatnya sama dengan badan perwakilan rakyat, yaitu bertanggung jawab langsung kepada rakyat, jadi tidak perlu melalui badan perwakilan rakyat. Jadi dengan demikian kedudukan badan eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan rakyat.
Menteri-menteri itu sebagai pembantu presiden bertugas memimpin departemen-departemen pemerintahan, dan bertanggung jawab kepada presiden. Badan perwakilan rakyat tidak dapat memberhentikan seseorang atau beberapa orang menteri yang turut bekerja di dalam badan eksekutif meskipun badan perwakilan rakyat itu tidak dapat menyetujui kebijaksa naan dari pada para menteri tersebut para menteri ini tidak mempunyai hubungan ke luar, dimaksudkan hubungan pertanggungan jawab dengan badan perwakilan rakyat. Yang ber tanggung jawab pelaksanaan tugas yang diberikan kepada mereka oleh kepala negara, adalah kepala negara sendiri. Sedangkan kepala negara inipun tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, atas anaan penyelesaian daripada tugas-tugasnya. Maka mengingat akan kedudukan para menteri ini, yang hanya merupakan pembantu pimpinan Presiden, di mana presiden itu merupakan stelsel badan stelsel atau sistem yang demikian ini disebut eksekutif, atau sistem presidensiil.
Demokrasi dengan sistem parlementer
Dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi di antara badan-badan yang diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif dengan badan eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling mempengaruhi atau sistem parlementer.
Di dalam sistem ini ada hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan rakyat. Tugas atau kekuasaan eksekutif di sini diserahkan kepada suatu badan yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, terutama dalam lapangan pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat, yang menurut ajaran trias politika Montesquieu diserahi tugas memegang kekuasaan perundang-undangan, atau kekuasaan legislatif.[12]
Pertanggungan jawab ini tidak berarti bahwa badan eksekutif harus mengikuti segala apa yang dikehendaki oleh badan perwakilan rakyat saja dan menjalankan apa yang menjadi kemauan daripada badan perwakilan tetapi kabinet masih mempunyai kebebasan dalam menentukan kebijaksanaannya terutama mengenai langkah-langkah pemerintahannya. Jadi pokoknya kabinet masih mempunyai kebebasan dalam inisiatif. Hanya saja dalam tindakan-tindakannya mereka bertanggung-jawab kepada badan perwakilan rakyat atau parlemen, yang berarti bahwa mereka setiap waktu atau setiap kali dapat dimintai pertanggungan-jawab tentang kebijaksanaannya oleh badan perwakilan rakyat.
Jika terjadi hal yang demikian ini, artinya badan perwakilan rakyat minta pertanggungan-jawab kepada kabinet tentang kebijaksanaannya maka kabinet harus membela dan menjelaskan kebijaksanaannya itu kepada badan perwakilan rakyat. Penjelasan ini mungkin hanya dilakukan oleh salah seorang menteri yang bersangkutan, atau mungkin oleh kabinet sendiri, jadi seluruh menteri-lah yang bertanggung-jawab. Jika demikian halnya maka biasanya penjelasan diberikan oleh perdana menterinya.
Setelah itu tergantung kepada penilaian daripada badan perwakilan rakyat itu, untuk dapat menerima baik pertanggungan jawab yang diberikan oleh kabinet tersebut, ataukah tidak. Kalau badan perwakilan rakyat dapat menerima pertanggungan jawab yang diberikan oleh kabinet tersebut, maka dalam hal ini tidak akan terjadi sesuatu hal, akan tetapi kalau badan perwakilan tidak dapat menerima, ada kemungkinan bahwa badan perwakilan rakyat itu dengan suatu keputusan menyatakan tidak percaya terhadap kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tersebut. Jika terjadi hal yang demikian ini maka menteri, atau para menteri yang bersangkutan, atau ternyata seluruh menteri atau seluruh anggota kabinet harus mengundurkan diri. Inilah yang disebut sebagai krisis kabinet.
Oleh karena kabinet itu bertanggung jawab kepada badan perwakila rakyat, maka sudah barang tentu pertanggungan jawab itu kebanyakan akan diterima baik oleh badan perwakilan rakyat, jika kebijaksanaan pada umum nya dari kabinet itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh mayoritas di dalam badan perwakilan rakyat. Dan kebijaksanaan yang demikian itu pada umumnya dapat diharapkan akan mendapatkan penerimaan baik oleh mayoritas dalam badan perwakilan rakyat, kalau dalam pembentukan cabinet itu telah diusahakan terlebih dahulu duduknya orang-orang yang bersama-sama merupakan mayoritas di dalam parlemen.
Untuk mencegah jangan sampai terjadi bahwa kabinet yang mengambil suatu keputusan (kebijaksanaan) dan kemudian tidak dapat diterima oleh badan perwakilan rakyat yang tidak representatif, maka sebagai perimbangan daripada pertanggungan- jawab cabinet itu, yaitu yang berarti bahwa kalau kebijaksanaan cabinet tidak dapat diterima oleh badan perwakilan rakyat, kabinet, atau menteri yang bersangkutan harus mengundurkan diri, dengan melalui kepala negara, mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan perwakilan rakyat yang dianggapnya sudah tidak lagi bersifat representatif.
Di sinilah letak intisari pengertian daripada stelsel parlementer, yaitu kabinet bertanggung-jawab kepada parlemen atau badan perwakilan rakyat, artinya, kalau pertanggungan-jawab kabinet itu tidak dapat diterima baik oleh badan perwakilan rakyat, pertanggungan-jawab tadi adalah pertanggungan-jawab politis maka badan perwakilan rakyat dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya) terhadap kebijaksanaan kabinet, dan sebagai akibat daripada pertanggungan-jawab politis tadi, kabinet harus mengundurkan diri. Tetapi kalau ada keragu-raguan dari pihak kabinet, dan menganggap bahwa badan perwakilan rakyat itu tidak lagi bersifat representatif, maka sebagai imbangan daripada kekuasaan badan perwakilan rakyat untuk membubarkan kabinet tadi, kabinet mempunyai kekuasaan untuk membubarkan badan perwakilan rakyat (yang tidak representatif itu).[13]
Pembubaran badan perwakilan rakyat ini kemudian disusul dengan pemilihan atau pembentukan badan perwakilan rakyat yang baru, dan badan perwakilan rakyat yang baru inilah nanti yang akan menentukan apakah tindakan kabinet tadi benar atau tidak. Artinya kalau badan perwakilan rakyat yang baru ini juga tidak dapat menerima kebijaksanaan kabinet, maka ini berarti bahwa tindakan kabinet yang berupa pembubaran badan perwakilan rakyat yang dianggapnya tidak representatif tidak benar, dan kabinet itulah yang harus membubarkan dirinya, dan kemudian disusun kabinet yang baru. Tetapi kalau badan perwakilan rakyat yang baru tadi menerima baik pertanggungan-jawab kebijaksanaan kabinet berarti bahwa tindakan kabinet yang berupa pembubaran badan perwakilan rakyat yang dianggapnya tidak representatif tadi benar.
Kalau kita perhatikan stelsel parlementer ini lebih jauh lagi kita akan mendapatkan di dalam inti stelsel ini dua segi, yaitu:
1        Segi positif, yaitu yang berarti bahwa para menteri harus diangkat oleh, atau sesuai dengan mayoritas dalam badan perwakilan rakyat.
2        Segi negatif, yaitu yang berarti bahwa para menteri harus mengundurkan diri bila kebijaksanaannya tidak dapat disetujui atau didukung oleh mayorita badan perwakilan rakyat.
Di dalam sistem parlementer ini, kepala negara tidak merupakan pimpinan yang nyata dari pada pemerintahan, Jadi yang memikul segala pertanggungan-jawab adalah cabinet, termasuk juga di sini pertanggungan-jawab atas kebijaksanaan atau tindakan kepala negara, artinya segala akibat daripada perbuatannya atau tindakannya itu dipikul oleh kabinet. Karena itu, yang menentukan sifat kebijaksanaan pemerintah adalah harus kabinet sendiri. Tetapi oleh karena tidaklah mungkin bahwa dalam hal-hal yang mengenai masalah pemerintahan, sesuatu keputusan atau peraturan itu dikeluarkan sebagai keputusan atau peraturan Menteri atau Kabinet, maka keputusan atau peraturan yang dikeluarkan, yang mengenai masalah kenegaraan pada umumnya, harus merupakan keputusan atau peraturan dari pada negara. Jadi dalam hal ini keputusan atau peraturan itu harus dikeluarkan oleh pucuk pimpinan negara, yaitu kepala negara, dan merupakan keputusan atau peraturan negara. Hal yang demikian ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan dari pada seluruh negara.
Tetapi oleh karena dalam kenyataannya bahwa yang bertanggung jawab atas keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan itu adalah cabinet atau menteri yang bersangkutan, maka harus dapat dibuktikan bahwa di dalam keputusan atau peraturan-peraturan itu ada persetujuan dari cabinet, atau salah seorang menteri yang bersangkutan, untuk menyatakan persetujuan ini, maka anggota kabinet yang bersangkutan, atau menteri yang bersangkutan, atau perdana menteri untuk atas nama seluruh anggota turut serta menandatangani keputusan atau peraturan itu, turut serta penandatanganan yang demikian ini disebut contrasign.
Dengan demikian maka yang bertanggungawab atas keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan itu adalah menteri yang bersangkutan, yaitu menteri yang turut serta menandatangani keputusan atau peraturan tadi. Maka di dalam sistem atau stelsel parlementer ini kepala negara diberi kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat.[14]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe-tipe demokrasi yang pernah ada di Indonesia ada 2 (dua), yaitu:
(1). Demokrasi dengan sistem presidensial
(2). Demokrasi dengan sistem parlementer.
Demokrasi dengan sistem presidensial Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislative di sini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ yang di dalam menjalankan tugas eksekutifnya itu tidak bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan perwakilan rakyat ini menurut ide Trias Politika Montesquieu memegang kekuasan legislatif, jadi bertugas membuat dan menentukan peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian sebagai juga halnya dengan anggota-anggota badan perwakilan rakyat, pimpinan daripada badan eksekutif ini diserahkan kepada seseorang yang di dalam hal pertanggungan jawabnya sifatnya sama dengan badan perwakilan rakyat, yaitu bertanggung jawab langsung kepada rakyat, jadi tidak perlu melalui badan perwakilan rakyat. Jadi dengan demikian kedudukan badan eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan rakyat.
Demokrasi dengan sistem parlementer Di dalam sistem ini ada hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan rakyat. Tugas atau kekuasaan eksekutif di sini diserahkan kepada suatu badan yang mana dapat disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, terutama dalam lapangan pemerintahan kepada badan perwakilan rakyat, yang menurut ajaran trias politika Montesquieu diserahi tugas memegang kekuasaan perundang-undangan, atau kekuasaan legislatif.
  
Saran
Saran dari penulis adalah seharusnya dalam memilih sistem demokrasi, pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek, seperti masyarakat, wilayah, sejarah, kebudayaan dan lain-lain supaya sistem yang dipilih tepat dan berguna bagi kehidupan bangsa dan negara tanpa memrntingkan salah satu pihak. Selain itu masyarakat sebagai warga negara harus tau apa yang dimaksud dengan demokrasi, apa kekurangan demokrasi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Soehin. 2008. Ilmu negara. Yogyakarta: Liberty.
Huda, Ni’matu. 2005.  Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Yogyakarta: UII Press.




[1] R.Masri Sareb Putra (ed), Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hal. 148
[2] Ibid, hal. 148
[3] Ibid, hal. 148-149
[4] Tim Pokja UIN Sunan Kalijaga, Pancasila dan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 69
[5] Ibid, hal. 71-74
[6] Tim ICCE UIN Jakarta, ”Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani”……………….hal. 125-127
[7] Ibid, hal. 130-131
[8] Ibid, hal. 131-132
[9] Ibid, hal. 133-134
[10] Ibid, hal. 135-141
[11] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm 248.
[12] Ibid., hlm. 249
[13] Ibid., hlm. 251-252
[14] Ibid., hlm. 253